Di Irak, perang melawan kelaparan dan penyakit berlanjut terus, dan korbannya adalah anak-anak. PERANG sudah selesai, tapi Irak menghadapi perang yang lain. Yakni, perang melawan kurangnya air, makanan, obat-obatan, dan berjangkitnya kolera serta disentri. Korban utamanya, tak sulit ditebak, adalah anak-anak balita. Menurut laporan tim medis Universitas Harvard, AS, yang berkunjung ke Irak akhir April lalu, bila dalam waktu dekat bantuan obat-obatan dan makanan tak segera datang, sekitar 170.000 anak-anak Irak bakal mati karena penyakit perut komplikasi dari kelaparan. Berita itu mengundang sahabat si miskin dari India, Bunda Theresa. Rohaniwan Katolik pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1979 ini beserta timnya tiba di Baghdad Selasa pekan lalu. Mereka bakal berada selama beberapa pekan di Irak. Untuk melihat kesengsaraan itu, paling mudah lewat rumah-rumah sakit. Tengoklah kondisi mengenaskan di Rumah Sakit Qadissiya di Baghdad, seperti dilaporkan majalah Time. Tiap hari, rumah sakit ini menerima sepuluh bayi dengan kasuskelaparan akut, dikenal dengan kasus marasmus. Karena kekurangan sprei, selimut, dan popok, para bayi yang keriput dan tinggal tulang berbalut kulit ini cuma dibaringkan di kasur beralas plastik. Lebih celaka lagi, rumah sakit juga tak memiliki susu dan obat-obatan memadai. Maka, hampir tiap hari bayi yang mati kelaparan. Menurut Palang Merah Irak, sejak genjatan senjata Maret lalu, 80% dari seluruh kematian di Irak adalah anak. Lihatlah ibu-ibu dengan wajah dan penampilan memelas menjaga anak-anak mereka yang sekarat di rumah sakit. Mereka tak lagi bisa memberikan ASI karena mereka sendiri kurang makan. Bila orang asing datang, terdengar koor memilukan, "haleeb, haleeb,"- susu, susu. Krisis keuangan menyebabkan pemerintah Baghdad tak lagi mampu menyubsidi susu bayi formula dan produk lain yang diimpor. Harganya pun meroket. Susu merek Similac, yang sebelum perang cuma setengah dinar (US$ 1,5) sekaleng, kini 20 dinar- sama dengan pendapatan rata-rata buruh rendah dalam sepekan. Di Saddam City, kawasan kumuh di Baghdad, banyak penduduk mengais tempat sampah yang menggunung- sejak lima bulan lalu, sampah belum juga dibersihkan -- untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Sudah lima bulan kawasan miskin ini tidak memiliki air bersih. Bukan cuma warga papan bawah, masyarakat kelas menengah Irak pun berjuang keras mendapatkan air bersih dan bahan makanan. Walau banyak pembangkit tenaga listrik sudah berfungsi kembali, suplai listrik masih belum merata. Padahal, listrik diperlukan untuk menjalankan pompa air. Dalam kondisi seperti itu, kasus disentri dan kolera tak terhindarkan. Menurut koran Irak The Baghdad Observer, pekan lalu saja, tercatat 172 kasus baru kolera di seantero negeri. " Disentri merupakan penyakit pembunuh nomor satu di Irak sekarang," ujar Arfan Al Hani, dokter yang memimpin tim bantuan medis Amerika. Banyak rumah sakit, sampai kini, belum mendapat aliran listrik kembali. Tanpa listrik, rumah sakit tak bisa mengoperasikan perangkat medis mendasar, seperti inkubator dan lemari pendingin tempat menyimpan obat dan darah. Di Kota Arbil, semua bayi yang lahir prematur meninggal karena inkubator tak berfungsi. Di Karbala, sebuah rumah sakit tanpa fasilitas lemari pendingin mengandalkan transfusi langsung dari donor. Sanksi ekonomi internasional memang tidak mencakup makanan dan obat-obatan. Tapi, kenyataannya, obat-obatan dan makanan sulit masuk. Dengan dana yang masih dibekukan serta krisis ekonomi yang membelit, makanan, obat-obatan, dan perangkat memang langka di Irak. Bahkan para dokter bergantung pada dana bantuan untuk tetap bisa bekerja. Tampaknya, tanpa mencabut sanksi ekonomi sesegera mungkin, puluhan ribu nyawa anak-anak Irak bakal melayang. Haruskah ini dibiarkan terjadi hanya karena Saddam Hussein masih kuat bertahan? Pihak Sekutu, khususnya Washington, baru mau mencabut sanksi ekonomi bila Saddam tak lagi berkuasa. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini