THAILAND dan Jepang, dua negara yang dianggap berpengaruh terhadap Khmer Merah, gagal membujuk kelompok radikal itu agar mematuhi pelaksanaan Perjanjian Paris. "Kami menyerah. Mereka tetap menolak usul-usul kami," kata Saroj Chavanaviraj, Direktur Jenderal Politik Kementerian Luar Negeri Thailand, pekan lalu. Upaya kedua negara itu dicoba setelah Pemerintah Peralihan PBB di Kamboja kewalahan menangani Khmer Merah. Kendati kelompok radikal itu menyetujui adanya gencatan senjata sebagai langkah pertama dalam persiapan menuju pemilu bulan Mei tahun depan, Khmer Merah mogok ketika giliran perlucutan senjatanya dan pembebastugasan pasukan. Masih ada pasukan Vietnam di Kamboja, katanya. Lagi pula Dewan Nasional Tertinggi, yang terdiri atas wakil-wakil semua faksi, menurut Khmer Merah, tak diberi kekuasaan selayaknya. Karena itu mereka akan tetap memboikot proses perdamaian. Adalah Thailand bulan Juni lalu yang menawarkan jasanya untuk membujuk Khmer Merah. Thailand merasa punya akses pada Khmer Merah, karena suplai persenjataan maupun perdagangan Khmer Merah harus melewati wilayah Thailand. Bila kemudian Jepang bergabung, itu jelas kepentingan Pemerintah Tokyo. Dari jumlah US$ 1,7 milyar yang telah disediakan untuk membiayai operasi perdamaian di Kamboja, hampir 45% datang dari Jepang. Tawaran mereka kepada Khmer Merah adalah pembentukan suatu dewan penasihat terdiri dari anggota keempat faksi, yang mangkal di kementerian-kementrian utama, yakni pertahanan, luar negeri, keuangan, penerangan, dan keamanan nasional. Kini, lima kementerian itu masih dipegang oleh rezim Phnom Penh, tetapi dikuasai Pemerintahan Peralihan. Namun, tawaran Thailand-Jepang itu belum dibahas benar oleh Khmer Merah, tapi sudah ditolak oleh Perdana Menteri Hun Sen. Maka langkah selanjutnya adalah penjatuhan sanksi ekonomi terhadap Khmer Merah. Thailand, yang semula kurang setuju dengan rencana PBB ini, kini mengakui bahwa itu mungkin jalan keluar dari kemacetan. Sanksi ekonomi itu pada dasarnya berarti penutupan perbatasan Thailand-Kamboja. Tujuannya, memblokir perdagangan permata, kayu, dan senjata antara Khmer Merah dan para pengusaha Thailand, yang konon tiap tahunnya menghasilkan minimal US$ 20 juta bagi kelompok itu. Namun seandainya sanksi itu dilakukan, belum tentu berhasil membendung kegiatan dagang Khmer Merah. Penutupan perbatasan itu sulit dilaksanakan karena sangat panjang, 1.000 km. Sekarang saja Pemerintah Peralihan belum berhasil memasuki daerah-daerah yang dikuasai Khmer Merah. Bagaimana akan memonitor perbatasan itu? Selain itu sebenarnya bukan Khmer Merah saja yang menggunakan perbatasan itu. Kalau perbatasan ditutup, faksi lainnya juga akan menderita, kata seorang diplomat di Bangkok. Yang makin memprihatinkan, upaya akhir pekan lalu di Beijing, antara Menteri Luar Negeri Indonesia Menteri Ali Alatas selaku ketua proses perdamaian di Kamboja dan rekannya dari Prancis, Roland Dumas, pun mentok. "Kami gagal mencapai persetujuan," kata Ali Alatas kepada wartawan seusai perundingan, "beberapa perubahan perlu dilakukan dalam Perjanjian Paris." Khmer Merah bergeming di posisinya: tak akan ikut pemilu. Tapi Alatas belum bersedia mengungkapkan pasal apa saja dalam Perjanjian itu yang perlu diubah. Dan lebih penting: apakah kemudian Khmer Merah setuju. Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini