TEHERAN tak bisa lain dari kota-kota besar yang lain: bergerak menjadi kota metropolitan. Itulah kesan John Mullin, wartawan tabloid The Guardian Weekly, ketika ia Februari lalu, saat Iran sedang memperingati ulang tahun revolusinya yang ke-14, berkunjung ke sana. Setidaknya, perbedaan antara kaya dan miskin mulai terasa. Di satu sisi adalah kehidupan yang mencerminkan kesusahpayahan. Para korban perang duduk berjejer di tepi jalan yang becek, berbaur dengan sejumlah pengemis tua yang buta atau buntung tangannya. Di sekitar Taman Shush yang becek, para penjahit kaki lima menawarkan jasanya, di tengah lalu-lalang para wanita berkerudung hitam yang bersikap tak acuh. Mereka adalah warga Teheran yang kalah berpacu dengan ekonomi tinggi. Orang-orang yang hanya bisa menyewa sepetak kecil flat seharga 300.000 rial (sekitar Rp 375.000) sebulan dengan susah payah. Harga itu pun tak menjamin aliran listrik menyala sepanjang malam. Dalam seminggu bisa tiga kali lampu mati. ''Sema lam bahkan gelap selama tujuh jam,'' tutur Mohammad Reza, 24 tahun, salah seorang penyewa yang pekerjaannya menjual kacang. Orang-orang itu makin terpukul karena sejak beberapa lama setelah Perang Teluk antara Irak dan Sekutu, pemerintah Iran mengurangi subsidi pangan. Maka hargaharga pun melonjak. Padahal penghasilan rata-rata orang Teheran tetap, sekitar 100.000 rial per bulan. Sekilo daging kini 7.500 rial, ikan 6.000 rial, dan beras mencapai seribu rial per kilo. Untuk membeli televisi berwarna paling murah, seorang pegawai negeri kelas menengah mesti puasa sekeluarga selama enam bulan. Mobil Mercedes dan BMW yang banyak terpajang di ruang pamer tampak nya konsumsi segelintir orang kaya. Sebab harga satu mobil Eropa itu sama dengan 70 tahun rata-rata gaji pegawai negeri. Inflasi mencapai 40%, menyebabkan pengangguran meningkat sampai 20% dari 60 juta penduduk Iran. Satu dolar AS sama dengan 70 rial resmi, tapi di pasar gelap bisa mencapai 1.400 rial. Angka kriminalitas pun mulai meningkat, dibarengi kejahatan narkotik. Meski tak ada data yang menunjukkan peningkatan itu, tindak kejahatan mulai meluas. Seorang wartawan wanita Barat kehilangan dompet berisi US$ 500 ketika ikut sembahyang di mesjid setempat. Mulamula ia terdorong jatuh oleh serombongan wanita berkerudung hitam, lalu menyadari bahwa dompetnya raib. Tak jauh dari situ seorang ibu menangis kehilangan dompetnya. ''Begini ini. Beginilah kejadiannya setiap hari,'' katanya di sela raungan tangisnya. Ia kemudian dibawa ke pos polisi terdekat. Tapi di sisi lain adalah kehidupan hedonistus yang serasa tak mengenal kesulitan. Lihat umpamanya ShorolalLa, warga Iran keturunan Yahudi berusia 40 tahun itu. ''Kini aku lebih bebas. Selama aku tak mengganggu orang lain, mereka tak akan mengusik kenikmatanku menengguk vodka di rumah,'' ujar Shorolal, yang berjualan kain korden ini. Meski minuman beralkohol dikenai larangan, pedagang kaki lima seperti Shorolal dapat membeli vodka secara sembunyi-sembunyi dari orang Armenia yang mengolah minuman keras. Tapi, tentu saja rasanya tak senikmat minuman keras yang tersimpan di gudang bawah tanah milik kaum kelas menengah, di kawasan elite di Teheran Utara. Di pusat bisnis di Teheran, para pedagang Iran berpenampilan lain. Dengan peralatan komputer dan telepon, mereka melakukan bisnis ke seluruh dunia. ''Kondisi sekarang ini mungkin buruk buat pemalas. Tapi bukan untuk kami,'' kata Saddat, seorang pengusaha berusia 65 tahun. Contoh lainnya adalah seorang pengusaha muda berusia 30 tahun yang bermain bursa. Rumahnya berukuran besar di Teheran Utara, dilengkapi dengan kolam renang. Sebuah televisi berukuran besar teronggok di samping peralatan audio yang berharga mahal di ruang tamunya yang luas. Sebuah pita video bertuliskan Talking Heads tergeletak di meja. Slogan zaman dulu bahwa Amerika adalah Setan Besar dan Inggris adalah Setan Kecil, meski tak hilang sepenuhnya, mulai jarang terdengar sekarang ini. Justru pengaruh Barat sangat terasa di kawasan kaum elite di ibu kota. Para wanita di Teheran Utara suka hadir dalam acara pesta, melepaskan kerudung mereka, dan meng gantinya dengan busana karya perancang dunia. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Wanita-wanita itu juga tak ketinggalan dengan mode masa kini: setiap hari mereka rajin berkunjung ke sebuah studio senam aerobik di pusat kota. Di dalam studio itu, tentu mereka tak mengenakan kerudung hitamnya, tapi membungkus tubuh mereka dengan baju senam berwarna lembayung, hijau, atau merah menyala. Dengan leluasa mereka bersenam mengikuti irama lagu Barat. Musik Barat tidak hanya terdengar dari pesta atau ruang senam. Menurut John Mullin, wartawan Guardian Weekly tadi, para penelepon yang menunggu jawaban dari kantor Presiden Iran Hashemi Rafsanjani akan disuguhi lagu Amerika seperti The Yelow Rose of Texas, Clementine, When Saints Go Marching In dan juga I Wish I Was in Dixie. Sedangkan film Amerika Serikat dan Eropa yang tak bisa ditonton di gedung bioskop Teheran, karena dilarang, bisa ditonton melalui video yang beredar secara gelap. Demikian juga film India, yang banyak disukai penduduk Teheran. Adapun di layar televisi, penduduk Teheran dapat menikmati serial televisi Jepang. Terutama serial televisi Oshin. Memang, itu semua bukannya tanpa kritik. Kelompok garis keras mengecam pemerintah karena perbedaan kaya dan miskin, yang dicoba dijembatani dalam sistem ekonomi Iran setelah revolusi, kini mulai terasa. Dulu ada upah minimum dan maksimum. Kini hal itu tak lagi diperhatikan. Kelompok ini pun mengecam gaya hidup Barat yang melanda, terutama pada golongan berpunya di Teheran. Yang paling memprihatinkan, menurut John Mullin, munculnya pelacuran di Taman Azadi di Teheran. Biasanya dengan mobil, mereka yang mencari pelacur akan mengelilingi taman itu beberapa kali, dan kalau ia beruntung akan ada wanita yang menyetopnya dan masuk ke mobilnya. Tapi hati-hati, tutur seorang warga Iran. Anda bisa diperas wanita itu, ''yang minta bayaran 50.000, atau mereka akan teriak-teriak karena akan diperkosa.'' Apa boleh buat, itulah salah satu risiko sebuah kota yang mulai terbuka. Mungkin, sang Presiden Hashemi Rafsanjani yang terkenal demokrat itu ingin meyakinkan dunia bahwa Iran tak lagi tertutup seperti dulu. Ia, misalnya, membuka pintu penanaman modal asing, dan membuka pintu turisme. Dengan risiko, Teheran tak bisa mengelak menjadi kota metropolitan dengan segala aspek positif dan negatifnya. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini