ENAM dasawarsa lalu, seraya memandang teluk dan kota yang
terhampar di hadapannya, Bapak Nasionalisme Cina Dr. Sun Yat Sen
meninggalkan kata-kata yang direkam sejarah. "Aku kagum,"
katanya. "Dalam 70-80 tahun saja orang-orang Inggris itu telah
mengubah pulau karang ini dengan ukuran yang tidak bisa dicapai
Cina dalam 40 abad. Di sinilah aku memperoleh gagasan
revolusionerku, ya, di Hong Kong."
Kini, di bandar udara Kay Tak, bau bacin laut yang tercemar
menyergap hidung para pelancong pada pertemuan pertama. Sebuah
ironi, memang. Sebab Hong Kong tetap bernama Hong Kong -- Heung
Gong dalam dialek Kanton -- yang berarti "Pelabuhan Semerbak".
Pada 1839 dulu, ketika Istana Buckingham menerima kabar
penyerahan pulau itu kepada Kapten Charles Elliot, Menteri Luar
Negeri Inggris Lord Palmerston nyaris mencarut. Ia sebal pada
"kepandiran" Elliot, yang sudi menerima "pulau tandus dengan tak
sebiji rumah pun" itu sebagai tebusan kekalahan Kerajaan Manchu.
Hanya seorang bangsawan, sesuai dengan catatan yang ditinggalkan
Ratu Victoria, yang bersuka cita. Dan ia adalah Pangeran Albert,
suami sang ratu.
Ketika bendera Union Jack berkibar untuk pertama kalinya di
tempat yang kemudian bernama Puncak Victoria, pulau itu hanya
berpenghuni empat ribu manusia. Sebagian besar lanun,
penyelundup, atau pedagang candu - pokoknya bajingan dari kelas
yang paling tengik.
Agaknya sudah nasib Hong Kong: sejak mula sejarah kawasan ini
adalah sejarah pertentangan. Dan juga sejarah sebuah ironi.
Kapal-kapal dagang Inggris sudah menyinggahi pelabuhan Cina
sejak awal abad XIX. Dari negeri ini mereka mengangkut teh,
sutra, dan ginseng kering yang sangat dipuja Ratu Victoria.
Sebaliknya, Cina tidak membutuhkan apa-apa dari orang Inggris
itu, kecuali uang pound mereka yang gemerlapan.
Tapi kemudian para saudagar Inggris itu menemukan cara untuk
memancing kembali pound mereka. Yaitu dengan memasukkan candu,
yang dipetik dari ladang-ladang opium di India.
Penyelundupan candu berkembang, justru setelah kekaisaran
mengumumkan larangan resmi perdagangan obat bius itu. Pada 1836,
paling tidak 30 ribu peti candu mendarat di Cina, terutama di
Pulau Lintin, di dekat Kanton. Tahun berikutnya angka itu
meningkat menjadi 40 ribu peti. Di London, hanya seorang William
Gladstone yang mengimbau parlemen Inggris. "Bila candu sampai
menimbulkan perang," kata Gladstone, "Inggris akan menanggung
aib berkepanjangan."
Dan perang itu benar-benar pecah -- tahun 1841. Bermula dari
pejabat kekaisaran bernama Lin Zexu yang diutus ke Kanton untuk
membabat rimba permadatan yang sudah hampir tak tertanggungkan.
Lin bertindak dengan tangan besi. Ia menuntut para saudagar
Inggris untuk menyerahkan candu mereka.
Ketika itulah muncul Kapten Angkatan Laut Kerajaan Inggris,
Charles Elliot. Ia, yang juga sangat anticandu, menyerahkan
kepada Lin 20 ribu peti madat untuk dibakar. Lin terpesona dan
memuja Elliot -- yang oleh para saudagar sebangsanya dicap
cecunguk.
Tapi, kemudian, Lin melangkah terlalu jauh. Ia memaksa para
pedagang Inggris menandatangani ikrar untuk tidak memasukkan
candu selama-lamanya. Elliot, tersinggung, dan menolak
permintaan itu. Ia lalu memindahkan para saudagar Inggris yang
terancam itu ke Makao.
Musim panas tahun itu, seorang pelaut Cina terbunuh dalam sebuah
kerusuhan di Kowloon. Lin Zexu memaksa Elliot menyerahkan orang
yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu -- yang sampai
kini tak pernah jelas. Buat Elliot, tuntutan ini sudah
keterlaluan. Ia memimpin balatentaranya memudiki Sungai Mutiara,
dan menghajar Kanton.
Perang yang tidak seimbang berkobar tiga tahun. Pada 1842
ditandatangani Perjanjian Nanjing, yang mewajibkan Cina membayar
ganti rugi, dan menyerahkan Pulau Hong Kong "untuk selamanya".
Bagai ungkapan "Belanda minta tanah", Inggris pun kemudian tidak
puas dengan hanya sekadar mendapat Pulau Hong Kong. Mereka mulai
mencari gara-gara, antara lain, dengan melindungi penyelundupan
candu di kawasan tenggara Cina.
Dan Beijing terpancing. Pada 1856 mereka menangkap sejumlah
kapal, dan menurunkan bendera Inggris. Perang Candu II pecah
dengan akhir yang lebih parah. Cina kembali membayar ganti rugi,
dan menyerahkan Semenanjung Kowloon kepada Inggris.
Pada 1895, Kekaisaran Cina yang keropos itu kalah lagi dalam
perang melawan Jepang. Kesempatan ini digunakan berbagai
kekuasaan asing, terutama Barat, untuk berebut daerah konsesi.
Tiga tahun kemudian, dengan cara setengah paksa Inggris menyewa
New Territories (NT) untuk masa 99 tahun berakhir 30 Juni 1997
nanti.
Secara harfiah, hanya NT yang harus dikembalikan Inggris kepada
Cina, 14 tahun mendatang. Tapi dalam kenyataan, NT berarti
segala-galanya. Kawasan seluas 960 km persegi itu sekaligus
jantung dan-urat nadi Hong Kong. Di sana terletak pusat
perdagangan, industri, pertanian, dan sumber tenaga. Dan di situ
pula terletak Lowu, dusun sunyi di tepi sungai, yang
berseberangan dengan Sumchun, stasiun RRC dengan yang penuh
senapan mesin.
Hong Kong bukan saja koloni Inggris paling luas saat ini, juga
sering dianggap sebagai kota yang paling kosmopolitan di dunia.
Ia, kota yang senantiasa bersolek, dengan setia menyantuni
anak-anaknya. Dengan 5,5 juta penduduk, mulai dari para taipan
(cukong) di kantor-kantor menjulang di Victoria sampai para shui
jen (orang air) di Aberdeen, kota ini bernapas dalam irama yang
tetap. Para perunding Inggris dan RRC boleh bersitegang di meja
perundingan, sementara di loteng-loteng Kowloon permainan judi
mahyong jalan terus dalam suasana riang gembira.
Di dalam hati, para pemimpin RRC agaknya tidak pernah melupakan
Hong Kong. Mereka menyebut perjanjian sewa kawasan itu "bu
pingdeng tiaoyue" -- perjanjian yang tidak adil. Di depan
mejelis PBB, 1971, wakil Cina mengatakan: "Hong Rong dan Makao
merupakan bagian wilayah Cina yang diduduki... bukan koloni...."
Tapi mereka juga tidak berani bertindak gegabah.
Sejak pemerintah RRC berdiri, 1949, tidak sedikit keuntungan
yang dikaut dari "Pelabuhan Semerbak" ini. Sekitar 30% transaksi
perdagangan RRC ditandatangani di kawasan ini. Di Nathan Road,
yang lapang dan terang benderang, terletak di Kowloon, bank dan
toko serba ada RRC menyedot keuntungan yang tidak sedikit. Dan
di lorong-lorong Wanchai, gang busuk di Kota Tembok yang kuno,
para agen Beijing mengumpulkan keterangan dan mempertukarkan
sendi. . .
Hong Kong juga telah membuktikan dirinya sebagai persinggahan
yang teduh. Ketika revolusi nasional pecah di daratan Cina,
1911, dan Dinasti Manchu ambruk, ribuan orang yang terusir
mengungsi ke Hong Kong. Arus pengungsi tambah besar pada
1930-an, ketika pecah perang Cina-Jepang.
Pada 1949, Partai Komunis Cina (PKC) menegakkan kekuasaannya.
Hong Kong kembali menjadi tempat pelarian penduduk yang tidak
berselera mengikuti "jalan sosialis". Di antara rombongan ini
terdapat pengusaha-pengusaha besar dari Kanton dan Shanghai,
yang sekalian memindahkan modal dan usahanya ke koloni Inggris
itu.
Pada 1962, RRC melonggarkan penjagaan di perbatasan. Kesempatan
itu digunakan oleh sekitar 60 ribu penduduk untuk menyeberang ke
Hong Kong. Arus yang lebih besar terjadi pada 1967, ketika di
daratan sedang berkecamuk "Revolusi Kebudayaan" yang porak
poranda itu.
Agak sukar menebak hati penduduk kawasan ini. Pada setiap 1
Oktober, hari raya RRC, bendera bintang lima berkibar di
mana-mana. Tetapi pada 10 Oktober double ten -- tak terbilang
pula bendera bintang dua belas mengelu-elukan hari besar
Kuomintang. Dan pemerintah Inggris terbukti lihai. Di antara
kedua hari besar itu, 5 Oktober, mereka menetapkan Hari Hong
Kong. Dan giliran Union Jack yang naik panggung. Karena itu dari
tanggal 1 sampai 10 Oktober merupakan hari yang paling hingar
di koloni ini. Mercon dibakar bersahut-sahutan, barongsai dan
liong turun ke jalan.
Jalan kekerasan tampaknya tak akan ditempuh Cina untuk
mengembalikan Hong Kong. Kalau Beijing berniat demikian,
bukankah sejak semula mereka bisa melakukan tindakan yang "sama
mudahnya dengan membalik telapak tangan" itu? Bahkan di
hari-hari Revolusi Kebudayaan, ketika demonstran di Hong Kong
berteriak "Gulingkan Imperialis Inggris" dan "Ganyang Babi-babi
Putih", Beijing bisa mengendalikan diri.
Dalam era Demaoisasi dan pragmatisme a la Deng Xiaoping, Hong
Kong memainkan peranan tersendiri. Pelarian kecil-kecilan dari
daratan memang terus mengalir. Tapi Hong Kong juga menjadi
terminal barang luks untuk sanak saudara di utara. "Barang luks"
itu termasuk vulpen, arloji Jepang murahan, kaus oblong
berwarna-warni, sampai pesawat televisi.
Sementara itu di Kota Tembok (Kowloon Walled City) yang tua,
hukum tetap tak jelas. Status hukum bagi "kota" seluas 2,5
hektar ini, sejak dulu, tidak menentu. Sebuah pasal dalam
perjanjian 1898 menjamin penguasa Cina di Kota Tembok mengatur
dirinya sendiri. Tapi, penguasa Cina yang mana?
Inggris pernah mencabut pasal itu dan memaksakan hukumnya, 1963.
Beijing lalu memperlihatkan taring, hingga Inggris terpaksa
mundur tersipu-sipu. Kini, kota yang temboknya sudah runtuh itu
menjadi sarang gelandangan, penipu, maling, tukang tadah, dokter
dan tabib tanpa izin, tukang pukul, bandit, dan kutu kota.
Lorong dan rumah-rumahnya bagaikan kota Cina dari abad yang
silam. Tidak ada sistem distribusi air dan listrik di sana.
Apalagi dinas kebersihan.
Toh dengan segala "ancaman"nya, Hong Kong tetap dikunjungi enam
juta pelancong setiap tahun. Banyak di antara mereka tidak
menginjak Hong Kong yang sesungguhnya -- Pulau Hong Kong itu
sendiri. Sebagian besar hanya berkeliaran di NT dan Kowloon.
Pamor jung dan rickshaw sudah berangsur-angsur digantikan
perahu bermotor dan taksi. Ferry yang romantis itu pun sudah
kekurangan daya tarik dibandingkan jalan terowongan yang
menghubungkan Kowloon dan Pulau Hong Kong. Namun koloni yang
sesak ini tetap menitikkan liur para pembelanja.
Di toko-tokonya yang berdesakan, pakaian tradisional Manchu
dijual berdampingan dengan gaun Dior mutakhir. Film Amerika
tahun terakhir bersaingan dengan opera Cina.
Banyak julukan diberikan kepada Hong Kong, antara lain, "Mutiara
di Timur". Kini "mutiara" itu seperti berada di ujung tanduk.
Nasibnya sedang ditentukan, entah di Beijing, London, atau Hong
Kong sendiri. Namun sebagian besar penduduknya tampak
santai-santai saja.
Siek Kiat Liang (bukan nama sebenarnya), misalnya, tidak
berpikir terlalu panjang. Ia lahir di Semarang, dan pada 1960-an
pulang ke RRC. Di sana ia tak tahan, lalu lari ke Hong Kong
setelah menamatkan pelajaran di Universitas Hunan. Kini ia
berjualan sate di kaki lima Kowloon.
Ia pesimistis RRC bisa mempertahankan kemakmuran Hong Kong, bila
negeri naga merah itu jadi mengambil alih kekuasaan. Mengapa?
"Aparat birokrasi RRC itu korup," katanya kepada TEMPO, dua
pekan lalu. "Selama mereka korup, kami bisa selamat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini