INI barangkali yang dimaksud dengan zaman globalisasi. Yang berganti kepala negara berada di seberang lautan, eh kita kena juga getahnya. Karena rakyat Amerika Serikat memutuskan mengganti presidennya, para pejabat Indonesia terpaksa mendapat pekerjaan tambahan. Kabarnya, Menteri Alatas dan Menteri Koordinator Ekuin Radius Prawiro sudah diberi tugas meriset tindakan apa yang perlu diantisipasi dengan naiknya Clinton sebagai presiden. Tentunya ini sesuatu yang wajar, sebagai langkah hati-hati Indonesia. Maklum, naiknya Clinton dari Partai Demokrat ini segera mengingatkan para pejabat Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Carter dari partai yang sama, tahun 1979-1981. Ketika itu, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat sempat terseok-seok. Soalnya, Carter sangat aktif menekan negara yang dianggapnya kurang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Indonesia, yang ketika itu masih memiliki sejumlah tahanan politik di Pulau Buru, termasuk menjadi bulan-bulanan. Berhasilkah tekanan Carter ketika itu? "Saya kira sekadar mempercepat pembebasan tahanan di Pulau Buru setahun atau dua tahun saja," kata seorang mantan diplomat AS yang terlibat masalah itu dan tak mau disebut namanya. "Sebab, pemerintah Indonesia sendiri sudah memutuskan untuk melakukannya," tambahnya. Soal hak asasi manusia sebenarnya bukan hanya menjadi perhatian Partai Demokrat. "Salah satu sokoguru kebijaksanaan luar negeri AS adalah memperjuangkan penghormatan hak asasi manusia," kata Dr. Don Emmerson, pengajar ilmu politik di Wisconsin University, AS. Hanya saja, cara berjuang Partai Republik dan Partai Demokrat sangat berbeda. Partai Republik umumnya lebih suka menggunakan quiet diplomacy, alias menekan di balik pintu tertutup. Adapun Partai Demokrat gemar melakukannya melalui diplomasi terbuka. "Kalau mereka melakukannya di belakang pintu tertutup, kami bisa menerimanya," kata seorang diplomat senior Indonesia di Washington, D.C. "Soalnya, kami kan juga ingin memperbaiki hak asasi manusia di Indonesia," tambahnya. Adakah ini berarti ketegangan diplomasi antara AS dan Indonesia akan meningkat di zaman Clinton? "Belum tentu," kata Prof. Dr. Sadli, pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang banyak berpengalaman dalam berhubungan dengan Amerika. "Ini tergantung, apakah Bill Clinton atau Kongres yang mengambil peran dalam kebijaksanaan luar negeri," katanya. Kongres AS umumnya dikenal lebih "galak" dalam mempromosikan soal hak asasi ini. Antara lain untuk menarik simpati masyarakat. Maklum, anggota Kongres harus mengikuti pemilihan kembali setiap dua tahun. Kalau Wakil Presiden Al Gore yang berpengaruh, ancamannya lain lagi. Tokoh yang dikenal sebagai pendekar lingkungan hidup ini cenderung mengaitkan akses ke pasar AS dengan keadaan lingkungan hidup di negara asal produk tersebut. Meksiko dan Venezuela sempat mengenyam kerugian besar. Produk ikan tunanya dilarang masuk karena cara menangkapnya dituding menyebabkan kematian banyak lumba-lumba. Indonesia pun menghadapi ancaman di sektor ini. Kelompok lingkungan hidup di Amerika sudah lama menuntut pemboikotan produk kayu Indonesia dengan alasan penebangannya merusak hutan tropis yang seharusnya dilindungi. Dengan Al Gore sebagai wakil presiden, cukup besar kemungkinan pemerintah AS lebih ringan tangan memakai senjata Super 301 untuk memenuhi tuntutan kelompok "hijau" itu. Tapi ancaman yang oleh Departemen Luar Negeri Indonesia dianggap sebagai ancaman paling serius adalah di sektor perburuhan. Akibat tekanan kelompok buruh di AS, Washington sedang mempertimbangkan pencabutan fasilitas GSP (semacam keringanan bea masuk bagi negara berkembang) bagi produk Indonesia. Alasannya, hak-hak buruh di Indonesia kurang di perhatikan dan penyelesaiannya terlalu berorientasi pada pendekatan keamanan. Tapi Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yakin, masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. "Semua langkah pemerintah Indonesia itu punya dasar dan dapat dijelaskan," katanya kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. "Dan saya yakin pejabat Amerika itu orang-orang yang rasional," tambahnya. Adapun tentang penggunaan perangkat keamanan, "Pengusaha yang menyewa alat keamanan untuk menyelesaikan masalah itu yang salah," kata Moerdiono. "Itu bukan kebijaksanaan Pemerintah," ujarnya. Kalaupun semua persoalan di atas dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi, bukan berarti semua masalah akan sirna. "Kalau Clinton berbaik-baik dengan Irak, akan terjadi pemasokan minyak bumi yang berlebih," kata Sadli. Artinya, harga minyak akan anjlok dan pemerintah Indonesia bisa kehilangan pendapatan yang lumayan jumlahnya. "Itu harus kita pikirkan," sarannya. Tampaknya dua menteri Indonesia, setidaknya, Ali Alatas dan Radius Prawiro, punya tugas baru yang mungkin tak mudah. BHM dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini