KELOMPOK yang dinamakan fundamentalis sedang mengguncang AS pekan-pekan ini. Di New York, kelompok Islam Fundamentalis dituding sebagai pelaku pengeboman gedung World Trade Center yang memakan korban lima tewas dan seribu cedera. Di kota Waco di negara bagian Texas, empat tank M-1 dan ratusan anggota polisi serta FBI mengepung benteng kelompok Kristen Fundamentalis David Koresh, sejak dua pekan silam. David Koresh, 33 tahun, tak tamat SMA, pernah menjadi pemusik rock, mempunyai 19 istri serta 10 anak, dan mengepalai lebih dari seratus pengikut adalah semacam Yesus. ''Jika kitab Injil itu sejati, maka saya adalah Yesus,'' katanya selalu. Pemuda berambut agak gondrong dan berkaca mata ini mengumpulkan pengikutnya di pondok terpencil, di tanah pertanian seluas lebih dari 30 hektare. Selain berceramah mengenai Injil, Koresh mengajak pengikutnya membangun pondok itu menjadi benteng, ''untuk menghadapi hari kiamat.'' Dan benteng itu memang unik. Ada asrama, kapel, gudang, dan bungker bawah tanah yang lemarinya penuh makanan awet untuk berbulan-bulan. Ada penampungan air yang besar. Maklum, Koresh meramalkan kekacauan sosial besar, misalnya perang nuklir, akan terjadi. Umatnya harus bersiaga menghadapinya. Termasuk dalam kesiagaan itu adalah mengumpulkan senjata otomatis serta mesiunya, dan melatih menggunakannya. Gara-gara itulah ATF, instansi penegak hukum yang antara lain mengurus perizinan memiliki senjata, menyidik pondok Koresh sejak sembilan bulan silam. ''Kami memantau pengiriman senjata dan amunisinya yang lebih dari 4 ton,'' kata juru bicara ATF. Hasil penyidikan membuat ATF perlu bertindak. David Koresh ternyata pernah berurusan dengan pengadilan dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Yaitu ketika ia dan sejumlah pengikutnya menyerbu pondok yang ketika itu dipimpin oleh George Roden. Pondok itu memang awalnya milik Lois Roden, ibu George yang dianggap nabi oleh aliran Branch Davidian ini. Vernon Howell, nama kelahiran Koresh, masuk Branch Davidian, sempalan gereja Advent hari ketujuh, tahun 1984. Di Branch Davidian, karier Howell meroket antara lain karena ia memacari Lois Roden yang ketika itu sudah berusia 67 tahun. Selain itu, Howell yang dikenal malas mengerjakan pekerjaan sekolahnya ternyata memang rajin menghafal kitab Injil sejak berusia remaja. ''Ia hafal ayat Perjanjian Baru ketika berusia 12 tahun,'' tutur ibunya. Ini tentu membuat ahli waris Lois, George Roden, segera memusuhinya. Pertentangan itu mencapai puncaknya tahun 1987, ketika George menantang Koresh mengadu kesaktian. George menggali mayat seorang wanita pengikut ajaran sesat dari kuburan umum dan mengatakan siapa yang berhasil menghidupkannya kembali, berhak menjadi pemimpin umat. Koresh cukup cerdik untuk tak menanggapi tantangan itu. Ia malah melapor ke polisi bahwa George mencuri mayat dari kuburan. Ketika polisi meminta bukti, Koresh dan tujuh anak buahnya melakukan penyerbuan ke pondok untuk mengambil mayat itu. Sempat terjadi tembak menembak selama dua jam, dan berakhir dengan ditangkapnya para penyerbu oleh polisi dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Untung, pengadilan menyatakan Koresh tak bersalah. Antara lain karena penuntut umum tak berhasil menghadirkan George sebagai saksi, karena George diragukan kesehatan jiwanya. Ia memasukkan petisi hukum ke pengadilan, meminta Tuhan menularkan AIDS dan Herpes ke anggota Mahkamah Agung. Maka Vernon Howell pun menjadi ''nabi'' di pondok itu. Ia mengontrol umatnya dengan teknik isolasi, kegiatan rutin, dan teror. Umat harus bangun pukul setengah enam subuh untuk senam tanpa diperbolehkan minum air. ''Koresh beranggapan senam di udara panas tanpa minum menunjukkan ketangguhan,'' kata Marc Breault, warga Australia yang pernah menjadi pengikut Koresh. Juga ada keharusan para wanita mempertahankan kelangsingan tubuhnya. Koresh bisa berkhotbah 15 jam terus menerus di hadapan umatnya yang terkantuk-kantuk. Salah satu ajaran favoritnya adalah tentang dirinya sebagai ''gembala'' alias anak Tuhan. Sebagai anak Tuhan, ia berwenang mengontrol kehidupan seks pengikutnya. ''Ia mengatakan bahwa seluruh wanita di dunia adalah miliknya, dan bagi para pengikut yang beristri diharuskan merelakan istrinya untuk Koresh,'' kata Breault yang bersama istrinya langsung kabur itu. Herannya, para pengikutnya menurut apa kata Koresh, dan jumlahnya bertambah. ''Ia mempunyai karisma,'' kata Sheridan Stewart, 26 tahun, penyanyi yang pernah didekati Koresh. Umatnya bukan hanya orang AS, juga dari Australia dan Inggris. Ketaatan para pengikut yang terlatih memakai senjata itu yang dirisaukan para pejabat hukum AS. Itulah sebabnya, Ahad 28 Februari lalu, ATF mengerahkan 200-an petugasnya untuk melakukan penyerbuan di pagi hari. ''Karena menurut laporan petugas kami yang menyusup menjadi jemaah, di pagi hari umat sedang tidak bersenjata,'' kata juru bicara ATF. Tapi rencana penyerbuan ini ternyata bocor. Walhasil, begitu petugas masuk pondok segera disambut rentetan senapan mesin dan lemparan granat selama 45 menit, yang menyebabkan penyerangan dibatalkan. Empat petugas tewas dan 16 lainnya cedera, sedangkan 10 pengikut Koresh dilaporkan tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Sampai Kamis pekan lalu Koresh tetap bertahan. Padahal ia berjanji akan menyerah jika rekaman khotbahnya disiarkan media massa. Permintaan itu dituruti tapi Koresh ingkar janji. ''Saya menunggu perintah Tuhan,'' katanya kepada FBI. Sejauh ini polisi sudah melepaskan 21 anak-anak. Diduga masih 17 lainnya dan 90 orang dewasa di dalam benteng. Polisi memperkuat kepungannya dengan empat tank kelas berat M-1 karena Koresh mengaku mempunyai senjata untuk menghancurkan kendaraan lapis baja ringan. Belum jelas benar berapa lama Koresh akan bertahan. Yang pasti, kesabaran para pengepung tentu ada batasnya. Apalagi biaya pengepungan itu cukup mahal, sekitar Rp 4 miliar sehari. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini