Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap Minggu pagi, Rosemarie Bares nongkrong bersama teman-temannya di pusat komputer UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan) di Beirut. Wanita ini adalah seorang pembantu rumah tangga asal Filipina yang mencari hidup di ibu kota Libanon itu. Bersama 44 teman sejawatnya, Bares memanfaatkan waktu luangnya setiap Ahad untuk kursus komputer tingkat dasar. Kedutaan Besar Filipina di Beirut yang menyelenggarakan kursus gratis ini.
Berkat kursus tersebut, harkat Bares langsung meningkat di mata juragannya. Tadinya kerap dihardik dan dimarahi karena dianggap bodoh dan "hanya tahu urusan dapur", kini sang bedinde diizinkan menggunakan komputer tuan rumah. "Saya bahkan mengajari anak-anak mereka," ujar Bares dengan bangga.
Kedutaan Filipina setempat memang menyumbang berbagai kursus keterampilan sejak dua tahun lalu. Sasarannya adalah anak-negeri Filipina yang bekerja di Libanon tapi kurang pendidikan dan pengetahuan. Para diplomat beserta sukarelawan menjadi "guru" kursus, dari kursus memasak, menjahit, sampai teknologi perawatan rambut.
Selain menjadi tambahan bekal untuk bekerja di rantau, pengetahuan baru itu bisa pula dipakai bila mereka kelak pulang kampung. "Banyak yang mulai berangan-angan membangun perusahaan katering, restoran, atau usaha lain," kata Manuella Pena, pejabat Kedutaan Bidang Kesejahteraan Filipina di Beirut. Bares, misalnya, ingin mendirikan usaha percetakan kecil-kecilan.
Bekerja ke luar negeri memang impian banyak warga Filipina. Dengan angka pengangguran domestik di atas 13 persen, memang tak mudah melamar kerja di Filipina. Dan jangan lupa, sepertiga penduduk negeri itu hidup dengan uang di bawah US$ 60 sen (Rp 5.300) per hari. Bandingkan dengan uang yang dialirkan sekitar 7 juta pekerja rantau Filipina pada tahun silam: US$ 7,4 miliar (Rp 68,1 triliun). Uang ini yang menjadi tumpuan 38,4 juta jiwa keluarga mereka di tanah air.
"Dalam waktu yang cukup lama, ekonomi Filipina masih akan amat bergantung pada kiriman uang pekerja rantau," kata Arroyo menjelang kepulangan Angelo da Cruz, pekerja Filipina yang disandera kaum militan Irak beberapa waktu silam. Ketika itu Arroyo akhirnya memilih membela nyawa Da Cruz ketimbang menuruti kemauan Amerika Serikat.
Arroyo juga mendorong berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan mutu pekerja rantauseperti yang dilakukan Kedutaan Filipina di Beirut. Lewat Kementerian Tenaga Kerja, pemerintah menerbitkan program jaminan hari tua khusus buat para pekerja rantau, di samping menggalakkan kampanye perlindungan hukum tenaga kerja.
Pada tahun ini, presiden juga membentuk Satuan Tugas Kepresidenan Melawan Rekrutmen Ilegal. Maklum, seperti Indonesia, Filipina juga direpotkan oleh banyak agen gadungan yang gemar memeras para calon tenaga kerja. Simak kisah Joy Flores. Dia telah membayar US$ 2.000 kepada agen yang menjanjikan dia kerja sebagai staf perawat di Inggris. Setiba di Inggris, Flores bukannya menjadi perawat. Dia dipaksa meneken kontrak untuk menjadi awak dapur dan penyikat toilet dengan upah US$ 6,25 sejam.
Mike Bolos, analis keuangan pada sebuah perusahaan Arab Saudi, menulis bahwa para bedinde dan sopir di rantau itu sebetulnya juga punya peluang amat besar untuk menyumbang bagi pembangunan Filipina secara langsung. Dia mencontohkan kasus pembatalan Mahkamah Agung Filipina terhadap perjanjian antara pemerintah Filipina dan Philippines International Air Terminal Co. (Piatco), pertengahan tahun silam.
Diteken pada 1997, perjanjian itu tadinya memberikan hak kepada Piatco untuk membangun Terminal 3 Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino, tapi kemudian dibatalkan dan diserahkan kepada Fraport AG, perusahaan Jerman yang menjadi mitra Piatco.
Menurut Mike Bolos, jika nilai yang diperlukan pemerintah "cuma segitu" untuk membangun bandara tersebut, dengan mudah bisa digalang saweran dari 7 juta pekerja rantau Filipina yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Tak mengherankan bila Presiden Arroyo mati-matian berpihak pada perantau Filipina, termasuk menelan sindiran Amerika demi menyelamatkan nyawa sopir truk Angelo da Cruz dari para penyanderanya di Irak.
Yanto Musthofa (UNESCO/Phil.Daily Inquirer/Phil.Star)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo