Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Skorsing Lewat Interlokal

Tiga mahasiswa IKIP Yogya (Budi Nugroho, Agus Salim Matondang, dan Umri Sub'i) diskors selama 2 semester melanggar tata tertib upacara penghormatan kepada Presiden Soeharto. (nas)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL ceritanya 14 Oktober 1981. Untuk pertama kalinya Presiden mengunjungi IKIP Yogyakarta, meresmikan gedung Fakultas Keguruan Teknik (FKT) perguruan tinggi ini. "Belum tentu dalam 2 5 tahun lagi Presiden mengunjungi IKIP Yogyakarta," kata Rektor St. Vembriarto. Tatkala Presiden beserta rombongan memasuki ruang upacara, semua hadirin dipersilakan berdiri. Rupanya 3 mahasiswa: Budi Nugroho, Agus Salim Matondang dan Umri Sub'i tetap duduk. Sikap mereka ini rupanya berbuntut panjang. Dengan SK No. 001, 1982, 2 Januari, rektor menjatuhkan skorsing selama 2 semester serta mencabut segala hak dan kewenangan kemahasiswaan mereka. Mereka disalahkan melanggar tatatertib upacara penghormatan Presiden. Perbuatan tersebut, menurut SK itu, tidak layak dan tidak sepantasnya dilakukan mahasiswa calon pendidik. Lebih jauh juga merupakan tindak pelanggaran terhadap kehormatan Presiden Rl dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang sah. Yang antara lain melahirkan keputusan tersebut rupanya surat pernyataan kesaksian yang ditandatangani Kepala Seksi I/Intel Korem 072 Pamungkas (Yogyakarta), 5 November 1981 yang dicantumkan dalam SK tersebut. Sedang skorsing berdasar instruksi Menteri P & K yang disampaikan lewat telepon interlokal 29 Desember. Masalah ini kemudian dibicarakan dalam rapat pimpinan IKIP pada 30 Desember. Vembriarto menjelaskan, skorsing ini merupakan tindakan edukatif terhadap tingkah-laku ketiga mahasiswa itu yang tidak sesuai dengan tata pergaulan yang wajar. "Apalagi lembaga ini tempat pendidikan guru yang begitu mendaftar di IKIP sudah dibimbing mengenai kode etik guru. Juga di kartu mahasiswa tertancum soal kode etik tersebut," ungkapnya. Pendidikan, menurut Vembriarto, tidak hanya memberi ganjaran tapi juga memberi hukuman. Skorsing selama 1 semester sebelumnya juga dijatuhkan pada mahasiswa yang kedapatan mencuri buku dan yang mengubah nilai. "Tindakan tidak menghormati Presiden lebih berat dari mencuri buku," ujarnya. Said Tuhulele, bekas Ketua Umum DM IKIP Yogyakarta, menilai hukuman itu sama sekali tidak mendidik. "Mereka diberi hukuman akademis padahal kasus ini terlepas samasekali dari kegiatan akademis," kata Said. Menurut dia sebelum menjatuhkan hukuman mestinya ada peringatan lebih dulu. Selain itu harus dilihat dulu apakah mahasiswa tidak mengerti, lupa, atau tidak terbiasa dengan kedatangan Presiden. Said juga melihat keanehan. Budi Nugroho tetap diskors sekalipun sudah minta maaf. Agus Salim Matondang dan Umri Sub'i sudah dipecat dari jabatan Ketua dan Sekretaris Senat Mahasiswa FKT IKIP, toh masih dijatuhi hukuman juga. Karena itu Said menduga skorsing itu erat kaitannya dengan kegiatan mahasiswa sebelumnya yang memprotes beberapa hal di IKIP. "Paling tidak ada unsur balas dendam," ujarnya. Tapi apa jawab Vembriarto? "Itu terserah mereka. Yang jelas saya sama sekali tidah berniat begitu." Rektor ini mengakui tak ada ketentuan tertulis mengenai keharusan berdiri pada acara kenegaraan. Hal itu dianggapnya etiket biasa. "Kan norma moral tidak semuanya tertulis," kilahnya. Toh diakuinya sulit untuk mengetahui apakah sikap ketiga mahasiswa itu disengaja atau tidak. "Tapi mestinya mereka melihat kiri-kanan. Masa semua berdiri mereka tidak." Budi Nugroho mengatakan tak adaunsur kesengajaan atas tindakannya. "Maklum saya ini aktivis kesenian yang malam sebelumnya kurang tidur, jadi mengantuk," katanya. Hal ini telah ditegaskannya pada Rektor dan petugas Korem yang memeriksanya. Ia sudah membuat pernyataan maaf pada 16 Oktober 1981. "Sekarang saya hanya pasrah kepada Tuhan. Mudah-mudahan surat penyesalan saya sampai kepada yang berwen,ang. Dan dalam hati, saya ingin minta maaf kepada Presiden," kata Budi. Para mahasiswa IKIP Yogyakarta menolak skorsing tersebut. Dalam pernyataannya pekan lalu seluruh Senat Mahasiswa menyesalkan keputusan Rektor itu. Mereka minta SK itu dicabut dan nama baik ketiga mahasiswa itu direhabilitasikan. Dinyatakan juga: "Apabila surat pernyataan ini tidak mendapat tanggapan dari pihak institut dan di kemudian hari ada ekses-ekses yang tidak diinginkan, maka Senat Mahasiswa sebagai lembaga kemahasiswaan tidak bertanggungjawab."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus