Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok pakar hak asasi manusia PBB sedang berupaya menghentikan eksekusi mati terhadap seorang warga Malaysia yang menyelundupkan narkoba ke Singapura. Nagaenthran Dharmalingam, 33 tahun, dijadwalkan akan digantung pada Rabu kemarin, 10 November 2021, tetapi pengadilan menunda eksekusi hukuman mati sambil menunggu banding yang akan didengar pada Selasa pekan depan, 16 November 2021.
Hukuman gantung yang diterapkan oleh Singapura, menurut laman deathpenaltyinfo.org telah ada sejak sebelum Masehi. Pada abad ke10 Masehi, hukuman gantung menjadi metode eksekusi yang dianggap paling biasa di Inggris.
Oleh Raja Inggris, William hukuman gantung dilarang untuk dijadikan cara mengeksekusi, di luar keadaan perang. Aturan ini tak bertahan lama. Pada abad ke16, pemerintahan Henry VIII, kembali menerapkan
hukuman gantung.
Sejak itu, sekitar 72 ribu orang dieksekusi. Hukuman gantung dianggap ampuh untuk mengatasi tindak kejahatan.
Selain hukuman gantung, eksekusi mati
juga dilakukan dengan cara merebus, membakar di tiang, digantung, dipenggal, digambar lalu dibelah empat. Hukuman mati diberikan kepada orang-orang melakukan pidana yang dianggap berat seperti menikahi seorang Yahudi, tidak mengakui kejahatan, dan pengkhianatan.
Pada 1823 hingga 1837 di Inggris, hukuman mati dihapuskan untuk 100 dari 222 dari jenis kejahatan. Penghapusan hukuman mati untuk hampir separuh jenis kejahatan dianggap sebagai reformasi hukuman mati Inggris.
Hukuman mati di Amerika Serikat merupakan jejak hukum yang ditinggalkan oleh Inggris. Tercatat, eksekusi pertama hukuman mati dijatuhkan kepada Kapten George Kendall dari koloni Jamestown di Virginia pada 1608. Kendall diyakini menjadi mata-mata untuk Spanyol.
Baca: Pakar HAM PBB Minta Singapura Batalkan Eksekusi Mati Penyelundup Narkoba
TIKA AYU | EK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini