Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nikmat Kursi Bertindih Masalah

Lebih dari 200 legislator terpilih terkait masalah. Ada lulusan SMU 1978 berijazah SMP 1982.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM hal ketenangan, Sunaryo layak dibanggakan. "Perkenalkan, saya Sunaryo, Ketua Pimpinan Daerah Partai Golkar, tersangka kasus penyelewengan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Alhamdulillah, terpilih kembali sebagai anggota DPRD Kota Cirebon periode 2004-2009," tuturnya. Ini bukan adegan teater parodi, melainkan ujaran yang diucapkan pada sebuah pertemuan resmi yang dihadiri para tokoh masyarakat Cirebon, beberapa waktu lalu. Rabu pekan lalu, ia termasuk satu di antara 30 anggota DPRD Kota Cirebon periode 2004-2009 yang larut dalam kegembiraan pelantikan. Dari ke-30 anggota, 11 merupakan legislator yang terkait kasus penyelewengan dana APBD Kota Cirebon tiga tahun lalu. Padahal, dua hari sebelumnya, Sunaryo masih terpekur di kursi Pengadilan Negeri Cirebon sebagai terdakwa. Bersama sepuluh sejawatnya, Sunaryo menghadapi tudingan menggangsir dana anggaran lebih dari Rp 1,3 miliar. Jumlah itu merupakan hasil penggelembungan dana anggaran Dewan, yang seharusnya sekitar Rp 400 juta. Kelebihan dana inilah yang diduga dibagi-bagi ke seluruh anggota DPRD Kota Cirebon periode lalu. Sunaryo sendiri diduga kebagian sekitar Rp 38 juta. Sunaryo bukan sampel tunggal. Di Yogyakarta, ada Ary Dewanto, anggota DPRD Kota Yogyakarta dari PDI Perjuangan, yang saat ini resmi tersangka kasus korupsi dana pembangunan saluran air hujan. Ary dituding melahap tanpa hak dana pemerintah sebesar Rp 137 juta. Ketika kasusnya bergulir menuju persidangan, Ary masih satu di antara 35 anggota DPRD Kota Yogyakarta yang dilantik Selasa pekan lalu. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta, Miftachul Alvin, tak kurang dalih. "Sampai saat ini belum ada keputusan hukum yang sah. Jadi, pelantikan ini sah saja," katanya kepada Syaiful Amin dari TEMPO. Di DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Nur Ahmad Affandi dari Partai Kebangkitan Bangsa telah ditetapkan Kejaksaan Tinggi Yogyakarta sebagai tersangka korupsi dana asuransi Rp 4 miliar, bersama lima anggota DPRD DIY lainnya. Ia kini duduk manis sebagai Wakil Ketua Dewan. Sunaryo, Ary, dan Nur Ahmad hanyalah tiga dari ratusan legislator baru yang tidak bisa langsung bertengger di kursi empuk anggota Dewan. Meski beberapa di antara mereka telanjur dilantik, masih banyak urusan membelit. Menurut catatan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), jumlah mereka tak kurang dari 279 orang. Bahkan, menurut Ketua Tim Pengawasan Panwaslu, Didik Supriyanto, jumlah itu bisa saja bertambah. "Sebab, belum semua Panwaslu provinsi menyerahkan laporan." Jumlah 279 itu diperoleh pada saat lima Panwaslu provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya Barat, belum menyerahkan laporan. Tentu saja tak semuanya berurusan dengan anggaran. Banyak pula yang tersandung persyaratan pendidikan, masih merangkap sebagai pegawai negeri sipil, polisi, atau anggota TNI, terlibat suap dalam proses pemilu, mengundurkan diri, ataupun masalah kesehatan. Ihwal pendidikan umumnya berupa dugaan penggunaan ijazah palsu, penyerahan jauh melampaui tenggat dengan alasan hilang, ijazah lokal tanpa ujian nasional, atau hanya bisa melampirkan keterangan lulus tanpa ijazah. Ada legislator yang menggunakan ijazah perguruan tinggi, tetapi surat tanda tamat belajar SMU-nya meragukan. Ada yang melampirkan ijazah SMU, tetapi diploma SMP-nya justru berbau simsalabim. Banyak pula yang menyertakan surat tanda tamat belajar dari sekolah persamaan dengan standar tak jelas, berijazah kelompok belajar (Kejar) Paket C yang pelaksanaannya sangat mencurigakan. Tidak kurang pula yang validitas pihak sekolah ataupun Dinas Pendidikan Nasional yang tertera di ijazahnya membuat waswas, selain yang memiliki ijazah dengan kronologi terbalik-balik. "Ada yang memiliki ijazah SMU tahun 1978, tetapi ijazah SMP-nya tahun 1982," kata Didik. Tidak kurang dari 214 anggota Dewan terjerat masalah seperti ini. Dari jumlah itu, 195 merupakan legislator di kabupaten atau kota pada 23 provinsi, 9 merupakan anggota DPRD di Provinsi Lampung, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara, serta seorang dari Nusa Tenggara Timur. Kasus serupa menimpa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Maluku Utara, dan seorang dari Nusa Tenggara Timur. Akan halnya masalah status, Panwaslu menemukan setidaknya terdapat 31 anggota pegawai negeri sipil, polisi, ataupun TNI menjadi legislator terpilih. Dari 31 ini, 22 merupakan anggota DPRD kabupaten-kota, dan sembilan anggota DPRD provinsi. Dalam kategori terlibat suap pada saat pemilu, tersebutlah dua anggota DPRD kabupaten-kota di Jawa Tengah dan Lampung, lima anggota DPRD provinsi di Yogyakarta, dan satu anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan asal Yogyakarta. Tetapi angka-angka tak sedap ini tidak terlalu merisaukan pengamat politik Mochtar Pabottingi. Menurut peneliti senior di bidang kajian politik dan kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini, secara umum kualitas anggota DPR periode ini lebih baik dibandingkan dengan periode lalu. "Meskipun memang masih banyak muka lama," kata Mochtar. Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, bahkan lebih optimistis. Menurut dia, proporsi legislator lancung sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah seluruh anggota Dewan di Indonesia. "Hanya sekitar satu setengah persen dari 17 ribu yang lain," kata Ramlan. Namun, bagi sejawat Mochtar di LIPI, Indria Samego, bukan proporsi yang sesungguhnya menjadi persoalan. Indria Samego lebih merisaukan bahwa jumlah "meragukan" yang ratusan itu mencerminkan belum berjalannya penegakan hukum di Indonesia. Ia mengingatkan adanya proses verifikasi pada saat pencalonan, yang bila berjalan baik bisa menghindarkan persoalan seperti itu. "Jadi, kalau sekarang mereka terpilih, bagaimana penegakan hukum akan dijalankan bila wakil rakyatnya saja tidak jujur," kata Indria dengan nada tinggi. Kalau begitu, siapa yang harus bertanggung jawab? "Bagi saya, KPU dan partai politik yang mencalonkan orang yang bersangkutan," kata pengamat politik dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Indra Jaya Piliang. Indra menyesalkan ketidaktegasan KPU dan partai politik. Menurut dia, ada dua solusi yang sebenarnya bisa dilakukan berkenaan dengan kasus ini. KPU, kata Indra, seharusnya dengan tegas tidak melantik lebih dulu anggota legislatif yang terjerat masalah, terutama yang berkaitan dengan persyaratan. Kasus ijazah palsu, misalnya. "Bukankah dari awal mereka tahu bahwa tidak memenuhi syarat?" kata Indra. Bahkan, bagi Indra, mereka yang terlibat suap dan urusan pidana serta susila justru bisa dilantik. "Partailah nanti yang menariknya ketika hukum membuktikan mereka bersalah." Ramlan, yang setuju betul sikap Indra terakhir ini, bahkan menjadikannya rujukan ke persyaratan. "Sama seperti kasus pidana, soal ijazah pun harus ada putusan pengadilan tetap," katanya. Jadi, paling tidak untuk sementara, Sunaryo dan para sejawatnya bolehlah menikmati empuknya kursi anggota Dewan. Darmawan Sepriyossa, Purwanto (TNR), dan Ivansyah (Cirebon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus