AKHIRNYA persetujuan tentang Hak Istimewa dan Kekebalan
Diplomatik Sekretariat Tetap Asean ditandatangani, 20 Januari di
Deplu. "Persetujuan itu hanya bersifat bilateral antara
Indonesia dan Sekretariat Tetap Asean. Maksudnya, untuk membantu
pejabat Sekretariat Tetap Asean supaya dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik," kata Menlu Mochtar Kusumaatmadja yang
menandatangani persetujuan itu bersama Sekjen Asean Datuk Ali
bin Abdullah.
Persetujuan sebanyak sepuluh pasal itu memberikan hak istimewa
dan kekebalan diplomatik kepada Sekjen dan staf Sekretariat
beserta keluarga mereka. Juga kantor beserta segala
perlengkapannya dan segala milik Sekretariat tersebut memiliki
kekebalan diplomatik.
Tapi hak istimewa dan kekebalan diplomatik tersebut tak berlaku
bagi yang berwarga negara Indonesia. Itu dinyatakan pada pasal
VIII ayat 2. Warga negara Indonesia yang menjabat Sekjen atau
staf Sekretariat Asean tetap diperlakukan sebagai warga negara
biasa sepenuhnya. "Kalau mereka mendapat hak istimewa atau
kekebalan diplomatik, seandainya ada kasus dan dia harus
dituntut, mau dituntut di mana kalau tidak di negeri sendiri"
kata Sekretaris Umum Seknas Asean Umaryadi, yang pernah juga
menjabat Sekjen Asean selama 4 bulan, menyambung masa jabatan
SekJen pertama, Letjen Dharsono yang diberhentikan sebelum
waktunya.
Sikap Indonesia tersebut sebenarnya bukan baru. Menjelang
pembentukan Sekretariat Tetap Asean 1976, Indonesia sudah
menyatakan hanya bersedia memberikan hak istimewa dan kekebalan
diplomatik kepada wakil dari 4 negara Asean lainnya. Dan meski
sebelum ditandatanganinya persetujuan ini tak ada ketetapan apa
pun, namun sejak 7 Juni 1976, ketika Sekretariat Tetap Asean
mulai bekerja, hal itu sudah berjalan dengan sendirinya. Seperti
kata HR Dharsono kepada TEMPO. "Waktu saya menjadi Sekjen Asean,
tidak mendapat hak istimewa dan kekebalan itu, karena saya
dianggap warga negara Indonesia sepenuhnya dan bukan seorang
internasional servant (pegawai internasional)."
Itu yang agaknya menimbulkan "kasus Dharsono" pada Pebruari 1978
lalu. Sebab dengan tak ada hak dan kekebalan diplomatik
tersebut, Dharsono berpendapat "Orang Indonesia yang duduk di
Sekretariat itu masih berhak memberikan komentar terhadap
masalah-masalah Indonesia." Maka setelah mendengar bahwa
persetujuan tentang Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik
ternyata tak berlaku bagi yang herwarga negara Indonesia,
komentarnya "Saya sayangkan sekali. Mestinya hak itu diberikan
juga kepada yang berwarga negara Indonesia. Itu untuk
menghindari dia membicarakan negerinya sendiri."
Tapi memang ada perkecualian dalam persetujuan sepuluh pasal itu
Sekjen dan staf Sekretariat Tetap Asean mendapat kekebalan
proses hukum yang berkaitan dengan pendapatnya, baik lisan
maupun tertulis, sejauh masih dalam kaitan jabatan resminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini