Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terjepit di Antara Dua Perang

Di Aleppo, kehidupan normal sudah berakhir sejak perang saudara pecah pada 2011. Kondisi bertambah buruk kini.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH mereka cukup besar. Di antara ledakan bom, desingan peluru, dan raungan pesawat tempur, menurut Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, hiduplah 250 ribu warga sipil di Kota Aleppo timur. Seperempat dari mereka adalah anak-anak.

Dalam keadaan darurat ini, Abu Mehio, 38 tahun, yang sebelum revolusi 2011 merupakan pelatih sepak bola di klub polisi Al-Shortah, Aleppo, kini menjadi koordinator pembuat roti. Dialah kepala dewan setempat yang juga bertanggung jawab untuk urusan logistik sejumlah kampung di Aleppo. Sebelum subuh, Rabu dua pekan lalu, seseorang menggedor pintu rumahnya "Bakeri kena bom," pekik si penggedor. Ia bergegas ke lokasi yang ditimpa serangan udara. Kios roti itu luluh-lantak. Delapan orang, termasuk pemiliknya, tewas.

Ancaman kelaparan mulai terasa karena ongkos membuat roti meningkat. Mereka terpaksa memakai kompor parafin dan terkadang kayu untuk memasak. Gas sangat mahal. "Kami tak bisa memanaskan apa pun yang telah masak untuk menghemat bahan bakar, karena kami tak tahu kapan perang akan berakhir," ujar Mehio dalam pembicaraannya lewat Skype dengan The Guardian.

Sejak perang saudara pecah pada 2011, hidup warga Aleppo berubah. "Anak-anak sangat bosan karena tinggal di rumah sepanjang hari. Tak ada sekolah yang buka," kata Abu Mehio. Afraa Hashem, perempuan beranak tiga yang sebelumnya kepala sekolah menengah, kini hanya menanti pertempuran berakhir. Dua perang yang sambung-menyambung: pertempuran pasukan koalisi melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dan sekarang antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak.

Sejak Juni lalu, pasukan pemerintah Suriah mengepung Aleppo timur yang dikuasai pemberontak. Menurut The Washington Post, Rabu pekan lalu, sedikitnya 300 anak tewas atau terluka dalam 10 hari terakhir di Aleppo timur. Sepekan setelah gencatan senjata berakhir, ada 1.700 bom yang dijatuhkan di daerah pertahanan pemberontak, sebagian menghantam permukiman penduduk. Ratusan ribu warga telah meninggalkan Aleppo—kota yang dihuni 3 juta orang—ke kamp-kamp pengungsi jauh di utara, ke Turki, dan berperahu ke Eropa.

Di Aleppo hanya lima rumah sakit yang berfungsi dan penuh sesak dengan pasien, yang harus ditangani 35 dokter. Senin pekan lalu, rumah sakit terbesar rusak parah setelah dihantam serangan darat koalisi militer Suriah dan milisi pendukungnya. Adham Sahloul dari Komunitas Medis Suriah Amerika, yang mengelola beberapa rumah sakit, menyebutkan jumlahnya menyusut 29 dari 30 pada Jumat dua pekan lalu, yakni setelah seorang dokter gigi tewas dalam sebuah serangan udara.

Akhir bulan lalu, gencatan senjata yang digagas Amerika Serikat dan Rusia hanya berlaku sepekan. Moskow menyalahkan Washington karena gagal memisahkan pemberontak dari kelompok jihad. Seorang pejabat Amerika Serikat mengatakan Menteri Luar Negeri John Kerry berfokus pada pencarian solusi diplomatik. Tapi pembicaraan dengan koleganya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, tentang krisis Aleppo telah usai.

Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris, seperti beberapa pejabat PBB, mengatakan pemerintah Suriah dan sekutu Rusianya bersalah melakukan kejahatan perang karena membidik warga sipil, konvoi bantuan kemanusiaan, dan rumah-rumah sakit. Tapi Moskow dan Damaskus membantah telah menyerang rumah-rumah sakit dan mengatakan target mereka hanya kelompok-kelompok militan pemberontak.

Hingga akhir pekan lalu, militer pemerintah merangsek kian luas. Kelompok Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR), Kamis pekan lalu, menyatakan pasukan pemerintah telah menguasai sekitar separuh wilayah permukiman kunci di Aleppo timur dalam kemajuan baru melawan pemberontak.

Rolf Holmboe, bekas Duta Besar Denmark untuk Libanon, Suriah, dan Yordania, yang kini periset tamu di Canadian Global Affairs Institute, mengatakan jatuhnya Aleppo yang strategis merupakan kerugian besar di pihak pemberontak. "Pemberontak akan terisolasi di kantong-kantong. Rezim akan terus menyerang satu per satu tanpa kesulitan," kata Holmboe.

Dwi Arjanto (The Guardian, Reuters, The Washington Post, News Australia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus