AWAL ceritanya 14 Oktober 1981. Untuk pertama kalinya Presiden
mengunjungi IKIP Yogyakarta, meresmikan gedung Fakultas Keguruan
Teknik (FKT) perguruan tinggi ini. "Belum tentu dalam 2 5 tahun
lagi Presiden mengunjungi IKIP Yogyakarta," kata Rektor St.
Vembriarto.
Tatkala Presiden beserta rombongan memasuki ruang upacara, semua
hadirin dipersilakan berdiri. Rupanya 3 mahasiswa: Budi Nugroho,
Agus Salim Matondang dan Umri Sub'i tetap duduk. Sikap mereka
ini rupanya berbuntut panjang.
Dengan SK No. 001, 1982, 2 Januari, rektor menjatuhkan skorsing
selama 2 semester serta mencabut segala hak dan kewenangan
kemahasiswaan mereka. Mereka disalahkan melanggar tatatertib
upacara penghormatan Presiden. Perbuatan tersebut, menurut SK
itu, tidak layak dan tidak sepantasnya dilakukan mahasiswa calon
pendidik. Lebih jauh juga merupakan tindak pelanggaran terhadap
kehormatan Presiden Rl dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan yang sah.
Yang antara lain melahirkan keputusan tersebut rupanya surat
pernyataan kesaksian yang ditandatangani Kepala Seksi I/Intel
Korem 072 Pamungkas (Yogyakarta), 5 November 1981 yang
dicantumkan dalam SK tersebut. Sedang skorsing berdasar
instruksi Menteri P & K yang disampaikan lewat telepon
interlokal 29 Desember. Masalah ini kemudian dibicarakan dalam
rapat pimpinan IKIP pada 30 Desember.
Vembriarto menjelaskan, skorsing ini merupakan tindakan edukatif
terhadap tingkah-laku ketiga mahasiswa itu yang tidak sesuai
dengan tata pergaulan yang wajar. "Apalagi lembaga ini tempat
pendidikan guru yang begitu mendaftar di IKIP sudah dibimbing
mengenai kode etik guru. Juga di kartu mahasiswa tertancum soal
kode etik tersebut," ungkapnya.
Pendidikan, menurut Vembriarto, tidak hanya memberi ganjaran
tapi juga memberi hukuman. Skorsing selama 1 semester sebelumnya
juga dijatuhkan pada mahasiswa yang kedapatan mencuri buku dan
yang mengubah nilai. "Tindakan tidak menghormati Presiden lebih
berat dari mencuri buku," ujarnya.
Said Tuhulele, bekas Ketua Umum DM IKIP Yogyakarta, menilai
hukuman itu sama sekali tidak mendidik. "Mereka diberi hukuman
akademis padahal kasus ini terlepas samasekali dari kegiatan
akademis," kata Said. Menurut dia sebelum menjatuhkan hukuman
mestinya ada peringatan lebih dulu. Selain itu harus dilihat
dulu apakah mahasiswa tidak mengerti, lupa, atau tidak terbiasa
dengan kedatangan Presiden.
Said juga melihat keanehan. Budi Nugroho tetap diskors sekalipun
sudah minta maaf. Agus Salim Matondang dan Umri Sub'i sudah
dipecat dari jabatan Ketua dan Sekretaris Senat Mahasiswa FKT
IKIP, toh masih dijatuhi hukuman juga. Karena itu Said menduga
skorsing itu erat kaitannya dengan kegiatan mahasiswa sebelumnya
yang memprotes beberapa hal di IKIP. "Paling tidak ada unsur
balas dendam," ujarnya.
Tapi apa jawab Vembriarto? "Itu terserah mereka. Yang jelas saya
sama sekali tidah berniat begitu." Rektor ini mengakui tak ada
ketentuan tertulis mengenai keharusan berdiri pada acara
kenegaraan. Hal itu dianggapnya etiket biasa. "Kan norma moral
tidak semuanya tertulis," kilahnya. Toh diakuinya sulit untuk
mengetahui apakah sikap ketiga mahasiswa itu disengaja atau
tidak. "Tapi mestinya mereka melihat kiri-kanan. Masa semua
berdiri mereka tidak."
Budi Nugroho mengatakan tak adaunsur kesengajaan atas
tindakannya. "Maklum saya ini aktivis kesenian yang malam
sebelumnya kurang tidur, jadi mengantuk," katanya. Hal ini telah
ditegaskannya pada Rektor dan petugas Korem yang memeriksanya.
Ia sudah membuat pernyataan maaf pada 16 Oktober 1981. "Sekarang
saya hanya pasrah kepada Tuhan. Mudah-mudahan surat penyesalan
saya sampai kepada yang berwen,ang. Dan dalam hati, saya ingin
minta maaf kepada Presiden," kata Budi.
Para mahasiswa IKIP Yogyakarta menolak skorsing tersebut. Dalam
pernyataannya pekan lalu seluruh Senat Mahasiswa menyesalkan
keputusan Rektor itu. Mereka minta SK itu dicabut dan nama baik
ketiga mahasiswa itu direhabilitasikan. Dinyatakan juga:
"Apabila surat pernyataan ini tidak mendapat tanggapan dari
pihak institut dan di kemudian hari ada ekses-ekses yang tidak
diinginkan, maka Senat Mahasiswa sebagai lembaga kemahasiswaan
tidak bertanggungjawab."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini