LAGU We're Coming to America, ciptaan Penyanyi Neil Diamond, terdengar meningkahi hiruk-pikuk anggota delegasi konvensi Partai Demokrat yang memadati balai sidang Omni Coliseum, Atlanta, sesudah penghitungan suara dilakukan dan Gubernur Massachusetts Michael S. Dukakis dinyatakan sebagai kandidat terpilih untuk pemilihan presiden Amerika Serikat 1988. "Kita pasti menang, karena partai kita merupakan bagian dari impian Amerika. Dan saya tahu itu, karena saya adalah produk dari impian tersebut," kata Dukakis seusai meraih tiket Partai Demokrat, pekan lalu. Dukakis, 54 tahun, yang didukung hampir 3.000 perutusan (yang dibutuhkan cuma 2.082 suara), menyerukan persatuan partai untuk mewujudkan "impian Amerika" tersebut. Jaminan itu telah diberikan oleh Pendeta Jesse Jackson (yang mengantungi sekitar 1.200 suara) sekalipun tokoh kulit hitam tersebut kecewa tak terpilih scbagai pendamping Dukakis. Imbauan persatuan diserukan Dukakis mengingat unggulan Partai Republik, George Bush, bukan saingan yang enteng. Salah satu kelemahan Dukakis dibandingkan lawan adalah ketidakterkenalannya. Para ahli strategi Partai Demokrat, sampai akhir konvensi Rabu pekan silam, masih meragukan kemampuan kandidat terpilih itu untuk bisa menarik pemberi suara, November depan. Sebagian besar calon pemilih lebih mengenal Dukakis sebagai Gubernur Massachusetts yang telah menyelamatkan negara bagian itu dari pengangguran yang tinggi, kekurangan pengadaan perumahan, dan prospek perekonomian yang buruk. Kini, tingkat kemakmuran di Massachusetts, yang ketika "diambil alih" Dukakis boleh dikatakan hampir bangkrut lantaran salah urus, melonjak melebihi negara-negara bagian lain. Tentang apa yang akan diperjuangkan Dukakis dari Gedung Putih hampir dipastikan semua pemilih akan menjawab soal tanggung jawab keuangan, agar Amerika tak hanya memperhatikan Eropa, dan menumpas korupsi di istana kepresidenan tersebut. Sukses "membangun kembali" Massachusetts memang menjadi tema pokok kampanye Dukakis dalam pemilihan pendahuluan lalu. Dengan tema itu ia ingin menunjukkan kepada rakyat Amerika bahwa dirinya mampu memegang kendali pemerintahan nasional. Tapi citra pemakmur Massachusetts telah "dipotong" para pengatur strategi kampanye George Bush. "Kelahiran kembali" Massachusetts, kata mereka, tak terlepas dari berbagai kebijaksanaan keuangan pemerintahan Presiden Ronald Reagan, yang banyak menyalurkan dana pertahanan untuk membiayai teknologi tinggi di Massachusetts. Bush, yang kini menjabat sebagai wakil presiden, ikut serta dalam menyusun kebijaksanaan itu. Kelemahan lain Dukakis adalah citranya yang sering dihubungkan dengan bekas Presiden Jimmy Carter, yang tak begitu populer di mata rakyat Amerika. Ada yang mencapnya -- yang barangkali ditiupkan kubu Bush -- sebagai "Jimmy Carter dari Utara". Untuk mengubah citra yang merugikan itu Dukakis lalu menyebut dirinya sebagai "anak lain dari Massachusetts". Itu berarti ia menghubungkan dirinya dengan Mendiang John F. Kennedy, salah seorang presiden yang paling karismatis dalam sejarah Amerika, dan berasal dari Massachusetts. Dukakis tentu saja tak mungkin menyamai Kennedy, yang berani mengambil risiko konflik dengan Uni Soviet untuk mempertahankan citra Amerika sebagai negara hegemonis. Pengalaman Dukakis dalam hubungan internasional tampak minim. Anjurannya agar Amerika tak lagi terlalu mementingkan Eropa -- yang secara tradisional jadi fokus tumpuan sekuriti Amerika -- pasti akan mengecewakan sekutu-sekutu di seberang Atlantik. Dukakis akan mendapat cap "isolasionis baru", sikap yang pasti tak menyenangkan sebagian besar pemilih Amerika, yang dalam sepuluh tahun terakhir telah beralih ke "kanan". Diduga untuk menutupi kelemahan itulah Dukakis mengeksploitasikan tema "impian Amerika". Topik itu diharapkannya bisa menarik suara emigran baru, yang datang dari Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Asia. Selain itu, keberhasilannya membujuk Jackson menciptakan persatuan diharapkan bisa menarik dukungan masyarakat hitam Amerika, kekuatan politik yang diperhitungkan banyak kandidat. Kelahirannya sebagai anggota masyarakat Yunani, yang juga minoritas di Amerika, boleh jadi akan merupakan faktor positif atas Dukakis. Dukakis, yang dikenal politikus yang bersih dan bersahaja, tinggal di rumah sederhana di pinggir Kota Boston, dan melakukan sendiri tugas-tugas rumah tangganya. Ketika para penasihatnya tiba di rumahnya pada kampanye pendahuluan lalu, Dukakis sedang memotong rumput dengan alat pembabat tanpa mesin. Kejadian itu diabadikan sekelompok juru potret yang sudah lama berkemah di dekat rumahnya, dan merupakan obyek kampanye. Kendaraannya, sekalipun menjabat Gubernur Massachusetts, hanya mobil Chevrolet biasa. Bahkan ia tak segan-segan naik bis ke tempat pekerjaannya. Tapi rakyat Amerika belum tentu siap menerima seorang bersahaja menghuni Gedung Putih. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini