MORIHIRO Hosokawa rasanya memang dilahirkan untuk memimpin. Ketua dan pendiri Nihon Shinto (Partai Jepang Baru) ini, dari garis keturunan ayahnya, adalah keturunan keluarga Hosokawa, keluarga samurai ternama dalam sejarah Jepang kuno. Persisnya, moyang Morihiro Hosokawa adalah Hosokawa ke-18 yang menjadi daimyo (penguasa provinsi) zaman keshogunan Tokugawa. Dan dari garis ibunya, ia adalah cucu Fumimaro Konoe, perdana menteri Jepang tiga kali pada masa Perang Dunia II. Bila pada pekan ini, atau pada hari yang ditentukan, calon perdana menteri dari kelompok koalisi tujuh partai ini terpilih sebagai perdana menteri Jepang baru dan memang demikianlah kemungkinan yang terbesar ada sesuatu dari masa 125 tahun lalu yang terulang. Tahun 1868, shogun ke-15 dari keshogunan Tokugawa menyerahkan kekuasaannya kepada Kaisar Meiji. Kini Partai Demokratik Liberal, yang telah berkuasa 38 tahun, akan menyerahkan kekuasaannya kepada Morihiro Hosokawa lewat Kiichi Miyazawa, ketua partai ke-15. Lalu, meskipun agak ruwet hubungannya, Morihiro Hosokawa masih terhitung keluarga Kaisar Akihito. Adik ipar Kaisar Taisho, kakek Kaisar Akihito, menikah dengan pama Morihiro Hosokawa. Maka, kata orang Jepang, peristiwa 125 tahun lalu dulu disebut restorasi Meiji, sedangkan kali ini disebut restorasi Heisei. Jepang pada masa Kaisar Akihito kini disebut berada dalam zaman Heisei. Apa pun latar belakangnya, ada kaitan sejarah atau tidak, terpilihnya Hosokawa sebagai pemimpin koalisi tujuh partai menunjukkan kelihaian politiknya. Di antara tujuh partai yang tergabung dalam kelompok yang melawan Partai Demokratik Liberal, Nihon Shinto bukan partai terkuat. Sebenarnya, Hosokawa pada awalnya kurang berminat mendukung koalisi, yang sebelum menjadi koalisi tujuh hanya terdiri dari lima partai. Tapi setelah berunding dengan Ichiro Ozawa, Sekjen Shinseito (Partai Kelahiran Baru), partai kedua terbesar dalam koalisi lima, Hosokawa resmi menyatakan kesediaannya mendukung koalisi (lihat TEMPO, 31 Juli 1993, Luar Negeri). Entah apa yang terjadi di belakang layar. Yang jelas, Hosokawa kemudian ditampilkan sebagai calon perdana menteri tunggal dari koalisi ini. Sarjana hukum lulusan Universitas Sofia di Tokyo itu, yang sempat menjadi wartawan Asahi Shimbun selama lima tahun, terjun ke dunia politik dengan misi yang jelas. ''Tugas saya tak lain membunuh politik sistem lama,'' kata Hosokawa 22 tahun silam, ketika ia berkampanye untuk menjadi anggota Sangiin atau Majelis Tinggi. Ia berhasil menjadi anggota Majelis Tinggi, dan semangat pembaruannya tak pernah kendur. Meski diangkat menjadi wakil menteri keuangan, ia tak mau begitu saja mengikuti sistem yang ada, sistem yang kini terbukti membuka peluang munculnya skandal keuangan di tubuh pemerintah. Bisa jadi, selama itu ia makin tahu betapa sistem itu mesti diganti. Yang kemudian benar terjadi, ia makin tahu betapa kuatnya pemerintahan Partai Demokratik Liberal hingga sulit diubah. Maka, pada tahun 1983 ia mengundurkan diri. Ia kembali ke kampung halaman nenek moyangnya, Provinsi Kumamoto, di Pulau Kyushu. Dan ia ikut dalam pemilihan gubernur, dan menang. Di sini pengalamannya menelan pil pahit dari pemerintah pusat bertambah. Kali ini berbentuk birokrasi bertele-tele. ''Guna memperoleh izin membangun kandang babi saja, Anda harus terlebih dahulu bersedia memasang tanda 'pintu darurat' di luarnya,'' kata Hosokawa. Dengan semangat mengubah sistem lama yang dipandangnya tak bermutu itulah Hosokawa, tahun 1991 akhir jabatan masa kedua sebagai Gubernur Kumamoto mengundurkan diri dari pemerintahan daerah. Ia, meski punya kesempatan terpilih untuk ketiga kalinya, tak ingin lagi duduk di kursi gubernuran, karena ''kekuasaan bakal membusuk setelah lewat tempo 10 tahun''. Kabarnya, pernyataannya itu, kala itu, membuat sejumlah politikus di Tokyo merasa disindir. Tak hanya itu, 14 bulan yang lalu, Hosokawa keluar dari Partai Demokratik Liberal. Ia segera membentuk Nihon Shinto, kendati para pengamat meramalkan partai itu kelak gagal. Tapi perlahan-lahan ia dan partai barunya mendapat perhatian masyarakat juga, mungkin karena janji-janji Hosokawa sejalan dengan keinginan rakyat pada pembaruan sistem politik dan pemerintahan Jepang. Menurut Hosokawa, hak-hak yang dinikmati para birokrat serta transaksi bisnis yang mereka kuasai merupakan inti dari korupsi yang telah menjalar dalam sistem politik Jepang. ''Kami telah mulai suatu ombak besar dalam upaya mengubah pemerintah nasional,'' katanya setelah dipilih sebagai calon tunggal dari koalisi tujuh. Ketika berkampanye, Hosokawa menjanjikan satu parlemen yang lebih terbuka. Ia juga menjamin dukungannya terhadap hak-hak konsumen, sistem pendidikan yang lebih luas, serta mengurangi anggaran militer, dan sekaligus menambah dana untuk bantuan luar negeri dan masalah lingkungan. Janji yang paling radikal, membuka pasaran beras Jepang yang amat tertutup. Adapun sasaran lainnya, tindakan-tindakan baru untuk menghidupkan kembali ekonomi yang lesu, kelanjutan partisipasi Jepang dalam kegiatan pasukan perdamaian PBB, dan memperbaiki sistem perpajakan yang dianggapnya miring. Selain dari kebijaksanaannya yang diharapkan akan mengubah sistem politik Jepang, adalah karisma Hosokawa sendiri yang tampaknya mengundang simpati rakyat Jepang. Ayah seorang putra dan dua orang putri belasan tahun ini tergolong politikus yang tidak terlalu kaya. Ia hanya memiliki harta senilai 95 juta yen, atau terkaya nomor 138 di antara 749 anggota parlemen yang diumumkan Juni lalu. Meski dilahirkan dalam keluarga cukup hingga Hosokawa tak harus merasakan kekurangan biaya hidup, dalam dirinya tersimpan pengalaman yang menyedihkan. Sewaktu ia berusia dua tahun, ibunya meningggal karena sakit. Dan ketika ia masih duduk di kelas I SD, kakeknya, Fumimaro Konoe, bekas perdana menteri, bunuh diri dengan racun siankali. Konoe waktu itu menolak diadili oleh penguasa pendudukan (AS) karena ia tak mencoba menghalangi Jepang terlibat perang, dan karena itu ia dituduh sebagai penjahat perang. Seolah ini ada kaitannya: Konoe bunuh diri dalam usia 55 tahu, dan Hosokawa punya kesempatan besar menjadi perdana menteri dalam usia 55 tahun juga. Penggemar olahraga golf, ski, tenis, dan olahraga berkuda yang bertubuh tegap dengan tinggi 176 cm ini pun suka mendengarkan musik klasik. Bahkan lima tahun lalu ia belajar piano, dan kini sudah bisa membawakan Moonlight karya Beethoven. Kini orang Jepang menumpukan harapannya pada pengagum J.F. Kennedy ini. Harapan terjadinya sistem politik yang bersih, dan bisa jadi itulah nanti yang akan dicatat dalam sejarah Jepang sebagai restorasi Heisei. Yuli Ismartono (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini