ANGIN Laut Cina Selatan bebas tanpa penghalang menerpa
barak-barak reot berdinding papan. Rumah berbentuk panggung itu
berjarak hanya 50 meter dari garis pantai Malaysia Timur.
Gadis-gadis kurus malu-malu memegangi rok panang mereka dari
gangguan angin. Anakanak telanjang berebutan air tawar yang
terpancar dari pompa tangan. Begitu pemandangan setiap sore di
kompleks penampungan pengungsi Filipina Selatan di Kinarot, 20
km ke selatan Kota Kinabalu, Sabah. Sumpek dan kotor--sama
dengan dua kompleks serupa lainnya di Semporna dan Sandakan
(juga di Sabah).
Menampung sedikitnya 10.000 orang, kehadiran kamp itu jadi beban
PBB, tapi cukup memusingkan pernerintah negara-bagian Sabah.
Kinarot, misalnya, setiap hari mengirim ratusan pengemis, bahkan
penjambret dan perampok ke Kinabalu. Dengan nada kesal Datuk
Douglas Lind, 31 tahun, jurubicara Ketua Menteri Sabah berkata,
"Entah bila mereka akan bisa pulang ke negeri mereka." Mungkin
lama lagi. Konflik bersenjata di Filipina Selatan masih
berlarut-larut.
Tapi hubungan Filipina dengan Sabah tidak hanya soal pengungsi.
Filipina masih belum melepaskan tuntutan atas negeri itu dengan
dalih Sabah dulu termasuk wilayah Kerajaan Sulu. Maka Datuk
Douglas mengelak berbicara tentang pengungsi itu. "Kami tak
boleh membicarakan soal itu. Semuanya urusan Kerajaan
Persekutuan (pemerintah pusat - red.) di Kualalumpur," katanya
kepada TEMPO.
Bagi Kualalumpur, Sabah sudah jelas jadi bagian Malaysia. Suatu
kenyataan. Malaysia tampaknya tak akan melepaskan wilayah itu,
walau bagaimanapun kerasnya tuntutan Filipina. (lihat: Teringat
zaman Sultan Sulu).
Namun Sabah suatu soal yang lebih peka pula bagi Filipina. Ini
bisa terlihat dari kerasnya reaksi Menlu Filipina Carlos Romulo
terhadap wawancara pers Leo Lopulisa. Dubes Indonesia itu,
menurut Bulletin Today yang terbit di Manila, berpendapat bahwa
Filipina sebaiknya melepaskan tuntutannya atas Sabah.
Membacanya, Romulo yang berusia 83 tahun itu konon segera naik
pitam, hingga keluar keterangannya yang membuat Dubes Lopulisa
betulbetul dapat pelajaran (lihat Nasional). Bahwa soal Sabah
belum dilupakan, sejumlah anggota Partai Liberal (oposisi)
mengingatkannya lagi awal Desember. Mereka mendesak Presiden
Marcos agar mempertegas tuntutan atas Sabah. Berita ini sempat
ditonjolkan oleh media Filipina. Tapi Marcos menegaskan bahwa
"tak perlu kita membicarakan soal Sabah sekarang."
Di satu pihak, Marcos menolak mempertegas tuntutan atas Sabah.
Di lain pihak, ia belum bersedia mencabut tuntutan itu. Kenapa?
Tanda tanya ini belum terjawab. Tapi adalah Ferdinand F. Marcos
yang berjanji di Kualalumpur (waktu KTT-ASEAN 1977) bahwa dia
akan mengatasi sengketa Sabah demi kepentingan keutuhan ASEAN.
Sementara itu Sabah berperanan sekali dalam pemberontakan Moro
di Filipina Selatan.
Melalui Sabah bantuan keuangan dan senjata dari Libya mengalir
untuk MN LF (Moro National Liberation Front). Abul Khayr
Alonto, orang kedua MNLF (setelah Nur Misuari) mengakui kepada
TEMPO bahwa ratusan pejuang Moro mendapat latihan militer di
Malaysia (Sabah) pada awal 1970-an. "Mereka muslim dan kami
muslim, mengapa kami tak pergi ke sana," kata Alonto (lihat Isi
Hati Bekas Pemberontak).
Di kamp pengungsi di Sabah sampai tahun 1976 masih berkeliaran
orang Moro bersenjata. Mereka kemudian menyelusup lagi ke
Mindanao (Filipina Selatan). Seolah Sabah menjadi tempat mereka
meloncat. "Tapi sekarang tak ada lagi yang punya senjata di
sini," ujar Inik, Wakil Kepala Kampung Kinarot, pengungsi asal
Tawi-Tawi, Filipina Selatan: "Di sini mungkin ada Moro, tapi
pasti tanpa senjata."
Pemerintah Sabah bersikap banting setir sejak Partai Berjaya
(partai multirasial) berkuasa, 1976. Sebelumnya, USNO (United
Sabah National Organisation) pimpinan Tun Datu Mustapha bin Datu
Harun memerintah. Di zaman Mustapha, menurut Inik, Moro memang
bebas bersenjata di kamp pengungsi itu. USNO, partai orang
Melayu yang notabene Islam, merasa lebih dekat dengan cita-cita
perjuangan Moro.
Kamp pengungsi itu ditertibkan oleh Datuk Haris Sri Muhamad
Saleh (Ketua Partai Berjaya merangkap Ketua Menteri Sabah).
Kemudian, tahun 1979, Presiden Marcos diundangnya mengunjungi
tempat penampungan pengungsi Filipina Selatan itu. Hubungan baik
ini jelas mempengaruhi sikap pemerintahan Marcos yang sekarang
berhati-hati bicara soal Sabah.
Tapi "bagaimana kami harus melupakan sejarah," ujar Haji Datu
Suleiman Clem Antonio, ketua satu gerakan Islam Converts To
Islam Society of the Philippina. Suleiman, pensiunan (letkol)
tentara Filipina yang sekarang hidup sebagai pedagang, adalah
pendukung Marcos. Dan dia mendukung tuntutan Filipina atas
Sabah--kembali ke zaman Kerajaan Sulu.
Tapi ada sejarah lain. Moro sendiri merupakan kisah panjang dan
lama dalam sejarah Filipina, dimulai tibanya kaum penakluk dari
Spanyol. Seperti dikatakan Federico V. Magdalena, 36 tahun,
Ketua Departemen Sosiologi, Universitas Mindanao, Spanyol
menguasai Filipina tak hanya untuk berdagang tapi sekaligus
menyebarkan agama Katolik. Gerakan itu berhasil di Utara (Luzon)
dan Tengah (Visayas) tapi tidak di Selatan (Mindanao). Daerah
Selatan itu 200 tahun sebelumnya sudah menjadi Islam. Dan
Spanyol kemudian harus bertempur terus dengan muslim Mindanao
tanpa kemenangan yang jelas. Peperangan itu menyebabkan daerah
Selatan tertinggal dibandingkan dengan daerah Utara dan Tengah
yang kini mayoritas Katolik -- yang dulu mudah bekerjasama
dengan Spanyol.
Penjajahan Amerika yang muncul kemudian (1900-an) tak meneruskan
sikap Spanyol. Tapi tetap saja ada perlawanan orang Selatan yang
sudah menganggap kulit putih sama dengan Katolik. Akibatnya
Selatan tetap tertinggal dan sakit.
Tahun 1930-an, orang Utara (dari Luzon) dan Tengah (Visayas)
yang Katolik mulai bermigrasi ke Selatan. Maka terjadi era baru.
Kaum pendatang itu-yang hidup lebih maju dan trampil mencari
tanah pertanian, sementara di Mindanao tanah subur terbentang
luas. Perpindahan ini jadi besar-besaran setelah Filipina
merdeka (1946), dan baru jenuh pada tahun 1960-an.
Penduduk muslim di Mintanao tetap tak bisa bergabung dengan
saudaranya dari Utara yang berlainan agama itu. Maka Morolandia
(daerah pemukiman Islam di Selatan) -- seperti Provinsi Lanao,
Cotabato, Zamboanga dan Sulu yang kemudian didiami juga oleh
pendatang dari Utara --berubah menjadi kancah pertentangan etnik
yang panas. Terutama sejak tahun 1960 perkelahian antarkelompok
itu, yang umumnya karena rebutan tanah pertanian, sering
terjadi.
Celakanya, "tentara yang dikirim untuk mengamankan kerusuhan
telah memusuhi orang Islam," kata Federico Magdalena. Jebolan
University of Hawaii dan beragama Katolik, Magdalena, dosen itu,
bercerita kepada wartawan TEMPO Amran Nasution di kampus di
Marawy City menjelang Natal lalu. "Maka muslim Mindanao merasa
berhadapan dengan dua pihak -- orang Utara dan pemerintah,"
tambah Magdalena.
Akibatnya, baik golongan muslim maupun Katolik membentuk pasukan
bersenjata. Pihak Katolik punya llaga (llonggo Land Grouping
Association) yang dibiayai para peJabat pemerintah dan orang
kaya dari Luzon. Pihak muslim membentuk Barrakuda (berarti
pasukan berkuda) dan Black Shirt (anggotanya ditandai selalu
berbaju hitam), yang antara lain dibiayai oleh Ali Dimapuruk,
Gubernur Lanao Del Sur, seorang muslim. Sekarang pun dia tetap
gubernur.
Gontok-gontokan mereka menimbulkan korban jiwa ratusan orang Di
Pagalungan dan Pikit (Mindanao Selatan) saja, pernah terjadi
bentrokan llaga dengan Black Shirt, menewaskan 150 orang. Semua
ini mencapai puncaknya ketika(akhir 1970) terjadi peristiwa
"penjagalan Corregidor". Sekitar 300 muslim dari Sulu yang
mendapat latihan militer khusus di Corregidor--pulau kecil
tempat latihan militer dekat Bataan, 140 km ke arah barat daya
Manila -- dibunuh ketika mereka menolak diterjunkan di Sabah.
"Apa yang pernah dilakukan Spanyol, diulangi oleh pemerintah
kami sendiri. Jawabannya, kami harus bersatu dan memberontak,
"kata Abdul Khayr Alonto. Bersama Hasyim Selamat dan Nur
Misuari, Alonto dulu bergabung dalam organisasi pemberontak yang
kemudian dikenal dengan MNLF itu. Mereka terpilih memimpin
karena berasal dari kampus. (Misuari dan Alonto jebolan
Philippine University, sedang Hasyim dari Universitas Al Azhar,
Cairo). Sultan Rasyid Lukman, anggota DPR asal Marawy City
kemudian mengirim anak-anak muda dari Selatan untuk latihan
Militer di Sabah. Dan pemberontakan mencapai bentuk yang
sebenarnya.
Sekarang, 10 tahun lebih berlalu, pemberontakan itu tak juga
bisa diselesaikan. Situasi rusuh masih bekepanjangan--terutama
menimbulkan penderitaan bagi penduduk Selatan yang muslim.
"Bagaimana kami mungkin hidup di daerah rusuh begitu?" kata
Inik, pengungsi dari Tawi-Tawi. Petani dengan istri dan delapan
anak ini, Oktober 1971, meninggalkan sawahnya. Dengan perahu
motor yang kecil yang disesaki 50 teman sekampung, mereka
menyeberangi Laut Cina Selatan 3 hari 3 malam, dan terdampar di
Kota Kinabalu.
Banyak di antara "orang perahu" dan Filipina Selatan tak sampai
ke Sabah karena tenggelam di laut. Inik bercerita bagaimana
salah satu perahu dalam rombongannya tenggelam. "Anak kecil di
perahu itu belasan jumlahnya -- mati semua," katanya terharu.
Sulit membedakan pemberontak atau bukan dalam rombongan
pengungsi itu. Tapi, menurut Inik, Angkatan Laut Filipina sering
menembaki perahu pengungsi karena menduganya sebagai Moro.
Di Sabah para pengungsi semula mendirikan gubuk liar di tepi
pantai, di Kinabalu atau Semporna. Pemerintah dengan bantuan PBB
sejak tahun 1975 menempatkan mereka di kamp penampungan.
Arus pengungsi tak hanya ke Sabah. Banyak juga yang pergi ke
Quiapo di pusat kota Manila. Sekitar 15.000 muslim asal Filipina
Selatan menghuni barak dan gubuk reot, di atas areal 2 ha di
tepi Sungai Pasig yang butek itu. Gubuk-gubuk mereka bangun
secara tak beraturan dalam lorong yang sempit dan becek.
Anak-anak kecil telanjang yang berjubel dan intel pemenntah
berbaju barong mewarnai kompleks itu. Malam hari, kompleks Islam
(Islamzc Centre) itu memperlihatkan bentuknya yang asli. Banyak
orang tidur di mana saja. "Di dalam rumah sudah penuh, terpaksa
tidur di luar," kata Fatimah, 43 tahun, pengungsi asal Basilan,
Cotabato. Rumah Fatimah yang berukuran 3 kali 6 meter itu dihuni
36 orang. Malah rumah Ahmad Ali yang berukuran 4 kali 5 meter
sampai dihuni 50 manusia. "Begitulah rata-rata keadaan kami di
tempat ini," kata Fatimah lagi.
Tapi umumnya pengungsi itu yang diinterpiu TEMPO bulan lalu
masih bersyukur. Di Manila mereka bisa hidup berdagang
kecil-kecilan atau sebagai pedagang kaki-5.
Pemerintahan Marcos, misalnya, menutup Jalan Raja Sulaeman--500
meter dari kompleks itu--khusus untuk tempat warganegara asal
Selatan berdagang. Di Raja Sulaeman Market (nama pasar itu)
sekarang terdapat hampir 200 kios kecil, tempat mereka berjualan
bahan kebutuhan sehari-hari beras tekstil atau kelontong. "Di
sini kami bisa berdagang untuk melanjutkan hidup. Tapi di
Selatan, hanya dor . . . dor . . . dor. Bagaimana bisa turun ke
sawah?" cerita Pangandaman, 43 tahun, wanita yang memimpin
kelompok pedagang di Raja Sulaeman Market.
Selain di situ penghuni kompleks Quiapo menjejali kaki-lima
Quezon Boulevard, Mabini Street dan bagian kota lainnya. Yang
lain jadi sopir taksi, atau penyapu jalan, atau pengemis. "Kerja
apa saja untuk hidup, asal jangan jadi pelacur," ujar Maliangka,
50 tahun, pemuka masyarakat di situ, bekas camat dari Provinsi
Lanao Del Sur, Mindanao.
Problem pengungsi juga dialami kotakota di Selatan. Marawy City
di Provinsi Lanao Del Sur, misalnya, sebelum diumumkannya
Undang-Undang Daurat (Martial Law) oleh Marcos, 21 September
1972, (dengan alasan kerusuhan Moro itu), hanya berpenduduk
sekitar 50.000. Meskipun sudah banyak yang mengungsi ke Manila,
jumlah penduduk Marawy sekarang naik menjadi lebih 70.000.
Penduduk desa sekelilingnya menumpuk di kota itu. "Desa-desa
tidak aman, " kata Mousing Macabando, seorang kepala kampung di
Marawy. Selain bahaya pertempuran, sering ada perampokan di
desa. Polisi tak berani menjaga sampai ke desa daerah Selatan
--takut dijebak gerilyawan Moro. Banyak daerah tak bertuan di
sana. Bahkan kota pun tak aman. Pemerintah akhir Desember pernah
mengerahkan satu batalion tentara dan empat helikopter untuk
memburu komplotan perampok bank di Central Mindanao. Selain
mengambil uang dari tiga bank, perampok sempat menyandera 11
pegawai bank, sebagian wanita. Suatu bukti betapa rawannya
daerah itu.
"Kapan negeri kami aman? Siapa tahu," lanjut lnik yang kini jadi
nelayan di kamp Kinarot. Juga itu tak terjawab oleh Menteri
Urusan Islam Filipina, Laksamana Romulo Espaldon yang sampai
tahun 1980 jadi Panglima Daerah Selatan yang rusuh itu." Saya
pikir anda jangan tanyakan itu dulu," katanya kepada TEMPO,
"tapi sekarang sudah lebih 40.000 pemberontak yang menyerah."
Espaldon--seperti bekas pemberontak lainnya yang sekarang
bekerja sama dengan Marcos, Abul Khayr Alonto -menaksir sisa
Moro yang masih di hutan sekitar 30.000 orang. "Dan mereka sudah
berantakan, tanpa pimpinan," tambah Alonto.
Pendapat itu segera dibantah oleh Rasyid Zampaco, 44 tahun,
bekas Walikota Marawy City yang sekarang menjadi pedagang kaya
dan dikenal akrab dengan gerilyawan Moro. Benar Nur Misuari
berada di Libya dan Hasyim Selamat di Arab Saudi, "tapi pimpinan
mereka tetap ada, kata Zampaco.
MNLF sekarang terpecah dua: kelompok Misuari yang umumnya
terdiri dari orang muda yang lebih ekstrim menuntut Mindanao
menjadi negara yang berdiri sendiri, dan kelompok Hasyim Selamat
yang lebih moderat menuntut suatu otonomi penuh bagi Mindanao.
"Tapi menghadapi tentara Marcos, mereka bersatu," kata Zampaco
Di gunung-gunung di Mindanao, kelompok Misuari dipimpin oleh
Toni Al Haj dan Gaffar, sedang kelompok Hasyim Selamat dipimpin
oleh Saleh Raskal dan Abdul Azis. Dua nama belakangan ini pemuda
lulusan Al Azhar Mesir, mengorganisasikan diri kembali.
Zampaco konon September lalu naik ke gunung di pinggir Danau
Lanao, tempat markas MNLF di Provinsi Lanao Del Sur untuk
menjemput Van Victor, warganegara Amerika yang diculik Moro.
Pergi bersama Mustafa Dreiza, Dubes Libya untuk Filipina, dia
berhasil menyelamatkan Van Victor, missionaris Protestan di
Marawy City.
Di Provinsi Lanao Del Sur saja kekuatan Moro, menurut Zampaco,
sedikitnya 30.000 orang bersenjata. Di seluruh Mindanao
sekarang, Zampaco menaksir jumlah Moro paling tidak 70.000-an.
Tokoh mereka yang sudah menyerah seperti Alonto dan Jamil Lukman
diberi jabatan oleh Marcos, "namun tak sedikit anggotanya yang
kembali lagi naik gunung," kata Zampaco.
Kenyataan di daerah Selatan, seperti yang disaksikan Amran
Nasution dari TEMPO akhir Desember lalu, memperkuat apa yang
dikatakan Zampaco. Jalan raya (higway) Cagayan de Oro yang
menghubungkan lapangan terbang di Mindanao Utara ke pedalaman
sepanjang 300 km itu hanya terasa mulus dilewati dengan taksi
sampai Baloi, daerah perbatasan penduduk Islam-Kristen. Memasuki
daerah Islam sampai ke Marawy City jalan sepi yang hanya 50-an
km itu, perjalanan mobil memakan waktu 2 jam lebih. Setiap 5 - 6
km, ada saja pencegatan di pos militer. Jalan dirintangai oleh
palang kayu dengan kawat berduri. Seisi mobil diperiksa dan
diudak-aduk dengan sikap yang kasar. Di setiap pencegatan itu,
tiga atau empat tentara memeriksa mobil dengan senjata otomatis
terkokang, sementara dua atau tiga tentara lainnya tiarap di
lubang perlindungan dengan mitraliur yang terarah ke mobil. Kian
dekat ke Marawy City, pencegatan itu bertambah sering, dan di
kiri-kanan jalan bisa terlihat asrama darurat militer berbentuk
kemah terpal atau gubuk.
Marawy City, yang terletak di tepi Danau Lanao yang indah
bernenduduk 70.000 jiwa, terkenal karena Mindanao State
University--dulu universitas ke dua terbesar di Filipina
setelah University of Philippine (di Manila), sungguh sedang
dilanda perang. Di banyak sudut kota itu kelihatan pos militer
yang dilindungi benteng karung pasir. Setiap rumah penduduk
punya lubang perlindungan. Siang hari penduduk sibuk dengan
kegiatan sehari-hari, tapi sesudah magrib seisi kota senyap dan
jalan lengang, keheningan malam hanya dipecahkan raungan jip
tentara yang meronda.
Entah bila akan aman, seperti disiarkan oleh Arabia: The Islamic
World Review (Desember 81). Menghadapi pemberontakan Moro dan
Komunis (New People's Army--NPA), menurut majalah itu, rezim
Marcos mengerahkan lebih 60% dari tentaranya yang berkekuatan
seperempat juta itu ke Mindanao. Ditaksir sejak (Martial Law)
1972 sudah 70.000 orang yang terbunuh di Mindanao saja, sebagian
besar penduduk sipil. Juga telah tewas Jenderal Teodulfo
Bautista bersama 34 perwira dari angkatan bersenjata Filipina.
Mereka dibunuh Moro dalam suatu sergapan di Jolo, 3 tahun lalu.
Belakangan ini MNLF malah menunjukkan kegiatan yang meningkat.
Pertengahan Desember, mereka berani menyerang pos-pos tentara di
pusat Marawy City. Di Tawi-Tawi, kepulauan di selatan Mindanao,
awal Januari ini Angkatan Laut Filipina terlibat pertempuran
laut dengan jam dengan perahu Moro.
Perairan di sekitar Mindanao pun sudah agak kurang aman bagi
kapal niaga. Hegg, kapal Jepang (5307 ton) yang membawa methanol
-- bahan kimia yang mudah terbakar--Sabtu lalu diserang oleh dua
pesawat tempur mirip T-28D milik AU-Filipina. Hegg sedang
berlayar di laut bebas 25 mil di sebelah timur Mindanao, dari
Singapura menuju Pusan, Korea Selatan. Kapal Jepang itu ditembus
tujuh peluru dan terbakar selama 15 menit tapi akhirnya selamat.
Hanya seorang awaknya terluka berat. Ada kemungkinan AU Filipina
menyangka Hegg suatu kapal pemberontak yang sedang membawa
keperluan Moro.
Menurut Zampaco, kegiatan MNLF meningkat seteiah Agustus tahun
lalu dua tokoh MNLF, Nur Misuari dan Hasyim Selamat mengadakan
pertemuan dengan bekas Senator Aquino (musuh Marcos yang tinggal
di Amerika) di Jeddah. Di Arab Saudi, bertemu dengan Raja
Khalid, Aquino konon sempat berkata, "Saya bukan muslim, tapi
saya tidak membunuhi kaum muslim seperti yang dilakukan Marcos."
Namun Pemerintahan Marcos cukup pandai merebut simpati Arab
Saudi. Sedikitnya 40 % dari kebutuhan minyak Filipina adalah
impor dari Arab Saudi. Dan impor itu selalu lancar. Marcos
menyatakan terimakasihnya pada Pangeran Mahkota Fahd ketika
keduanya bertemu di konperensi puncak (energi) Cancun. Berbeda
dengan desas-desus orang, kata Marcos, Arab Saudi ternyata tidak
pernah membantu MNLF.
MNLF agak sulit menerima saluran bantuan Libya lewat Sabah
setelah bertukarnya pemerintahan di sana. "Tapi mereka tak
kekurangan biaya, semua penduduk membantu mereka kapan saja
mereka perlu duit dan beras," kata Zampaco.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini