SUATU malam di sebuah restoran pizza di Kiryat Arba, di kompleks permukiman imigran Yahudi di Tepi Barat. Orang yang berkumpul di situ, semuanya orang Yahudi, ramai mengomongkan kemenangan Partai Buruh. "Kami bingung," tutur Yitzhak Tzarfati, pemilik kedai pizza itu, kepada wartawan Washington Post yang berkunjung ke permukiman ini beberapa hari setelah pemilu Israel 23 Juni lalu. "Sebagian orang bilang kami akan didepak, sebagian lagi mengatakan kami akan dibunuh." Itulah reaksi para imigran Yahudi tersebut tentang janji Yitzhak Rabin, pemimpin Partai Buruh yang kini jadi perdana menteri Israel, yakni memberikan hak otonomi bagi wilayah pendudukan. Rabin waktu itu belum merinci "hak otonomi" itu. Tapi para imigran Yahudi di wilayah ini takut hal yang dulu terjadi di Sinai bakal terulang. Salah satu pasal dalam Perjanjian Camp David 1978 menyatakan bahwa Israel mesti menyerahkan kembali Gurun Sinai yang direbutnya dari Mesir pada tahun 1967. Waktu itu di Sinai sudah berdiri perkampungan Yahudi lengkap dengan pasar, pertokoan, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Tapi begitu sampai di hari penyerahan, para pemukim diminta pindah ke wilayah Israel. Tentara Israeldikerahkan untuk memaksa yang membangkang. Bayangan seperti di Sinai itulah yang membuat Uzi Bettel, pengusaha pompa bensin di Kiryat Arba, senewen. "Hidup di sini tak enak dan tak nyaman lagi setelah Rabin menang," katanya sambil mengunyah pizza. Seorang anggota persatuan imigran Yahudi di kawasan itu menyahut, "Bila Rabin nanti minta kami segera mengosongkan rumah, saya tak habis mengerti."Kiryat Arba adalah permukiman pertama imigran Yahudi di Tepi Barat.Permukiman itu mulai dihuni tahun 1968 dan kini boleh dibilang sudah menjadi kawasan mewah. Rata-rata rumah berdiri di tanah 500 m2, beberapa rumah punya kolam renang. Penghuninya bukan lagi imigran yang masih harus disubsidi pemerintah Israel, tapi malah sudah membayar pajak penuh. Kata Tzarfati, pemilik rumah makan piza itu, "Ke mana saja uang yang kami berikan itu?" Menurut wartawan Washington Post, rasa tak pasti terhadap masa depan yang muncul karena kemenangan Partai Buruh menyebabkan sebagian besar orang Yahudi di Kiryat Arba mempersenjatai diri, dari pistol sampai senapan otomatis Uzi dan M16. Orang yang kemudian mempersenjatai diri itu, menurut Ehud Sprinzak, penulis buku tentang munculnya kelompok radikal dalam politik Israel, adalah pendukung politik garis keras. "Kami tak rela melepaskan sejengkal pun tanah Israel.Kami bersedia mati untuk itu," ujar Benny Harkabi, salah seorang pendukung kelompok ini. Orang-orang inilah nanti yang bakal mengganjal, seandainya Konperensi Damai Timur Tengah sepakat memberi hak otonomi kepada wilayah pendudukan. Memang tak diketahui pasti, dari sekitar 100.000 imigran Yahudi di permukiman baru, berapa yang mendukung politik garis keras dan berapa yang mendukung kompromi. Yang jelas, tak hanya di Kiryat Arba, Tepi Barat, itu imigran Yahudi bersikap keras. Di Jalur Gaza, sejumlah imigran Yahudi mengaku kadung cinta Gaza dan mereka ingin wilayah itu tetap berada dalam kontrol Israel. Akan halnya warga Palestina di wilayahwilayah itu harus bersedia hidup di bawah pengawasan tentara Israel. Atau, silakan tinggalkan wilayah ini, kata seorang Yahudi di Gaza pada majalah Time, beberapa waktu lalu. Sebenarnya politik pemerintah Israel sejauh ini memang membuat sebagian imigran Yahudi tak punya pilihan lain. Mereka terpaksa memilih tinggal di wilayah pendudukan meski lokasi permukiman baru itu jauh dari pusat kegiatan di Israel. Yakni mereka yang hidupnya pas-pasan. Sebab pajak khusus yang meringankan dan subsidi di banyak bidang hanya diberikan kepada imigran baru bila mau tinggal di wilayah pendudukan. "Sebenarnya kami ingin juga hidup di daerah lain, tapi kami tak mampu," kata Boris Gamov, Yahudi Rusia yang baru sampai di Gazasekitar Oktober lalu. Seperti sudah disebutkan, imigran Yahudi di Kiryat Arba ratarata kini hidup makmur. Pilihan lain memang ada, yakni tinggal di kotakota. Tapi ini berarti hidup berdesakdesakan di rumah susun yang tak bisa dibilang nyaman, seperti yang dialami oleh keluarga Vladimir Shifrin yang datang di Israel sekitar setahun lalu. Mereka terpaksa tinggal di Yerusalem demi pendidikan anak kembarnya, mahasiswa akademi musik. Tinggal di wilayah pendudukan jauh dari sekolah musik. Bayangan bahwa mereka akan terusir dari wilayah pendudukan tampaknya benarbenar menakutkan para imigran itu. Janji Rabin pekan lalu, untuk menghentikan pembangunan permukiman baru di wilayah pendudukan, bisa jadi ditafsirkan oleh para imigran itu sebagai langkah menuju pemberian otonomi.Sampai sampai seorang anggota Partai Buruh mengingatkan, "Jika permukiman di Tepi Barat dipindahkan, maka perang saudara akan berkobar." Jadi seandainya Rabin memang berniat memberikan otonomi itu, yang pertama-tama harus ia undang ke meja perudingan bukanlah orang Palestina, tapi imigran Yahudi itulah. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini