Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Keadilan Dulu, Perdamaian Kemudian

Banyak faktor yang menggagalkan kesepakatan damai pemerintah Kolombia-FARC. Mantan presiden Uribe akan memainkan peran besar di masa depan.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAURA Solano, mahasiswi desain grafis di Kota Medellin, akhirnya berubah. Dalam perjalanan menuju kotak suara terdekat, ia bergumam: bagaimana mungkin ia membiarkan kelompok pemberontak yang telah meneror keluarganya sejak ia masih kecil dapat melenggang bebas tanpa hukuman?

Solano bagian dari generasi muda yang digadang-gadang mendukung kesepakatan damai pemerintah Kolombia-Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia alias FARC. Namun perdamaian seperti bukan hal penting. "Terlalu banyak keuntungan yang diberikan kepada mereka yang telah merugikan negara ini," kata Solano kepada The New York Times, Selasa pekan lalu. Bersama 50 anggota keluarga besarnya, perempuan 25 tahun ini lalu menolak kesepakatan damai yang telah diteken pemerintah Presiden Juan Manuel Santos dan pemberontak Marxis di Cartagena sepekan sebelumnya.

Solano dan keluarganya menjadi bagian dari 50,2 persen suara yang menentang kesepakatan damai. Mereka menang tipis dibanding kubu pendukung kesepakatan, yang meraup 49,8 persen suara.

Kekalahan ini membuat dunia terperanjat. Sejumlah jajak pendapat yang digelar beberapa pekan menjelang referendum menunjukkan peluang besar kubu pendukung kesepakatan damai. Mencium aroma kemenangan, pemerintah Kolombia dengan percaya diri meneken perjanjian di hadapan para tokoh dunia, misalnya Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, serta pesohor cum aktivis perdamaian seperti Sting dan Bono U2—sebelum hasil referendum diumumkan.

Bahkan para penentang kesepakatan damai terkejut. "Saya meyakini hasil akhir kedua kubu hanya berbeda tipis. Tapi saya tidak menyangka kami akan menang," ujar Santiago Valencia González, anggota kongres yang mewakili wilayah Antioquia—basis konservatif anti-pemberontak.

Gencatan senjata untuk mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung 52 tahun di Kolombia kini di ujung tanduk. Perundingan selama empat tahun di Havana, Kuba, terancam bubar. Pemimpin FARC, Timoleon "Timochenko" Jimenez alias Rodrigo Londono, menyayangkan hasil referendum. "Kekuatan merusak dari orang-orang yang menabur kebencian dan balas dendam telah mempengaruhi opini masyarakat Kolombia," ucap pria 57 tahun ini di Havana.

Banyak faktor berperan dalam penolakan kesepakatan damai ini. Euforia setelah perhelatan akbar di Cartagena menjadi salah satu pemicu. César Valderrama, direktur lembaga polling Datexco, menyebutkan banyak pendukung kesepakatan tidak mendatangi tempat pemungutan suara. "Mereka sudah merasa menjadi pemenang, sehingga merasa tidak perlu memilih lagi."

Namun politik bukan satu-satunya faktor penentu. Badai Matthew berkategori 4—setingkat di bawah kekuatan mematikan—menghantam sejumlah wilayah yang menjadi basis kelompok pendukung kesepakatan di pesisir utara Kolombia. Akibatnya, kurang dari 40 persen pemilik suara yang mengikuti referendum di seluruh negeri.

Apa yang membuat para pemilih menolak kesepakatan damai itu? Yang paling kontroversial adalah poin yang menyebutkan para milisi yang mengakui melakukan kejahatan kemanusiaan, seperti penculikan, pembunuhan, dan perdagangan narkotik, akan menerima hukuman ringan. Mereka hanya dituntut maksimal delapan tahun hukuman di luar penjara, misalnya dengan kerja sosial. Dengan korban jiwa dalam konflik mencapai 260 ribu orang dan jutaan lain terpaksa mengungsi, keringanan itu membuat pencari keadilan murka.

Pemilih menolak kesepakatan damai tapi itu tidak berarti menolak perdamaian. Mereka hanya menginginkan kesepakatan yang lebih adil, terutama untuk menuntut pertanggungjawaban FARC secara hukum. "Saya tidak mau mengajarkan anak-anak bahwa segala sesuatu dapat dimaafkan," kata Alejandro Jaramillo, 35 tahun, yang marah karena pemberontak FARC tidak dijatuhi hukuman.

Ini menjadi poin penting kampanye bekas Presiden Kolombia Alvaro Uribe. Mantan sekutu yang kini menjadi musuh politik Santos menegaskan, FARC semestinya diadili atas berbagai kejahatan yang dilakukan selama 52 tahun. Kampanye Uribe dilakukan secara efektif, termasuk di media sosial, dan ini berhasil mempengaruhi warga Kolombia. Sementara itu, pemerintah gagal menjelaskan manfaat dari 297 halaman pakta damai dengan bahasa yang mudah dimengerti publik.

Uribe memiliki kepentingan pribadi untuk menggagalkan kesepakatan damai. Pada 1983, ia menemukan jasad ayahnya yang tewas karena nyaris diculik gerombolan FARC. Sejak itu, ia membangun karier politik hingga ke pucuk pemimpin Kolombia dengan satu tujuan: membalas dendam kematian ayahnya.

Saat menjabat Gubernur Antioquia, ia mendirikan paramiliter sayap kanan untuk membasmi gerilyawan kiri dan pendukungnya. Ribuan warga sipil pendukung pemberontak tewas di tangannya. Sebagai Presiden Kolombia selama dua periode, Uribe dengan bantuan dana Amerika Serikat berhasil mengikis kekuatan militer FARC yang kini tinggal 7.000 orang—dari 20 ribu personel pada puncak kejayaan mereka pada 1990-an.

Bagi Uribe, kemenangan kesepakatan damai juga akan menimbulkan masalah karena kantor Kejaksaan Agung Kolombia kini mengincar dia dan teman-temannya atas kejahatan kemanusiaan ketika paramiliter sayap kanan menewaskan banyak warga sipil. Santos, yang pernah menjabat Menteri Pertahanan di kabinet Uribe, menolak melindunginya. Untuk mengatasi kemungkinan ini, Uribe menolak ajakan Santos untuk terlibat dalam perundingan damai dengan FARC di Havana. Secara de facto, Uribe berperan besar mempengaruhi hasil referendum.

Walaupun perdamaian Kolombia tampak jauh di awan, Alejandro Eder, yang pernah menjabat negosiator pemerintah dan bekas ketua program integrasi milisi Kolombia, menganggap hasil referendum itulah yang terbaik. Menurut Eder, kemenangan tipis untuk kubu pendukung kesepakatan damai akan segera memicu perpecahan lebih besar di Kolombia, yang akan disulut oleh kelompok oposisi pimpinan Uribe.

"Hasil ini merupakan kesempatan baik agar Presiden Santos dan bekas presiden Uribe bekerja sama demi perdamaian Kolombia," kata Eder kepada The Wall Street Journal, Selasa pekan lalu. "Jangan sampai solusi perdamaian dikuasai Santos saja. Kesepakatan damai harus menjadi solusi bangsa." Sebuah pekerjaan rumah besar bagi Santos dan Uribe, yang tidak pernah bertegur sapa lagi hingga kini.

Sita Planasari Aquadini (The New York Times, Yahoo News, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus