Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ironi di Negeri Kaya Minyak

Jatuhnya harga minyak dunia menghantam perekonomian Arab Saudi. Mengganti sistem kalender untuk menghemat duit kerajaan.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATRIA Antoni kini tak lagi leluasa bereksperimen di laboratorium kampusnya. Mahasiswa S-3 jurusan geologi kelautan bidang lepas pantai di Universitas King Abdulaziz, Arab Saudi, ini terkena imbas pemangkasan dana riset bagi mahasiswa internasional. "Sebelumnya, saya bisa melakukan analisis apa saja dengan lengkap," katanya.

Selama empat tahun tinggal di Jeddah, Satria, 28 tahun, merasakan perubahan di antara dua rezim raja Saudi. Sebelum medio 2014, tatkala harga minyak dunia selangit dan Raja Abdullah bin Abdulaziz masih bertakhta, ia sempat mencicipi kenyamanan menjadi mahasiswa asing di Saudi. Saat itu penelitian dibiayai penuh oleh kampus. Banyak proyek riset mengucur lewat profesor; para profesor ini lantas mengajak serta para mahasiswanya.

"Tentu ini menjadi keuntungan bagi kami, mahasiswa. Kami mendapat tambahan income dari proyek itu," kata Satria melalui surat elektronik, Rabu pekan lalu. Pria asal Pekanbaru ini menggambarkan dalam satu proyek riset, misalnya, seorang mahasiswa dapat mengantongi 3.000-5.000 riyal (Rp 10,5-17,5 juta). Namun kini semua privilese itu seakan-akan lenyap. "Proyek yang biasa didapatkan dari profesor tidak ada lagi."

Di pusat Kota Riyadh, ibu kota Saudi, deretan berlian terlihat berkilauan di toko perhiasan Al-Abdoul Wahab for Jewellery. Namun kemilau batu permata itu tak pernah meninggalkan etalase. Mereka hanya teronggok di dalam kotak kaca lantaran tidak ada pembeli. "Bisnis perhiasan tahun ini terpuruk," kata pemilik toko, Saddam al-Yafae, seperti diberitakan Al-Monitor.

Penjualan perhiasan di toko Yafae merosot sejak dua tahun lalu. Saat itu harga minyak dunia perlahan runtuh hingga lebih dari separuh. Arab Saudi, negara terbesar pengekspor minyak global, terkena imbasnya. Dihantam harga rendah, negeri kaya minyak itu kelimpungan. Pada 2015 saja, Saudi tekor hingga US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.300 triliun).

* * *

Tak ingin terus didera krisis, Raja Salman bin Abdulaziz, penerus Raja Abdullah sejak Januari 2015, menyerukan penghematan. "Kabinet akan menyetop dan membatalkan sejumlah bonus dan keuntungan finansial," kata seorang menteri membacakan dekrit Kerajaan di Istana Al-Yamamah di Riyadh, Senin dua pekan lalu. Dekrit pengetatan ikat pinggang itu disampaikan di hadapan Raja Salman, dewan menteri, dan para bangsawan.

Disiarkan lewat stasiun televisi pemerintah, Al Ekhbariya TV, Raja Salman menyatakan bakal memangkas gaji menteri-menterinya sebesar 20 persen. "Setiap menteri mengantongi 10.350 riyal (hampir Rp 36 juta) per bulan," begitu menurut Saudi Gazette. Pejabat tinggi lainnya tidak akan lagi diberi mobil. Biaya telepon mereka juga akan diperketat.

Ini pertama kalinya Riyadh memotong gaji pejabat negara secara drastis. Kerajaan juga menghitung ulang tunjangan dan bonus bagi 1,5 juta pegawai kantor pelat merah. Jumlah mereka mencapai dua pertiga dari total pekerja Saudi. Bonus lembur dibatasi 25-50 persen dari gaji pokok. "Cuti tahunan tak lagi melebihi 30 hari," demikian menurut Reuters.

Dewan Syura, badan pertimbangan untuk kabinet, tidak luput dari dampak dekrit Raja Salman. Sebanyak 150 anggotanya harus rela menerima pemangkasan 15 persen atas tunjangan rumah, perabot, dan mobil mereka. Kerajaan hanya mengecualikan tentara, itu pun mereka yang bertempur dalam Perang Yaman—intervensi militer Saudi di selatan negara tersebut.

Dekrit ditutup dengan keputusan untuk beralih sistem kalender. Arab Saudi, kerajaan Islam yang berdiri sejak 1932, mengganti penanggalan Hijriah-nya, yang mengacu pada pergerakan bulan, menjadi kalender Masehi. Bagi Kerajaan, ini sebuah terobosan besar tapi sekaligus lebih ramah bagi kantong. "Dengan kalender Gregorian (Masehi), pegawai pemerintah akan kehilangan 11 hari pembayaran gaji," begitu diberitakan Al Arabiya.

Kalender Hijriah terdiri atas 12 bulan, masing-masing 29 atau 30 hari, bergantung pada penampakan bulan. Selama 84 tahun, Saudi menjalani 354 hari dalam satu tahun, 11 hari lebih pendek dari kalender Masehi. Dengan keputusan itu, Riyadh mengelola pelayanan publik seperti yang dianut perusahaan swasta. "Pemberlakuan kalender Masehi dimulai pada 1 Oktober 2016," kata Satria Antoni.

Untuk menambah pundi-pundi kas negara, Kerajaan juga menaikkan tarif visa, listrik, dan air; denda tilang; hingga harga bahan bakar minyak. "Harga bensin naik hampir dua kali lipat," kata Tyas Ikhsan, warga Indonesia di Dhahran. Menurut dia, melonjaknya harga bensin berimbas ke tarif taksi. "Angkutan publik di Saudi sebagian besar adalah taksi."

Tyas, 31 tahun, tinggal di kota di provinsi timur Saudi itu sejak Agustus 2009. Pria asal Yogyakarta ini sehari-hari bekerja sebagai auditor lingkungan hidup di sebuah perusahaan ternama. Menurut Tyas, pengetatan anggaran cukup terasa bagi pekerja asing seperti dia. Sejak awal tahun ini, "Pembayaran listrik menjadi lebih mahal," ujarnya. Harga sejumlah komoditas juga merangkak. "Anggaran belanja untuk sehari-hari bertambah."

* * *

Belum kelar dengan urusan krisis di dalam negeri, Arab Saudi rupanya masih harus menghadapi persoalan lain dari sekutu Baratnya, Amerika Serikat. Dua hari setelah Raja Salman mengeluarkan dekrit penghematan, Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika menyetujui Rancangan Undang-Undang Keadilan Melawan Sponsor Terorisme atau JASTA (Justice against Sponsors of Terrorism Act) di Washington, DC.

JASTA ibarat batu sandungan bagi hubungan Saudi-Amerika. Dengan undang-undang baru ini, keluarga para korban tewas dalam tragedi serangan teror pada 11 September 2001—biasa disebut 9/11—dapat menuntut pemerintah Saudi. Sebanyak 15 dari 19 pembajak pesawat dalam serangan teroris pada 11 September 2001 itu adalah warga negara Saudi. Karenanyalah Saudi dianggap turut bertanggung jawab atas serangan kelompok Al-Qaidah yang menewaskan hampir 3.000 orang itu.

"Upaya melemahkan kekebalan kedaulatan seperti ini akan mempengaruhi semua negara, termasuk Amerika Serikat," kata Menteri Informasi Arab Saudi Adel al-Toraifi, mengomentari keputusan Kongres Amerika. Sikap Riyadh idem ditto dengan Presiden Barack Obama, yang berupaya mengganjal rancangan undang-undang itu lewat hak veto tapi dimentahkan oleh Kongres. "Ini sebuah preseden yang berbahaya bagi Amerika," kata Obama.

Perang Yaman juga menyedot perhatian Raja Salman, kini 80 tahun. Sebab, sejak terlibat 18 bulan lalu, Riyadh tak henti merogoh kocek untuk ongkos pertempuran. Pada akhir 2015, Menteri Keuangan Adel Fakeih pernah berujar bahwa Saudi telah menggelontorkan 20 miliar riyal (sekitar Rp 69,3 triliun) untuk militer dan keamanan. "Dia merujuk pada Perang Yaman," begitu menurut Press TV.

Anggaran militer Saudi justru membengkak tahun ini. Riyadh dikabarkan mengalokasikan 213 miliar riyal (sekitar Rp 739,1 triliun), seperempat dari total duit Kerajaan. Wajar bila warga Saudi khawatir terhadap krisis yang mendera mereka. "Saya mengutamakan kebutuhan dasar," kata Khalid al-Bishi, 35 tahun, pegawai negeri sipil. "Saya akan menata ulang keuangan keluarga," Musa Mohammed, 41 tahun, juga pegawai pemerintah, menambahkan.

Khalid dan Musa kini merasakan masa pahit menjadi aparat negara. Pada awal Salman naik takhta, mereka masih mencicipi obral harta dari sang Raja. Saat itu Salman meneken dekrit tentang pemberian bonus senilai gaji dua bulan untuk semua pegawai pemerintah. "Diperkirakan menghabiskan Rp 416,7 triliun," begitu menurut The New York Times.

Di Riyadh, Mufti Agung Sheikh Abdul-Aziz Al ash-Sheikh menyeru masyarakat agar mendukung kebijakan Raja. Menurut dia, seperti diberitakan harian Okaz, warga Saudi tidak akan selamanya mengencangkan ikat pinggang. "Mari kita bekerja sama dan membantu negara demi kepentingan umum," katanya. "Kebijakan ini hanya sementara."

Di dunia maya, netizen di Saudi menanggapi sinis kebijakan Raja Salman. Lewat media sosial, mereka mengunggah meme, video, hingga komentar satire. Salah satunya pelesetan gambar tokoh kakek dalam film kartun komedi The Simpsons. Si kakek memandangi potret Raja Abdullah untuk membuai diri agar bisa terlelap. "Saudi people right now," tulis pemilik akun Twitter @xmoony11, menyentil era makmur Saudi di zaman Raja Abdullah.

Mahardika Satria Hadi (Arab News, Al Arabiya, Reuters, Al Monitor, Saudi Gazette)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus