Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Karni Ilyas terdengar lantang ketika mengatakan, "Tak pernah ada investor menelepon saya mencampuri isi siaran kami." Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) itu menepis stigma bahwa lembaga penyiaran yang menggunakan dana publik bisa diintervensi. Karni memang perlu angkat bicara karena saat ini pemerintah sedang menggodok Ran-cangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Lembaga Penyiaran Swasta.
Satu di antara perdebatan dalam penggodokan RPP itu adalah kepemilikan saham asing di lembaga penyiaran, yang dibatasi 20 persen. Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Victor Menayang, pembatasan itu merujuk pada Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, yang baru saja selesai melewati uji materiil (judicial review) di Mahkamah Konstitusi pada 30 Juli lalu.
Harapan KPI agar pembatasan saham asing itu diperlonggar pupus sudah setelah ditolak Mahkamah Konstitusi. Karena itu, KPI bersama lembaga penyiaran di Indonesia berharap ketentuan itu bisa diperlunak di RPP. Misalnya, kata Victor, investasi asing secara tidak langsung atau melalui bursa saham tidak dibatasi 20 persen. "Pembatasan asing itu cukup untuk investasi langsung di lembaga penyiaran," katanya.
Bagi lembaga penyiaran, mencari dana melalui pasar modal merupakan alternatif memenuhi kebutuhan investasi. Pembatasan akan menciptakan ketidakpastian dan menghambat pertumbuhan industri penyiaran. "KPI mendorong agar media nasional dimiliki khalayak banyak supaya lebih independen," Victor menambahkan. "Sebab, makin banyak pemegang saham akan menekan intervensi kelompok tertentu."
Sihol Siagian sependapat. Menurut Direktur Pengawasan dan Perdagangan Bursa Efek Jakarta ini, dana yang masuk di bursa dikelola oleh manajer investasi, yang biasanya tak tahu-menahu dana siapa saja yang dikelola. "Investor datang ke bursa untuk mencari gain (keuntungan)," kata Sihol, "Mereka tak mau tahu kebijakan perusahaan maupun penempatan direksi, misalnya."
Sihol menuturkan, PT Indosiar Visual Mandiri, yang tadinya perusahaan terbuka, sekarang pamit mundur dari lantai bursa karena tak mau menabrak Undang-Undang Penyiaran yang membatasi kepemilikan saham asing 20 persen. Indosiar memutar akalnya dengan membentuk induk perusahaan, PT Indosiar Karya Media Tbk., yang akan listing di bursa. Dengan cara ini, mereka lebih leluasa mencari modal.
Televisi yang familiar dengan paket hiburan itu mengikuti jejak pendahulunya, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang berinduk PT Bimantara Citra Tbk., dan Surya Citra Televisi (SCTV) di bawah holding PT Surya Citra Media Tbk. Menurut Karni Ilyas, lembaga penyiaran seperti televisi memang butuh investasi tidak sedikit. Meski aset SCTV kini ditaksir Rp 2 triliun dan pendapatan tahun lalu Rp 800 miliar, setiap tahun stasiun ini butuh "darah segar" sekitar Rp 400 miliar.
"Dana itu antara lain untuk membuat program dan studio," kata Direktur Pemberitaan SCTV ini. Di SCTV sendiri tidak ada investasi langsung milik asing, kecuali di induknya, Surya Citra Media Tbk. "Dulu kami road show ke beberapa negara di Asia, Amerika, dan Eropa untuk mencari investor," kata Karni. Di perusahaan induk memang tidak ada pembatasan investasi asing. Tapi, di perusahaan inti, tetap dibatasi 20 persen.
"Itu sudah firm karena Undang-Undang Penyiaran menyatakan demikian," kata Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu'arif. Lalu, bagaimana dengan investasi asing di perusahaan inti melalui bursajuga dibatasi 20 persen? Syamsul tak mau buru-buru menjawab. Ia sudah meminta tim pembahasan RPP mempelajari kemungkinan itu. "Bila memang investasi itu tidak menyebabkan investor mencampuri kebijakan penyiaran, jangan dipersulit," tuturnya.
RPP itu kini sedang memasuki tahap uji publik, dan diharapkan pada September nanti sudah menjadi PP sehingga akhir bulan itu juga sudah dikirim ke presiden untuk ditandatangani. Kalau begitu, mungkin suara KPI dan lembaga penyiaran perlu lebih lantang dari suara Karni Ilyas, agar aspirasi mereka tak gagal lagi seperti di Mahkamah Konstitusi.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo