Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Iran Belum Selesai

Langkah modernisasi shah membuat kaum industrialis sangat kaya, tapi upah buruh minim dan kaum bazaari terjepit. Para ulama tidak puas sebab pemerintah memotong bantuannya. (ln)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA murung meliputi lapangan terbang Teheran, Mehrabad Selasa pekan lalu. Shah yang telah berkuasa 37 tahun itu menitikkan air mata ketika para pengantarnya melepasnya di tangga pesawat. Dua orang pengawal istana malahan menjatuhkan diri ke kaki Shah, yang dengan cepat mengangkat kedua prajurit itu. Perjalanan yang dilakukan dengan alasan kesehatan itu dimulai oleh Shah dengan menerbangkan sendiri pesawat pribadinya, Boeing 727, ke Aswan, Mesir. Dari sana ia akan ke tempat tujuan, Palm Spring, di pantai barat Amerika. Kantor berita resmi Iran, Pars, mengutip Shah yang menyebut masa kepergiannya akan "tergantung pada keadaan pisiknya." Tapi kebanyakan pengamat politik di Teheran -- bahkan di berbagai penjuru dunia -- yakin keperglan ini merupakan cuti permanennya. "Shah sudah pergi untuk selama-lamanya," teriak gembira penduduk Teheran yang berlarian ke jalan raya beberapa puluh menit setelah Shah tolak landas dari Mehrabad. Di lapangan terbang, di antara para pengantar, terlihat juga Perdana Menteri Shahpur Bakhtiar serta anggota kabinetnya yang baru saja mendapat dukungan parlemen. "Saya harap pemerintah bisa melakukan perbaikan terhadap kesalahan masa lalu, serta meletakkan landasan bagi masa depan," kata Shah kepada Bakhtiar. Kepada 9 anggota dewan perwalian, yang memegang kedudukan dan kekuasaan raja selama Shah di luar negeri, Shah berpesan agar mereka mempertahankan sistim monarki bagi Iran. Pesan Shah itu jelas bukan beban ringan bagi Bakhtiar maupun Seyyed Jalal Teherani, ketua Dewan Perwalian. Tiga hari setelah Shah berangkat, hota Teheran dilanda demonstrasi besar-besaran -- terbesar dari demonstrasi sebelumnya -- yang menuntut bubarnya kabinet Bakhtiar dan kembalinya Ayatullah Khomeiny dari pengasingannya di Paris. Beberapa jam setelah Shah pergi, Khomeiny mengirimkan ucapan selamat kepada pengikutnya di Iran seraya menyatakan: "Kepergian Shah bukanlah kemenangan akhir." Langkah Khomeiny selanjutnya? "Membubarkan pemerintahan Bakhtiar dan pemerintahan sementara akan segera dibentuk," kata seorang juru bicara Ayatullah itu di Parls. Khomeiny menegaskan sikapnya dengan menolak bertemu dengan Seyyed Jalal Teherani yang mau datang ke Paris. "Kecuali kalau ia membawa masaalah lain selain kerja sama dengan Bakhtiar," begitu syaratnya. Ia juga menolak bujukan Presiden Carter agar ia memberi kesempatan kepada kabinet Bakhtiar. "Sah atau tidaknya pemerintahan di Iran tidak tergantung pada Presiden Carter," kata Khomeiny ketus. Gedung Putih nampaknya berada dalam posisi yang amat sulit, dan tidak bisa berbuat sesuatu untuk mempertahankan Shah Iran, sekutu akrab serta langganan senjata terbesar Amerika Serikat di kawasan itu. "Kami sudah kehilangan pengaruh dan hanya bisa mengikuti arus," kata David Newsom, bekas Dubes Amerika di Lybia dan di Indonesia yang kini menjadi pejabat tinggi Deplu di Washington. Keberangkatan Shah kali ini berlainan sekali dengan kepergiannya di tahun 1953. Ketika itu Shah juga berada dalam posisi yang amat lemah dan diusir oleh pemerintahan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh yang nasionalis. Tapi berkat bantuan dinas rahasia Amerika, CIA, dalam lima hari Shah sudah 16isa kembali ke Iran setelah Mossadegh digulingkan. Kini Gedung Putih sendiri yang agaknya ikut meminta Shah pergi etelah tidak melihat jalan lain bagi Shah. Kenyataan begini inilah yang membuat banyak orang berkesimpulan bahwa Mohammed Reza Pahlavi pekansilam memulai pengasingan permanennya sebagai yang dilakuka/ayahnya -- pendiri dinasti Pahlavi -- pada tahun 1941. Reza Pahlavi yang bersimpati kepada Nazi Jerman, dipaksa memakzulkan diri oleh Sekutu untuk kemudian digantikan oleh puteranya, Mohammad Reza. Sepintas lalu kepergian Shah belumlah sebuah kekalahan total. Di Iran kini memerintah Perdana Menteri Shahpur Bakhtiar yang diangkat oleh Shah: Tapi kabinet ini tidak mendapat dukungan Front Nasional -- koalisi 5 partai oposisi. Kabinet juga mendapat serangan sengit dari gelombang pengikut Khomeiny. Ia nampaknya tidak akan bertahan lama. Bahkan dua anggota Dewan Perwalian Shah mengundurkan diri, mengikuti seruan Khomeiny. Bersama dengan Bakhtiar, di Iran memang masih berdiri kukuh tentara yang diperlengkapi dengan senjata moderen. Yang terakhir ini dikenal amat loyal kepada Shah. Tapi baik Shah maupun Gedung Putih nampaknya berhasil menyabarkan tentara untuk tidak melancarkan kudeta. Soalnya tentu, sampai berapa lama mereka bisa bersabar. Meskipun pada akhirnya bisa saja militer pecah atau sebagian berpihak kepadaoposisi yang menang. Buat sementara kelihatannya yang harus berhadapan adalah Khomeiny dan Bakhtiar. Dengan nada yang cukup keras, pekan silam, Bakhtiar menjelaskan kepada tv Perancis: "Saya tak sudi memberikan kedudukan saya kepada Khomeiny . . . Seorang kardinal tak pernah menggantikan seorang perdana menteri di negeri anda yang Kristen. Juga begitu di negeri kami." Tak jelas adakah Bakhtiar sengaja menggambarkan Khomeiny sebagai orang yang hendak memegang kekuasaan -- atau dia tak percaya bahwa Khomeiny bermaksud tak duduk dalam pemerintahan. Tapi ucapan itu menunjukkan jauhnya perbedaan antara politikus ahli hukum didikan Perancis ini dengan sang ayatullah. Khomeiny sendiri tidak begitu pusing dengan sikap keras Bakhtiar. Demonstrasi besar-besaran Jumat pekan silam sudah bisa dianggapnya cukup sebagai bukti dukungan rakyat kepada gagasannya mendirikan Republik Islam Iran. Karena itulah ia memutuskan untuk mengakhiri pengasingannya yang berlangsung 16 tahun dan kembali ke Teheran Jum'at ini. Berhadapan dengan kabinet Bakhtiar Khomeiny mungkin tak perlu banyak tenaga untuk menang. Tapi apa yang akan terjadi setelah dia menang, dan Republik Islarn Iran itu berdiri? Iran yang dicita-citakannya mau tak mau harus menghadapi masalah-masalah besar yang membutuhkan program, organisasi darl sikap pragmatis yang mungkin tak mudah bagi Khomeiny dan pengikutnya. Masalah sosial, ekonomi dan politik itu terutama timbul sebagai akibat dari langkah modernisasi Shah sejak satu dasawarsa ini. Dengan petrodollar yang mengalir melimpah, Shah menggerakkan segala dana dan tenaga untuk menuju ke "peradaban industri yang besar." Ia melancarkan apa yang disebutnya "revolusi putih" --dimulai dengan landreform. Ia menggerakkan suatu modernisasi, untuk membikin Iran di akhir abad ke-20 menjadi salah satu dari lima negara termaju di dunia. Ia mungkin segairah Kaisar Meiji dalam sejarah Jepang dulu yang mau memajukan negerinya. Tak mengherankan bila ia dikagumi, terutama di Barat, seperti juga ikhtiar pemimpin RRC Deng Xiao-ping kini dikagumi. Tapi dunia luar nampaknya tak banyak tahu bahwa langkah-langkah spektakuler Shah itu menimbulkan ketidak-puasan rakyat Iran umumnya - dan menyediakan soal yang gawat di masa depan. Ketidak-puasan itu ternyata tak cuma punya alasan agama. Dekat dengan kalangan agama ialah kaum bazaari - yang memegang inti perdagangan dan keuangan tiap kota di Iran. Oleh pelbagai tindakan Shah mereka merasa tersisih (lihat box, "Revolusi Kaum Bazaari", hal. 12-13). Dan peranan mereka ini ternyata besar dalam menggerakkan demonstrasi menentang Shah selama setahun ini. Mereka dapat mengumpulkan massa dalam jumlah ribuan. Mereka membiayai aksi-aksi -- di samping menyokong kehidupan dan kegiatan kaum ayatullah untuk melabrak Shah Iran dengan fatwa-fatwa. Kaum bazaan juga yang anak-anaknya kini bergolak sebagai pemuda, mahasiswa ataupun pemimpin universitas -- apalagi kaum cendekiawan ini sendiri bisa melihat kepincangan sosial di dekatnya. Dibandingkan dengan negeri berkembang lain, kepincangan sosial di Iran mungkin hal yang lumrah. Tapi dalam situasi di sana nampaknya hal itu bisa jadi alasan ketidakpuasan. Ini misalnya kelihatan justru setelah landreform. Landreform yang dilancarkan tahun 1962 jelas punya maksud mulia. Tapi setiap usaha pemecahan problim rupanya harus menimbulkan problim baru. Dalam pembaruan aturan pemilikan tanah ini, hanya yang punya-hak nassagh dan yang sudah mengolah tanah selama dua tahun berturut-turut sebelum landrefonn yang berhak menempati bagian mereka. Hak nassagh adalah hak yang ditentukan adat bagi penduduk desa atas kerja dan hasilnya. Dengan begitu, dari desa-desa terlepaslah suatu lapisan sosial yang sangat luas, kaum Khosh-Neshine. Mereka ini buruh harian: tukang kayu, tukang cukur, pandai besi, tukang kedai, penjahi. Mereka sebenarnya unsur aktif dalam proses produksi di desa. Kini mereka menemukan diri mereka tercopot -- dan bagaikan parasit. Memang, pengolahan tanah ke bagian-bagian kecil, yang dulu dikerjakan secara bergilir oleh kelompok-kelompok koperasi pertanian (Boneh), berakibat terjadinya surplus penduduk yang hanya dapat disalurkan ke dalam industri yang baru dibangun. Tapi tak semuanya mau dan siap. Mereka yang tak patuh dan bikin kerusuhan kemudian dihadapi oleh alat-alat keamanan. Maka tak kurang dari sejuta kepala keluarga di desa yang tak menikmati landreforin. Mereka pergi ke kota cari kerja. Dengan demikian sebenarnya salah satu tujuan landreform tercapai: menciptakan penawaran tenaga kerja yang fleksibel -- yang tak terikat di tanah pertanian saja. Namun di pihak lain, usaha real estate, -- yang karena spekulasi memungkinkan tingkat upah yang relatif tinggi untuk buruh biarpun yang hampir tak terlatih --membengkak dengan sejumlah besar pekerja musiman. Seperti ditulis oleh dua ahli ekonomi Iran, Behrouz Montaami dan Khosrow Naraghi dalam Le Monde Diplomatique Desember yang lalu, para buruh ini hidup di dua dunia: "kaki yang satu di desa asal, sedang kaki yang lain terletak di daerah miskin yang terhampar di antara kemewahan kota." Tak heran bila salah satu poster anti-Shah di tempat Khomeiny di Paris, mengejek hal ini (lihat hal. 11). Di kota-kota Iran terdapat 1.200.000 buruh, atau 14,7% dari penduduk dalam usia kerja. Sisanya tentu tak sepenuhnya terserap oleh industri. Apalagi industri di Iran yang paling ramai uangnya terutama berkisar pada barang-barang konsumsi yang tahan lama. Sejak Iran memodernisasikan diri, di sebelah industri tradisionil -- tekstil, konfeksi dan makanan -- berdirilah usaha-usaha yang disebut "modern". Tiga yang menonjol ialah konstruksi mobil, peralatan rumah tangga dan peralatan listrik. Merekalah industri yang paling kaya, paling jinak tapi bukan padat karya. Lagipula upah buruh dianggap rendah. Setidaknya dirasakan perbedaan yang cukup tajam, menurut ukuran Iran, antara mereka yang bekerja di industri mobil dengan yang bekerja untuk industri makanan, misalnya. Di tahun 1973 diperhitungkan ada 70% buruh Iran berada di bawah garis upah minimum yang ditentukan pemerintah. Pemerintah memang pernah mencoba menaikkan standar upah dalam bidang-bidang yang meningkat produksinya. Tapi karena penawaran tenaga kerja yang sedemikian rupa setelah landrefurm, campur tangan pemerintah itu paling-paling hanya berhasil menghamhat proses "pemerataan" upah ke arah bawah. Sementara itu, laba yang diperoleh industri pengganti impor mempesona. Misalnya, industri mobil besar, Iran National, hanya dalam waktu setahun, 1971, berhasil merealisasikan suatu jumlah yang sama dengan dua kali modal tetapnya. Di Iran, tingkat laba itu pada dasarnya ditentukan dengan memperkalikan ongkos satuan produksi dengan suatu angka tertentu yang sudah tetap, yang diputuskan dalam perundingan antara kaum industrialis dengan para pejabat kementerian ekonomi. Campur tangan lain tak mungkin. Maka hadirlah suatu pasar, di mana para penjual memegang peranan yang lebih menentukan. Mereka ini tersusun dalam semacam oligopoli -- gabungan orang-orang kaya. Mereka inilah yang pertama-tama menikmati proteksionisme pemerintah, dengan bea masuk yang sangat tinggi bagi barang impor apa saja yang menyaingi produksi dalam negeri. Pemerintah juga membatasi jumlah fabrikan. Pemerintah juga mengatur pembagian wilayah di antara mereka. Tak mengherankan bila tingkat kenaikan laba berkisar dari 40% sampai lebih 100% dari modal yang dihimpun. Dalam industri mobil saja, keuntungan yang dicapai dalam tahun 1972 meningkat 2,5 kali seluruh jumlah gaji yang dibayar di sektor ini. Kecenderungan pemusatan pendapatan ini digaris-bawahi oleh hadirnya "elite industriil" yang baru -- dan yang sangat kaya. Dalam tahun 1972, misalnya, ada 56 keluarga yang memiliki saham dalam 177 perusahaan industri besar -- berarti hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ada, yakni 364 buah. Ke-56 keluarga itu menguasai hampir 40% saham dalam perusahaan-perusahaan itu --dan ini adalah perusahaan dengan kapital sebesar 200 juta rial masing-masing. Selain itu ada 72 keluarga lagi yang punya saham dalam 88 perusahaan yang tergolong besar. Tak terlalu mengherankan bila kaum bazaari, terutama, kelas menengah lama yang berlomba naik, sangat merasakan ketidak-adilan di situ. Mereka juga menyebut adanya penyuapan, pemberian komisi dan korupsi lainnya di kalangan pemerintah, yang telah memilih favorit di kalangan "elite industriil" itu. Tak urung, keluarga Shah sendiri juga terkena tuduhan. Bahkan Yayasan Pahlavi yang didirikan di tahun 1958 untuk maksud sosial itu jadi cela. Apalagi Yayasan ini konon berfungsi menampung dan menyalurkan hasil komisi yang diperoleh tahta dari transaksi dengan perusahaan asing. Tak berarti bahwa mereka yang menentang Shah seluruhnya bertolak dari kehendak membagi kue kepada kalangan yang lebih melarat. Salah satu kejengkelan kaum bazaari ialah terhadap komisi pengawasan harga yang didirikan Shah untuk melindungi konsumen. Komisi ini menyulitkan kaum bazaari dalam menguasai harga minimum hampir tiap komoditi di Iran. Lembaga kredit yang dijalankan negara juga mempersulit peredaran pinjam-meminjamkan uang yang selama ini diatur dalam bazaar. Berdirinya industri negara yang setengah-monopoli di bidang tekstil, kaviaar dan komoditi pertanian juga menikam kepentingan kaum bazaan secara langsung. Lalu, datanglah inflasi. Ketua Komite Perlindungan Konsumen September yang lalu menyebutkan bahwa selama 6 bulan harga eceran barang-barang meningkat sampai 150%. Sementara itu kaum ulama, kaum mullah dan ayatullah, punya keluhan sendiri. Tindakan landreforn di tahun 1960-an dan 1970-an memang secara tak langsung mengurangi dana tambahan yang diperoleh kas keagamaan, agaknya karena tanah yang diwakafkan jadi telbatas. Lagipula kaum ulama sudah lama kurang menyukai proses yang mereka anggap sebagai "pem-Barat-an" masyarakat Iran. Shah Iran sendiri dan permaisurinya memang lebih bersikap Barat dalam hidup sehari-hari. Ditambah, raja yang anak orang Iran abad ke-20 ini telah mencoba meletakkan dirinya sebaris dengan Cyrus Agung 2000 tahun yang lalu. Cyrus pasti bukan tokoh dalam sejarah Islam. Pertautan yang artifisial dengan zaman pra-lslam justru tak menambah kekuatan legitimasi Shah Iran di mata kaum ulama. Apalagi sejarah "dinasti Pahlavi" yang sebetulnya baru berumur dua generasi itu memang tak ditandai oleh kerukunan dengan kaum ulama. Pahlavi yang pertama, ayah Shah yang sekarang, adalah seorang kolonel didikan Rusia yang pernah menempeleng seorang mullah. Mullah ini secara terang-terangan mengeritik ratunya yang dengan sengaja membuka purdahnya di depan umum. Pahlavi pertama ini pula, yang bergelar Shah Reza, yang mengurangi hak para mullah dan ayatullah dalam berbagai urusan yang menyangkut kehidupan keagamaan, termasuk perkawinan. Reza memberlakukan undang-undang perkawinan, di mana catatan sipil memegang peranan penting dan menggantikan peranan tradisionil para mullah. Di masa pemerintahan Shah yang sekarang, puncak ketidak-puasan para ulama terjadi di awal tahun silam. Pemerintah, di bawah Perdana Menteri Abbas Hovaida memotong bantuan untuk kaum mullah dan ayatullah. Tak cukup dengan itu, pemerintah juga melancarkan kecaman kepada Khomeiny yang selama di luar negeri terus aktif beroposisi. Kecaman terhadap Khomeiny lewat koran Ettelaat itu ternyata meletakkan kemarahan. Khomeiny, yang pidato-pidatonya dapat diselundupkan ke dalam negeri lewat kaset dan pamflet, dengan cepat jadi tokoh sentral gerakan pembangkangan. Dalam sebuah negeri dengan pers yang dikekang dan parlemn yang bungkam, kaset dan pamflet gelap memang jadi tambah menegaskan. Dan di mesjid-mesjid, anggota-anggota badan intel Savak yang ditakuti itu kian lama kian tak berdaya mencegah pidato yang panas dan agitasi. Mereka memang tak mudah menggerebek tempat ibadat di dalam masyarakat kaum Islam Syi'ah itu. Sementara itu, Shah Iran sendiri-setelah 26 tahun memerintah dengan otokrat yang ketat -- sejak 1977 mencoba mengendurkan kontrolnya, dan memulai semacam proses demokratisasi. Ia memberi amnesti kepada 256 tahanan politik. Mahkamah militer yang mengadili orang sipil dikurangi dan mahkamah sipil terbuka dijanjikan. Persatuan penulis, ahli hukum dan pengusaha dibiarkan timbul. Sebuah komite untuk Hak-Hak Asasi Manusia diperbolehkan dibentuk untuk menyatakan keluhan. Demonstrasi mulai dibiarkan. Tapi tentara dan pasukan keamanan yang selama berpuluh tahun terlatih untuk menghadapi semua itu dengan keras kini jadi bingung. Mana yang boleh, sejauh mana yang tidak? Maka mereka pun membiarkan sejumlah cendekiawan Teheran menyerang korupsi dan pelanggaran hak-hak asasi -- satu aksi yang dulu akan menyebabkan orang ditangkap. Tapi alat keamanan di kota suci Syi'ah Qum bertindak lain: mereka menembaki demonstran yang bergerak setelah di mimbar para ulama berpidato menuntut kembalinya kebebasan. Saluran demokratis yang disediakan juga menimbulkan keruwetan, karena ketidakpastian itu. Di tahun 1975, sebuah partai tunggal dibentuk: Rastakhiz. Di sini, di tingkat pimpinan, diskusi bebas diizinkan, namun partai tunduk kepada disiplin ketat dari atas. Sementara itu pemilihan untuk jabatan dalam partai baru dilakukan di tahun 1978. Dengan serta merta Rastakhiz pun jadi monolit birokratis bagi orang-orang yang diangkat. Sementara itu suasana lebih bebas di Iran menyebabkan orang kian terus-terang bicara, dan ini terjadi dalam Majlis (parlemen) yang semula/cuma tukang stempel. Tak dapat mennyalurkan perbedaan keluar, para anggota Majlis pun membentuk kelompok di antara mereka. Itulah benih partai-partai politik di luar organisasi Rastakhiz. Namun ketika partai-partai kemudian jadi muncul, Sekretaris Jenderal Rastakhiz Jamshid Amouzegar -- salah satu pejabat paling berkuasa di Iran -- menyatakan sesuatu yang mengecewakan: dalam pemilu Juni 1979 nanti, hanya calon-calon Rastakhiz saja yang boleh dipilih .... Tak ayal lagi, Rastakhiz pun ramairamai ditinggalkan -- apalagi aksi menentang pemerintah kian las. Para penentang bergabung dalam partai atau kelompok-kelompok yang kemudian membentuk Front Nasional. Mereka memilih Karim Sanjabi, seorang politikus tua yang pernah bekerja sama dengan tokoh nasionalis Mossadegh yang dulu melawan Shah. Namun di luar kaum politisi dan cendekiawan itu, kekuatan nyata nampaknya berada di tengah massa yang hanya melihat ke isyarat Ayatullah Khomeiny. Khomeiny tak sendiri. Ia dikelilingi oleh sejumlah cendekiawan muda dan mahasiswa, yang mungkin pegang peran penting dalam "Dewan Revolusi Islam"-nya kelak. Namun, menurut dugaan yang terpetik dari Iran hari-hari ini, satu hal masih harus diselesaikan sang ayatullah setelah ia pulang hari Jum'at bagaimana ia bersepakat dengan tokoh Islam lain, Ayatullah Shariat Madari, dalam memecahkan problim yang mendesak. Apakah Shariat Madari setuju Republik Islam Iran? Ini yang masih tanda tanya. Sebuah sumber menyebutkan Shariat Madari berkeyakinan bahwa kerajaan memainkan peran pemersatu bagi Iran. Pemilihan seorang presiden mungkin sekali akan membangkitkan kembali persaingan antara pelbagai suku dan kelompok. Pikiran seperti ini memang hidup di Iran di tahun 1925, ketika Reza Shah -- yang cuma berniat jadi Presiden Iran -- berhasil dibujuk oleh para ulama untuk jadi raja. Pada masa itu memang ada alasan tambahan bagi para pemuka agama: Kemal Ataturk yang mendirikan Republik Turki di atas reruntuhan Kerajaan Osmani, banyak sekali melukai hati golongan agama. Ulama Iran takut hal demikian juga terjadi di negeri mereka. Tapi kenyataan kemudian menunjukkan bahwa sebagai raja, Reza yang bekas perwira Brigade Kossak itu, dengan mudah bisa memojokkan para pemuka agama. Tentulah terlalu tergesa-gesa untuk menduga ke arah mana Khomeiny akan bergerak dalam melaksanakan cita-citanya. Pihak Front Nasional pimpinan Karim Sanjabi juga belum jelas posisi dan programnya -- meskipun ia sulit berbeda pendapat dengan Khomeiny. Tapi bahkan jika Khomeiny berhasil meyakinkan Shariat Madari, masalahnya belum rampung. Ketika perpecahan dan persekutuan berikutnya masih harus ditunggu, kalangan militer berdiri di sebuah sudut. Bersama para tentara, di luar menanti pula negara-negara besar yang punya kepentingan di Iran yang kaya minyak dan mempunyai letak yang amat strategis. Amerika Serikat -- setelah mengikhlaskan kepergian Shah -- menanti dengan sabar perkembangan selanjutnya. Juga Uni Soviet. Meskipun tidak kelihatan sibuk. Tapi almarhum Nikita Khrushcov belasan tahun silam pernah berkata "Iran bagaikan appel busuk, dan yang kita harus lakukan hanyalah menanti jatuhnya ke tangan kita." Setelah Afganistan dan Yaman Selatan gugur ke tangan Moskow, adakah Iran akan menyusul juga? Mungkin tidak, mungkin ya. Mana kita tahu. Negeri berpenduduk 33 juta itu kini nampak bergembira dari luar karena perubahan yang terjadi. Tapi didera inflasi, ekonomi yang guncang, dan ketidakpastian mencari bentuk dan arah sekarang ini, suatu masa sulit yang panjang nampaknya tak terelakkan. Apa boleh buat. Menggulingkan Shah ternyata mudah. Tapi setelah itu . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus