Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Khawarij, awal skisma dalam islam

Skisma dalam islam mendapat porsi utama dari nurcholish madjid & jalaluddin rakhmat dalam diskusi klub paramadina. skisma muncul akibat pertikaian politik ketimbang aqidah, khawarij misalnya.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETISTIWA yang disebut fitnah kubra 24 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Tragedi sebagai ujian berat dalam Islam itu merenggut nyawa Khalifah Usman ibn Affan. Ali ibn Abu Thalib, khalifah pengganti, lalu difitnah sebagai dalang pembunuhan pendahulunya itu. Ini karena ia enggan mengadili para pembunuh, tentara dari golongan yang tidak puas dari Mesir yang datang ke pusat pemerintahan, Madinah. Aisyah, istri Nabi, yang semula menyuruh mengusut terbunuhnya Usman, kemudian bersama Zubair bin Awwam dan Mu'awiyah yang dibantu Amr bin Ash, bahkan ikut memusuhi Ali. Kemanakan dan menantu Nabi itu secara militer memang unggul, seperti dalam Perang Uta di Basrah. Tapi Ali kalah diplomasi setelah usul arbitrasi (tahkim) diterimanya dengan mengangkat Quran. Padahal, itulah tipu siasat Mu'awiyah yang bermarkas di Damaskus yang sama sekali tak meng akui kekhalifahan Ali. Sebagian pendukung Ali, yang semula gigih, bahkan tak mau lagi bergabung. Dengan memberontak pada Ali, malah membunuhnya, di pangkalan perang Harura dekat Kufah, Irak. Mereka menyempal dari rekan sesama tentara. Setelah Usman dibunuh, pecahan yang kian berbelah, lalu dirunggas partai-partai politik. Sedangkan pemberontak tadi mengafirkan pendukung Ali dan Mu'awiyah karna berdosa besar: mencari arbitrasi ke selain Allah. Padahal, yang menetapkan hukum adalah Allah. Lalu mereka menyebut dirinya sebagai kaum al-Syurat (Menjual diri ke Allah) dengan mempertahankan agama hingga titisan darah penghabisan. Itulah skisma dalam Islam. Sedangkan sejarah menyebut mereka Haruriyyun (berasal dari oase Harura). Dan sebutan Khawarij setelah kelompok lain mendiskusikan teologi mereka. Pendukung Ali yang setia setelah anaknya, Husain, dibunuh di Karbala kelak disebut Syiah -- menanggapi para pendosa itu di batas kafir dan mukmin. Tetapi kelompok seperti Murji'ah menyebut mereka bukan kafir, karena Allah yang berhak mengadili -- apa akan dimasukkan ke surga atau ditendang ke neraka. Murji'ah, secara politik berada di garis netral, dan kelak sebagai cikal-bakal Suni. Khawarij, menurut Nurcbolish Madjid, sempalan awal dalam Islam karena keluar dari kelompok Ali. Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menyebutkan, sempalan pertama di Islam adalah Syiah. Khawarij, katanya, justru sempalan dari Syiah. Dan sebutan Syiah muncul sesudah atau sebelum Khawarij? Jalal mengartikan sempalan sebagai kelompok yang memisah diri dari kelompok mayoritas. Sebaliknya bagi Nurcholish, peneliti dari LIPI itu, di samping definisi tadi ciri khas si sempalan adalah eksklusif dan sektarian. Kedua pembicara ini, dalam diskusi Klub Paramadina di Jakarta, Kamis malam dua pekan lalu, menyimpulkan: Skisma di Islam lebih karena pertikaian kepentingan politik ketimbang akidah. Pertikaian politik kemudian mencari legitimasinya dengan mengembangkan teologi. Paham itu mengkristal jadi doktrin yang solid. Beda dengan mereka adalah K.H. Hasan Basri. Suatu sempalan, katanya, tak mesti berlatar belakang politik. Misalnya tarekat. Contoh kongkretnya, menurut Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu, Al-Hallaj. Ajarannya membawa sikap asalnya yang begitu mendalam sampai berkata Ana Haq. "Itu jelas sesat, sebab dengan menganggap dirinya Tuhan, ia akan berbuat semaunya." ujarnya kepada TEMPO. Pada hal, Nabi mengingatkan, "Kamu cukup memikirkan bahwa dirimu itu makhluk Allah. Jangan memikirkan Dzat Allah." Dalam pada itu, kasus Khawarij juga difokuskan di Seminar Teologi Pembangunan yang diselenggarakan Lajnah Kajian dar Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama, Juni lalu di Kaliurang, Yogyakarta. Direktur Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, Drs. H. Hasbullah Mursyid, dalam makalahnya, Teologi Sempalan dan Pembangunan, menyebut bahwa Khawarij itu "hitam putih memandan agama" Misalnya, menolak hormat pada bendera. Sesuai dengan latar kehidupan nomad (badui) mereka merupakan kelompok sempalan yang keras dalam beragama tapi egalitarian. Karena itu, mereka menolak kompromi Bahkan lebih suka memisah diri alias eksklusif dari kelompok penguasa. Masih di seminar Yoya, dalam makalahnya Aliran Khaarij dan Teologi Sempalan, Dawam Rahardjo berpendapat, eksklusivisme dan kekerasan Khawarij, sampai membunuh Ali, itu tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam. Jadi, ada kontradiksi mternal dalam teologi Khawarij. Khawarij itu sempalan baru setelah Ahlusunnah yang dominan. "Tapi itu leblh merupakan ungkapan rasa kekecewaan rakyat terhadap pemerintahnya," kata Dawam pada Ardian Taufik dari TEMPO. Sumber persoalan, menurut Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat Jakarta itu, karena antara nilai kerakyatan suku Baduwi dan kultur pemerintahan suku Quraisy terpisah jurang. Mereka yang antikemapanan, menentang plutokrasi, dan nepotisme penguasa, Usman dan aparatnya. Di balik keekstreman dan keeksklusifan mereka itu menghendaki pemerintahan yang bersifat kerakyatan dan mengandung semangat keadilan, bahkan konstitusional. Menurut Nurcholish, kaum Khawarij hampir berhasil menghidupkan beberapa ajaran Nabi. "Dengan prinsip egalitarianisme, mereka tidak membedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab," katanya. Mereka juga membiarkan non-muslim mengurus kepentingan mereka sendiri. Di mata sarjana bukan-Muslim, Khawarij cukup favourable. Ernest Gellner, antropolog yang menulis buku Muslim Society, memuji puritanisme Khawarij. Apa Jadinya bila bangsa Arab menang di Poitiers, menaklukkan dan mengislamkan Eropa? "Pasti lahir Ibn Weber (bukan Max Weber), yang menulis buku Etika Khaarij (bukan Etika Protestan) dan Semangat Kapitalisme." Secara fisik kaum Khawarij telah sirna dari bumi, tapi secara doktrinal, banyak paham keagamaan Muslim, kini, dapat ditelusuri kembali sebagai berasal dari problematik Khawarij. Bahkan ada tanda problematik kaum Khawarij itu, sebagaimana dulu muncul dalam sistem teologi Mu'tazilah. Kini menunjukkan daya tarik dan vitalitasnya di kalangan Muslim "liberal". Lalu Jalaluddin Rakhmat, dosen komunikasi di Universitas Padjadjaran Bandung, menyebut mereka Khawarij modern. Gellner menamakannya neo-Khawarij -- yang muncul di Eropa Utara pada abad ke-16 dengan puritanismenya itu. Sedangkan kelompok sempalan Islam akibat politik mutakhir yang mirip Khawarij, antara lain, Darul Islam (DI), gerakan Negara Islam Indonesia (NII), dan Islam Jamaah (IJ). Mereka ada yang menyebutnya golongan prinsipalis, punya doktrinal kuat. IJ, dengan teologinya yang mirip Syiah, mengembangkdn ketaatan pada imam. Dan menganggap kafir terhadap mushm yang menolak bai'at kepada imam mereka, antara lain, Imam Haji Nurhasan Al-Ubaida alia Muhammad Madigol. Dari Pondok Bu rengan, Kediri, ajaran IJ menyeruak ke beberapa kota. Pada 1971 IJ dilarang pemerintah. Bagi Dawam, kini kelompok sempalan terbesar di dunia adalah Ahmadiyah Qadiani (bukan Lahore). Mereka eksklusif, Isolatif, ddn punya pengikut fanatis dan sektarian. Dawam menolak Syiah disebut sempalan. Alasannya, mereka menerima golongan lain. Sedangkan Persatuan Islam (Persis), kata Nurcholish, sempalan terbesar saat ini. Tapi itu hanya dalam pemahaman soal agama, bukan ke politik. Mereka mengembangkan ajaran keagamaan yang ketat. Walau tak bermazhab pada siapa pun, mereka menolak disebut Persis itu "sempalan" -- walau dalam arti potisif. "Persis punya pendapat yang tak banyak beda dengan Al-Irsyad atau Muhammadiyah," kata Hud Abdullah Musa, wakil pimpinan Pesantren Persis di Bangil, Pasuruan. "Kami terbuka. Tidak eksklusif. Mungkin Nurcholish cenderung memperkecil Persis yang selama ini dianggap pembaru ? Islam itu universal dan tidak mengenal ukhuwah wathaniyah, persaudaraan sebangsa." Bagi Nurcholish, kelompok Khawarij, yang awal itu, mengalami perubahan total, setelah berkembang seabad. Mereka dari ekstrem ke moderat. Di antara 20 sekte Khawarij, yang paling ekstrem adalah Azariqah. Mereka suka mengafirkan sesama. Sedangkan sekte Ibadliyah yang berkembang di Maroko malah tak mengafirkan sesama. Laporan Ahmadie Thaha, Syafiq Basri (Jakarta), Hedy Susanto (Bandung), Wahyu Muryadi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus