Tampaknya ada yang lebih besar yang mesti diperjuangkan Yeltsin dan Gorbachev, daripada mereka bermusuhan. BELUM pernah dalam sejarah Uni Soviet, seorang presiden Republik Rusia diundang langsung oleh presiden Amerika Serikat. Bila Kamis pekan ini di Washington George Bush bertemu Boris Yeltsin- presiden Rusia pertama yang terpilih dalam pemilihan langsung sepanjang 1.000 tahun sejarah Rusia, Rabu pekan lalu- itu cuma menunjukkan makin pentingnya seorang presiden Rusia. Ada yang bilang, pertemuan itu untuk mendahului pertemuan Mikhail Gorbachev, presiden Uni Soviet, dengan kepala-kepala negara G-7, bulan depan. Yeltsin, sebagai tamu dari Kongres, menurut para wartawan Barat, diduga akan memulai hubungan langsung antara Rusia dan AS. Bila perundingan disepakati, ini akan jadi modal besar bagi Yeltsin dalam negosiasi dengan Gorbachev. Tanpa hubungan itu pun sebenarnya posisi Yeltsin sudah sangat kuat. Ia memenangkan 60% suara, dan lawan terdekatnya, bekas Perdana Menteri Soviet Nikolai Ryzkhov, hanya meraih 10%. Yeltsin pun telah membuktikan bahwa ia mampu memperbesar kedaulatan Rusia. Tahun lalu Republik Rusia menyatakan berdaulat, sebagaimana negara-negara Baltik dan beberapa Republik Soviet yang lain. Tapi bisa dibilang Rusia sebenarnya paling kecil kedaulatannya. Republik Soviet yang lain, yang menyatakan kedaulatannya, sudah mempunyai perangkat pemerintahan sendiri, angkatan kepolisian sendiri, bahkan Partai Komunisnya pun bersifat lokal. Rusia belum punya itu. Kemudian, di tahun lalu juga, parlemen Rusia mengangkat Boris Yeltsin sebagai ketua- dan inilah yang disebut presiden Rusia. Tokoh radikal 60 tahun yang sangat pro-reformisme itu tak cuma goyang kaki menikmati popularitasnya. Di bawah kepemimpinannya kini Republik Federasi Rusia punya juga kepolisian sendiri, bahkan KGB sendiri. Dan ketika Kremlin mengirim pasukan ke Baltik, Yeltsin tanpa takut-takut berteriak agar "tentara Rusia jangan membunuh orang Soviet"- sekitar dua pertiga perwira tentara Soviet adalah etnik Rusia. Maka, dengan kemenangannya sekarang, Gorbachev tak bisa lagi menganggap remeh kedudukan Yeltsin- orang yang pernah didepaknya dari kursi ketua PKUS cabang Moskow. Di belakang Yeltsin adalah negara bagian terbesar dalam lingkungan Uni Soviet (luas Rusia sekitar tiga perempat wilayah Soviet seluruhnya) dengan jumlah penduduk separuh dari penduduk Soviet. Lalu tiga perempat sumber kekayaan Soviet berada di republiknya Yeltsin ini- 55% anggaran belanja dan 80% pajak ekspor Uni Soviet datang dari Rusia. Yang sudah bisa diharapkan, dengan kemenangannya sekarang, Yeltsin akan menginjak pedal gas liberalisasi ekonomi Rusia. Ia akan menswastakan perusahaan-perusahaan besar yang selama ini dipegang pemerintah dan merugi terus. Ia akan melembagakan pemilikan pribadi atas tanah. Ia akan membuka Rusia untuk penanaman modal asing. Yang kini masih jadi spekulasi, adakah dengan kekuatan seperti itu Yeltsin, pendukung kemerdekaan negara-negara republik Soviet sejak awal, akan juga memperjuangkan dimilikinya tentara, politik luar negeri, dan bentuk pemerintahan sendiri bagi negara bagian Soviet. Tampaknya tidak. Bahkan gagasan Yeltsin tentang bentuk Uni Soviet yang baru, sebuah "uni tanpa pemerintahan pusat"- mirip roda tanpa sumbu, komentar majalah The Economist -- mungkin juga akan dilupakannya. Itu sebabnya, Mikhail Gorbachev, dengan tersenyum, ikut memberikan selamat atas menangnya Yeltsin. Bapak glasnost dan perestroika itu mestinya sudah melihat, betapapun radikalnya Yeltsin, ia tak akan membawa Soviet ke dalam kekacauan. Itu terbukti bukan saja Yeltsin bersedia mengubur kapak peperangannya- April lalu, setelah perang saraf yang cukup seru- bahkan Yeltsin bersedia membantu Gorby. Waktu itu Yeltsin menuduh Gorbachev akan kembali ke pemerintahan diktatorial. Gorby membalas, Yeltsin sudah mengarah ke anarkisme. Tapi, ketika para buruh tambang menuntut kenaikan gaji dengan melancarkan aski mogok, Yeltsin, yang diminta oleh Gorbachev untuk mengatasinya, bersedia dan ia berhasil meredam kemarahan tulang punggung ekonomi Soviet itu. Padahal, di awal pemogokan, Yeltsin menggunakan peristiwa ini untuk mendiskreditkan Gorbachev. Yeltsin ganti haluan atau ia memang merasa di bawah angin hingga harus melakukan kompromi? Kepada wartawan, tentang hubungannya dengan Gorbachev, kata Yeltsin, "Hubungan kami menjadi normal dan melulu bisnis." Para pengamat menilai, ucapan itu menjelaskan perdamaiannya dengan Gorbachev. Tampaknya Yeltsin sengaja membantu Gorby, untuk melemahkan kelompok garis keras yang "menawan" Gorbachev. Bila pemogokan yang konon ditunggangi oleh para pemimpin garis keras menjadikan Soviet dalam keadaan krisis, itu sangat membahayakan reformisme politik dan ekonomi yang sudah menggelinding. Dan habisnya semangat reformisme juga berarti habisnya Yeltsin. Dengan kata lain, rupanya kelompok garis keras masih cukup kuat dan tak mudah dilumpuhkan hanya oleh Gorbachev atau Yeltsin sendiri-sendiri. Keduanya perlu bergabung untuk menyukseskan pembaruan politik dan ekonomi Soviet. Bisa jadi, jaminan tak akan adanya gerakan besar perpecahan di Soviet itu yang membuat George Bush, pekan lalu, berani memutuskan sumbangan padi-padian buat Soviet seharga US$ 1,5 milyar. Seandainya Rusia, yang merupakan inti Uni Soviet secara ekonomi maupun sosial, melepaskan diri dari Soviet, memang lalu apa artinya sebuah Uni Soviet? A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini