BANGUNAN setengah jadi di bilangan Ampang, Kuala Lumpur, itu tampak tegar menjulang. Malam itu, dari sebuah kamar darurat yang bercahaya temaram, terdengar suara orang mengaji. Itulah suara H. Abdul Hamid, 50. Empat tahun berada di negeri orang bersama istrinya, keadaan lelaki berusia setengah abad ini tetap tak berubah. Kemiskinan, tak dapat dienyahkannya saat bertolak dari Bangkalan, Madura. "Sudah tiga bulan saya menganggur," ujar buruh bangunan itu pekan lampau. Perekonomian yang lesu, yang membuat pembangunan tak semeriah beberapa tahun lalu, telah menyodok Hamid dengan telak. Kini tenaganya tak dibutuhkan benar. Maka, hilanglah kesempatan memperoleh penghasilan M$ 17 atau sekitar Rp 10.000 sehari. la kini hidup semata atas kebaikan hati Zuber, 28. Ayah dua anak asal Lamongan, Jawa Timur, ini beruntung masih bisa bekerja sebagai tukang cat, dengan bayaran M$ 23 atau Rp 14.600 sehari. Dialah yang kini menanggung hidup Hamid suami-istri, dan memberinya tempat penampungan. Hamid hanyalah satu dari sekian banyak pendatang haram, yang yang tak kunjung kejatuhan hujan emas. Pertama kali ia bekerja sebagai buruh pemetik kelapa sawit di Serawak. Merasa tak puas, ia bersama istri menuju Kuala Lumpur. Di sini ia bekerja sebagai tukang batu. Gajinya M$ 17 per hari dua kali lipat dibanding memburuh di perkebunan. Bukan berarti hidupnya membaik. "Di sini biaya hidup lebih mahal," ujarnya. Juga, bila sebuah proyek selesai, ada masa jedah sekitar satu dua bulan, sebelum ia bisa mendapat pekerjaan di proyek lain. Dengan kondisi begitu, nyaris tak ada ringgit yang bisa ditabung. Hidup di negeri asing, orang agaknya memang harus punya kesabaran. Tengok saja Mawasi bin Adin, 36, yang sudah mukim di Malaysia selama 11 tahun. Pria asal Bawean yang pernah 7 tahun menetap di Singapura ini benar-benar harus merangkak dari bawah. Mula-mula ia bekerja sebagai buruh bangunan. Tak tahan bekerja kasar, ia balik sebagai tukang cukur. Kini, bersama tiga rekannya, Mawasi menyewa sebuah ruangan yang dijadikannya barber shop. Dari setiap ringgit yang diperoleh, yang 30 sen harus disetor kepada pemilik ruangan, seorang Melayu asli. Dipotong untuk membayar listrik dan air, Mawasi bisa berpenghasilan bersih 500 ringgit sebulan. Tidak terlalu besar menurut ukuran sana, tapi karena berhemat, Mawasi kini sudah memiliki rumah setengah tembok yang tak terlalu luas, yang dibeli dengan 3.000 ringgit. Di rumah itu pula Mawasi membuka kedai kelontong. Seribu ringgit ia tanamkan di situ. Mula-mula usaha yang dikelola istrinya, Halila, itu berjalan lancar. Belakangan, omset penjualannya terus merosot karena kian banyak saingan. Sedangkan, niat Mawasi untuk bisa memiliki barber shop sendiri belum juga kesampaian. "Pemerintah sini lebih memprioritaskan warganya yang ingin berwiraswasta," kata Mawasi. Untuk menopang ekonomi keluarga, istrinya kini sudah mengambil ancang-ancang untuk bekerja. "Jadi tukang sapu pun jadilah," kata Halila. Kisah keluarga Mawasi yang pas-pasan ini memang berbeda dengan Syahril, 42. Pendatang asal Sumatera Barat ini tergolong sukses. Di Chow Kit, Kuala Lumpur, ada rumah makan Padang seluas 25 m2 yang biasa mengalunkan lagu-lagu Minang. Itu dia kedai Syahril, ayah 4 anak yang dua tahun sekali bisa mudik membawa uang sampai Rp 10 juta. Meski kedai itu sewaan, Syahril kini sudah membuka 2 cabang - kedai makan berupa gerobak. Dari usahanya itu, Syahril kini sudah bisa bermobil (Toyota) dan punya rumah senilai 15.000 ringgit. Istri, anak-anak, dan mertuanya, sejak 2 tahun lalu, sudah pula diboyong ke Kuala Lumpur. Selain itu, Syahril masih menanggung 2 orang keponakan di Medan dan menyokong ibu serta dua orang kakaknya. Toh dengan omset sekitar 1.000 ringgit sehari (yang menjadi dua kali lipat bila hari libur) dari kedainya yang di Chow Kit saja, ia mengaku masih bisa menyisihkan 500 ringgit sebulan. Seandainya suasana untuk berwiraswasta lebih leluasa, Syahril mungkin bisa lebih berjaya. Sayangnya, sebagai pendatang yang hanya memiliki Red Identity Card (Red IC) atau "kad merah", ia tak mungkin memperoleh izin pemerintah untuk ikut tender. "Padahal, rasanya saya mampu bersaing dengan pengusaha katering lain," kata Syahril. Tapi lewat relasinya, Syahril selalu saja bisa menyambar pesanan untuk pesta ulang tahun, dengan nilai sedikitnya 5.000 ringgit. Sejak menjejakkan kaki di Malaysia dulu, Syahril memang sudah berniat berdagang. Ketika itu, untuk modal ia menjual beberapa mesin jahit (dulu dia memang penjahit) dan perhiasan milik istrinya. Lewat perjuangan berat, Syahril akhirnya toh bisa mengukuhkan kehadirannya di rantau. Dan cerita sukses semacam yang diraih Syahril inilah yang mendorong pendatang lain tetap berminat pergi ke Malaysia. Eh, siapa tahu, bisa ikut kejatuhan hujan emas. Namun, mereka yang gagal banyak yang enggan pulang kampung. Seperti kata H. Abdul Hamid, "Lha kalau pulang, saya mau kerja apa?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini