Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ini Juga Semacam Penghapusan Etnis

Mereka juga korban perang, meski tak langsung. pengiriman bantuan bahan makanan untuk mereka pun sulit, penuh risiko. itulah nasib 4,5 juta rakyat somalia.

14 November 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOMALIA adalah keputusasaan. Mungkin itulah yang akhirnya terpikir oleh Mohamed Sahnoun, utusan PBB untuk negara di pantai timur Afrika itu. Maka, setelah bertugas sekitar enam bulan, Sahnoun mengundurkan diri akhir Oktober lalu. Tindakan itu sekilas tentu tak terpuji. Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali pun marah dan menuduh Sahnoun menghambat kerja PBB dan sekaligus merusak reputasi lembaga internasional ini. Soalnya, Sahnoun memang ditugasi untuk mengatasi bencana kelaparan Somalia. Lalu, di tengah angka kematian yang belum juga susut (masih bergerak antara 200 dan 350 orang perhari sejak beberapa bulan lalu), ia meletakkan tugas. Ini terkesan sepertinya ia hendak cuci tangan. Tapi pengunduran diri Sahnoun bukannya tanpa sebab dan tanpa proses. Mula-mula ia hanya mengkritik cara kerja tim PBB yang tak efisien, terlalu birokratis, sehingga bantuan tak bisa langsung diterima mereka yang membutuhkan pertolongan mendesak. Ini membuat ia ditegur oleh New York. Tapi tak ada tanggapan sama sekali tentang kritiknya. Maka ia pun mundur. Boutros Ghali segera mengangkat Ismat Kittani, seorang diplomat Irak yang diharapkan tiba di Somalia pekan ini, untuk menggantikan Sahnoun. Bisakah Kittani memecahkan persoalan Somalia? Bila pertanyaan itu ditujukan kepada Sahnoun, mungkin jawabnya adalah bisa, tapi dengan syarat. Yakni pihak PBB tak perlu segan mengawal bantuan dengan pasukan yang kuat. Soalnya, perang saudara antara kedua kelompok di Somalia ini, yang berlangsung sejak akhir tahun lalu, bukanlah perang untuk kemenangan politik. Perang di sini sudah merupakan campuran antara politik dan perampokan, dan tiap tentara yang terlibat seolah menganggap tentaralah yang penting, warga Somalia yang lain silakan menyingkir. Maka tentara kedua pihak tak cuma saling menembak, tapi juga berebut menjarah bahan makanan milik penduduk sipil. PBB sejak pertengahan September lalu sebenarnya sudah memutuskan untuk meningkatkan bantuan ke Somalia lewat program 100 hari. Sekitar 100.000 ton makanan, yang diperkirakan cukup untuk makan selama setahun buat seluruh penduduk Somalia yang kelaparan (diduga sebanyak 4,5 juta orang), mulai mengalir. Celakanya, semua bahan makanan itu hanya bisa mencapai ibu kota Mogadishu, ratusan kilometer dari wilayah pengungsian. Konon rezim baru Somalia hanya memberi izin pesawat pembawa bantuan mendarat di Mogadishu. Padahal membawa bahan makanan itu ke pedalaman berisiko besar: dirampok tentara yang bertikai. Sejauh ini, paling banyak 50% saja bantuan yang dikirimkan dari Mogadishu sampai ke tangan warga sipil. Inilah penyebab tentara yang berperang tak pernah dikabarkan kekurangan perbekalan, sedangkan jutaan orang sipil sudah setengah kerangka antre untuk mendapatkan sepiring bubur. Sekitar 500 orang tentara PBB, yang ditempatkan di Somalia untuk mengawasi pengiriman bantuan, tak berdaya. Sering kali karung-karung makanan hanya didrop dari udara ke tempat yang diperkirakan menjadi pusat pengungsi. Ini memudahkan penjarahan oleh tentara yang bertikai itu. Sahnoun, yang meminta didatangkannya tentara PBB lebih banyak, malah dipaksa mundur. Mestinya Boutros Ghali bukannya tak tahu-menahu soal itu. Masalahnya, pemerintahan Muhammad Farah Aideed, yang merebut kekuasaan pada Januari tahun lalu, sejak awal sudah menen tang kehadiran pasukan PBB di negerinya. Alasannya, itu melanggar kedaulatan nasional. "Jika mereka tetap mengirim pasukan tanpa persetujuan kami, kami akan membunuh mereka," kata Aideed yang menjatuhkan pemerintahan Muhammad Siad Barre itu. Aideed menawarkan agar PBB mempercayai saja pasukannya mengawal pengiriman bantuan makanan itu. Tentu itu pilihan yang mustahil bagi PBB. Memihak Aideed, bagi Boutros Ghali, sama artinya memusuhi pendukung Barre, dan itu menyalahi prinsip PBB yang mesti di atas segala pihak. Itulah, PBB lalu seperti menghadapi jalan buntu. Ada memang jalan keluar yang ditawarkan oleh Malcolm Fraser, bekas perdana menteri Australia yang kini jadi Presiden Care International. Yakni jalan diplomasi. "Yang diperlukan adalah usaha diplomasi yang mengajak para pemimpin kelompok ke meja perundingan," kata Fraser. Bila perunding berjalan, setidaknya selama itu bisa dijamin adanya gencatan senjata. Dan ini memang dipraktekkan PBB di Kamboja. Fraser sendiri mengakui, usulnya diilhami gencatan senjata di Kamboja itu, meski belum berhasil benar. Dan sebenarnya itulah yang dilakukan oleh Sahnoun selama ini. Menurut para pekerja sosial di Somalia, Sahnoun dalam masa tugasnya telah berhasil melakukan pendekatan dan diterima oleh kedua kelompok -- kelompok Aideed dan Barre. Tapi, entah bagaimana, sebelum kedua pihak bisa dipertemukan, Sahnoun minta agar tentara PBB ditambah jumlahnya. Mungkin ia melihat perundingan bakal berjalan lama, sedangkan mereka yang kelaparan tak bisa menunggu lagi. Walhasil, semacam korsleting pun terjadilah, dan Sahnoun harus pergi. Maka keputusasaan seolah tak teratasi. Somalia masih jadi panggung kematian yang teateral: tiap 5-10 menit seorang tua, atau seorang anak, atau seorang bayi, atau seorang wanita lunglai tersungkur. Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus