Dua bulan terakhir, terjadi bentrokan bersenjata antarkelompok intifadah. Cuma Israel yang untung. SAID Kanaan menghambur ke jalan begitu mendengar serentetan tembakan senapan mesin. Pemilik toko di Casbah di Tepi Barat ini merasa yakin bahwa pasukan Israel kembali membantai para pemuda Palestina yang melancarkan aksi lempar batu. Tapi, begitu sampai di tempat kejadian, ia terkejut, "Tak ada tentara Israel di sana. Yang ada cuma para pemuda Palestina saling mengacungkan senjata UZi, M-16, dan granat, bersiap-siap untuk saling baku tembak," tuturnya. Sesungguhnya, ini bukan kejadian pertama. Sudah sejak intifadah lebih dari tiga tahun lalu, para pemuda aktivis, selain melawan tentara Israel, juga menghukum mati orang Palestina di wilayah pendudukan yang dianggap kolaborator. Tapi, sejak awal April lalu, permusuhan jadi terbuka: perang antarkelompok. Dua pekan lalu, tiga orang bertopeng menculik penjaga sekolah di Hebron, lalu membunuhnya. Seorang penghuni kamp Jabalya diseret ketika sedang berada di luar kamp, dan ditemukan tewas karena tikaman pisau dan kapak sekitar 1 km dari tempatnya diculik. Lalu sebuah rumah dikirimi granat di Jalur Gaza: seorang tewas, 20 luka-luka. Pamflet yang disebarkan oleh para pemimpin Palestina seperti tak ada artinya. Selebaran itu menyerukan dihentikannya " penculikan, interogasi, dan pembunuhan" di antara sesama Palestina. Tak begitu jelas bagaimana semua ini terjadi. Mungkin, perasaan frustrasi oleh penindasan pasukan Israel, kondisi ekonomi yang makin buruk, wilayah pendudukan yang makin terhimpit dengan dibangunnya permukiman untuk imigran Yahudi Soviet dan Ethiopia, dan masa depan tak menentu akibat macetnya upaya damai menjadi penyebab semua itu. Bila sebelum "perang saudara", kelompok-kelompok itu saling membantu mengadakan aksi intifadah, kini mereka begitu peka akan daerah gerak masing-masing. Tiap pelanggaran wilayah akan diikuti bentrok senjata- senjata tajam maupun senjata api. Korban pun meningkat. Enam bulan dalam tahun ini, sudah 63 warga Palestina tewas di tangan sesama bangsa Arab. Dari jumlah itu, lebih dari 40 orang jadi korban sejak awal April sampai pekan lalu. Padahal, jumlah korban bentrokan Arab-Israel dalam waktu yang sama "cuma" 50 orang. Salah satu kelompok pemuda Palestina yang mulai bergerak sendiri ini adalah grup Shabiba, yang mengaku berada di bawah komando Al Fatah-nya Yasser Arafat. Tapi, dalam suatu pembicaraan, para pemuda Shabiba mengecam Arafat yang dianggapnya terlalu lunak. Akibatnya, kelompok Hamas- kelompok yang memulai intifadah- jadi lebih kuat, kata mereka. Dengan kekuatan yang dimiliki itulah, Hamas dituduh melebarkan kawasan bergerak mereka. Tampaknya, warga Palestina di wilayah pendudukan mulai menyadari "perkembangan menyimpang" dari intifadah. Selasa pekan lalu, di gedung Teater Hakawati di Yerusalem Timur para intelektual Palestina menyelenggarakan acara debat soal arah intifadah. Diskusi mencakup masalah cara menghadapi Israel dan Amerika, serta aksi untuk menghentikan pembunuhan para tersangka kolaborator. Yusuf Abu Samra, seorang psikiater, mengusulkan agar dikenakan larangan bagi anak di bawah 15 tahun ikut dalam intifadah. Para intelektual Palestina itu tampaknya mengkhawatirkan rusaknya citra intifadah di mata negara-negara Barat. Pertemuan di Yerusalem Timur itu tak dilarang oleh pemerintah Tel Aviv, tapi koran-koran di sana dilarang melaporkan acara itu. Bentrok sesama Palestina ini memang belum sampai membuat intifadah turun nilainya. Yang sudah pasti, ini menguntungkan pihak Israel. Buat kebanyakan warga Palestina di wilayah pendudukan sendiri, lebih memilih menyingkir daripada melerai kalau ada bentrok seperti itu. Padahal, mereka biasanya membantu bila para pemuda melawan tentara Israel. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini