Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Islam dan sabah di pikiran marcos

Gerakan moro di filipina selatan belum padam, walaupun sudah banyak pemberontak yang turun dari gunung. pemerintahan marcos mulai mendekati kaum muslimin, filipina belum melepaskan tuntutan sabah.(ln)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGIN Laut Cina Selatan bebas tanpa penghalang menerpa barak-barak reot berdinding papan. Rumah berbentuk panggung itu berjarak hanya 50 meter dari garis pantai Malaysia Timur. Gadis-gadis kurus malu-malu memegangi rok panang mereka dari gangguan angin. Anakanak telanjang berebutan air tawar yang terpancar dari pompa tangan. Begitu pemandangan setiap sore di kompleks penampungan pengungsi Filipina Selatan di Kinarot, 20 km ke selatan Kota Kinabalu, Sabah. Sumpek dan kotor--sama dengan dua kompleks serupa lainnya di Semporna dan Sandakan (juga di Sabah). Menampung sedikitnya 10.000 orang, kehadiran kamp itu jadi beban PBB, tapi cukup memusingkan pernerintah negara-bagian Sabah. Kinarot, misalnya, setiap hari mengirim ratusan pengemis, bahkan penjambret dan perampok ke Kinabalu. Dengan nada kesal Datuk Douglas Lind, 31 tahun, jurubicara Ketua Menteri Sabah berkata, "Entah bila mereka akan bisa pulang ke negeri mereka." Mungkin lama lagi. Konflik bersenjata di Filipina Selatan masih berlarut-larut. Tapi hubungan Filipina dengan Sabah tidak hanya soal pengungsi. Filipina masih belum melepaskan tuntutan atas negeri itu dengan dalih Sabah dulu termasuk wilayah Kerajaan Sulu. Maka Datuk Douglas mengelak berbicara tentang pengungsi itu. "Kami tak boleh membicarakan soal itu. Semuanya urusan Kerajaan Persekutuan (pemerintah pusat - red.) di Kualalumpur," katanya kepada TEMPO. Bagi Kualalumpur, Sabah sudah jelas jadi bagian Malaysia. Suatu kenyataan. Malaysia tampaknya tak akan melepaskan wilayah itu, walau bagaimanapun kerasnya tuntutan Filipina. (lihat: Teringat zaman Sultan Sulu). Namun Sabah suatu soal yang lebih peka pula bagi Filipina. Ini bisa terlihat dari kerasnya reaksi Menlu Filipina Carlos Romulo terhadap wawancara pers Leo Lopulisa. Dubes Indonesia itu, menurut Bulletin Today yang terbit di Manila, berpendapat bahwa Filipina sebaiknya melepaskan tuntutannya atas Sabah. Membacanya, Romulo yang berusia 83 tahun itu konon segera naik pitam, hingga keluar keterangannya yang membuat Dubes Lopulisa betulbetul dapat pelajaran (lihat Nasional). Bahwa soal Sabah belum dilupakan, sejumlah anggota Partai Liberal (oposisi) mengingatkannya lagi awal Desember. Mereka mendesak Presiden Marcos agar mempertegas tuntutan atas Sabah. Berita ini sempat ditonjolkan oleh media Filipina. Tapi Marcos menegaskan bahwa "tak perlu kita membicarakan soal Sabah sekarang." Di satu pihak, Marcos menolak mempertegas tuntutan atas Sabah. Di lain pihak, ia belum bersedia mencabut tuntutan itu. Kenapa? Tanda tanya ini belum terjawab. Tapi adalah Ferdinand F. Marcos yang berjanji di Kualalumpur (waktu KTT-ASEAN 1977) bahwa dia akan mengatasi sengketa Sabah demi kepentingan keutuhan ASEAN. Sementara itu Sabah berperanan sekali dalam pemberontakan Moro di Filipina Selatan. Melalui Sabah bantuan keuangan dan senjata dari Libya mengalir untuk MN LF (Moro National Liberation Front). Abul Khayr Alonto, orang kedua MNLF (setelah Nur Misuari) mengakui kepada TEMPO bahwa ratusan pejuang Moro mendapat latihan militer di Malaysia (Sabah) pada awal 1970-an. "Mereka muslim dan kami muslim, mengapa kami tak pergi ke sana," kata Alonto (lihat Isi Hati Bekas Pemberontak). Di kamp pengungsi di Sabah sampai tahun 1976 masih berkeliaran orang Moro bersenjata. Mereka kemudian menyelusup lagi ke Mindanao (Filipina Selatan). Seolah Sabah menjadi tempat mereka meloncat. "Tapi sekarang tak ada lagi yang punya senjata di sini," ujar Inik, Wakil Kepala Kampung Kinarot, pengungsi asal Tawi-Tawi, Filipina Selatan: "Di sini mungkin ada Moro, tapi pasti tanpa senjata." Pemerintah Sabah bersikap banting setir sejak Partai Berjaya (partai multirasial) berkuasa, 1976. Sebelumnya, USNO (United Sabah National Organisation) pimpinan Tun Datu Mustapha bin Datu Harun memerintah. Di zaman Mustapha, menurut Inik, Moro memang bebas bersenjata di kamp pengungsi itu. USNO, partai orang Melayu yang notabene Islam, merasa lebih dekat dengan cita-cita perjuangan Moro. Kamp pengungsi itu ditertibkan oleh Datuk Haris Sri Muhamad Saleh (Ketua Partai Berjaya merangkap Ketua Menteri Sabah). Kemudian, tahun 1979, Presiden Marcos diundangnya mengunjungi tempat penampungan pengungsi Filipina Selatan itu. Hubungan baik ini jelas mempengaruhi sikap pemerintahan Marcos yang sekarang berhati-hati bicara soal Sabah. Tapi "bagaimana kami harus melupakan sejarah," ujar Haji Datu Suleiman Clem Antonio, ketua satu gerakan Islam Converts To Islam Society of the Philippina. Suleiman, pensiunan (letkol) tentara Filipina yang sekarang hidup sebagai pedagang, adalah pendukung Marcos. Dan dia mendukung tuntutan Filipina atas Sabah--kembali ke zaman Kerajaan Sulu. Tapi ada sejarah lain. Moro sendiri merupakan kisah panjang dan lama dalam sejarah Filipina, dimulai tibanya kaum penakluk dari Spanyol. Seperti dikatakan Federico V. Magdalena, 36 tahun, Ketua Departemen Sosiologi, Universitas Mindanao, Spanyol menguasai Filipina tak hanya untuk berdagang tapi sekaligus menyebarkan agama Katolik. Gerakan itu berhasil di Utara (Luzon) dan Tengah (Visayas) tapi tidak di Selatan (Mindanao). Daerah Selatan itu 200 tahun sebelumnya sudah menjadi Islam. Dan Spanyol kemudian harus bertempur terus dengan muslim Mindanao tanpa kemenangan yang jelas. Peperangan itu menyebabkan daerah Selatan tertinggal dibandingkan dengan daerah Utara dan Tengah yang kini mayoritas Katolik -- yang dulu mudah bekerjasama dengan Spanyol. Penjajahan Amerika yang muncul kemudian (1900-an) tak meneruskan sikap Spanyol. Tapi tetap saja ada perlawanan orang Selatan yang sudah menganggap kulit putih sama dengan Katolik. Akibatnya Selatan tetap tertinggal dan sakit. Tahun 1930-an, orang Utara (dari Luzon) dan Tengah (Visayas) yang Katolik mulai bermigrasi ke Selatan. Maka terjadi era baru. Kaum pendatang itu-yang hidup lebih maju dan trampil mencari tanah pertanian, sementara di Mindanao tanah subur terbentang luas. Perpindahan ini jadi besar-besaran setelah Filipina merdeka (1946), dan baru jenuh pada tahun 1960-an. Penduduk muslim di Mintanao tetap tak bisa bergabung dengan saudaranya dari Utara yang berlainan agama itu. Maka Morolandia (daerah pemukiman Islam di Selatan) -- seperti Provinsi Lanao, Cotabato, Zamboanga dan Sulu yang kemudian didiami juga oleh pendatang dari Utara --berubah menjadi kancah pertentangan etnik yang panas. Terutama sejak tahun 1960 perkelahian antarkelompok itu, yang umumnya karena rebutan tanah pertanian, sering terjadi. Celakanya, "tentara yang dikirim untuk mengamankan kerusuhan telah memusuhi orang Islam," kata Federico Magdalena. Jebolan University of Hawaii dan beragama Katolik, Magdalena, dosen itu, bercerita kepada wartawan TEMPO Amran Nasution di kampus di Marawy City menjelang Natal lalu. "Maka muslim Mindanao merasa berhadapan dengan dua pihak -- orang Utara dan pemerintah," tambah Magdalena. Akibatnya, baik golongan muslim maupun Katolik membentuk pasukan bersenjata. Pihak Katolik punya llaga (llonggo Land Grouping Association) yang dibiayai para peJabat pemerintah dan orang kaya dari Luzon. Pihak muslim membentuk Barrakuda (berarti pasukan berkuda) dan Black Shirt (anggotanya ditandai selalu berbaju hitam), yang antara lain dibiayai oleh Ali Dimapuruk, Gubernur Lanao Del Sur, seorang muslim. Sekarang pun dia tetap gubernur. Gontok-gontokan mereka menimbulkan korban jiwa ratusan orang Di Pagalungan dan Pikit (Mindanao Selatan) saja, pernah terjadi bentrokan llaga dengan Black Shirt, menewaskan 150 orang. Semua ini mencapai puncaknya ketika(akhir 1970) terjadi peristiwa "penjagalan Corregidor". Sekitar 300 muslim dari Sulu yang mendapat latihan militer khusus di Corregidor--pulau kecil tempat latihan militer dekat Bataan, 140 km ke arah barat daya Manila -- dibunuh ketika mereka menolak diterjunkan di Sabah. "Apa yang pernah dilakukan Spanyol, diulangi oleh pemerintah kami sendiri. Jawabannya, kami harus bersatu dan memberontak, "kata Abdul Khayr Alonto. Bersama Hasyim Selamat dan Nur Misuari, Alonto dulu bergabung dalam organisasi pemberontak yang kemudian dikenal dengan MNLF itu. Mereka terpilih memimpin karena berasal dari kampus. (Misuari dan Alonto jebolan Philippine University, sedang Hasyim dari Universitas Al Azhar, Cairo). Sultan Rasyid Lukman, anggota DPR asal Marawy City kemudian mengirim anak-anak muda dari Selatan untuk latihan Militer di Sabah. Dan pemberontakan mencapai bentuk yang sebenarnya. Sekarang, 10 tahun lebih berlalu, pemberontakan itu tak juga bisa diselesaikan. Situasi rusuh masih bekepanjangan--terutama menimbulkan penderitaan bagi penduduk Selatan yang muslim. "Bagaimana kami mungkin hidup di daerah rusuh begitu?" kata Inik, pengungsi dari Tawi-Tawi. Petani dengan istri dan delapan anak ini, Oktober 1971, meninggalkan sawahnya. Dengan perahu motor yang kecil yang disesaki 50 teman sekampung, mereka menyeberangi Laut Cina Selatan 3 hari 3 malam, dan terdampar di Kota Kinabalu. Banyak di antara "orang perahu" dan Filipina Selatan tak sampai ke Sabah karena tenggelam di laut. Inik bercerita bagaimana salah satu perahu dalam rombongannya tenggelam. "Anak kecil di perahu itu belasan jumlahnya -- mati semua," katanya terharu. Sulit membedakan pemberontak atau bukan dalam rombongan pengungsi itu. Tapi, menurut Inik, Angkatan Laut Filipina sering menembaki perahu pengungsi karena menduganya sebagai Moro. Di Sabah para pengungsi semula mendirikan gubuk liar di tepi pantai, di Kinabalu atau Semporna. Pemerintah dengan bantuan PBB sejak tahun 1975 menempatkan mereka di kamp penampungan. Arus pengungsi tak hanya ke Sabah. Banyak juga yang pergi ke Quiapo di pusat kota Manila. Sekitar 15.000 muslim asal Filipina Selatan menghuni barak dan gubuk reot, di atas areal 2 ha di tepi Sungai Pasig yang butek itu. Gubuk-gubuk mereka bangun secara tak beraturan dalam lorong yang sempit dan becek. Anak-anak kecil telanjang yang berjubel dan intel pemenntah berbaju barong mewarnai kompleks itu. Malam hari, kompleks Islam (Islamzc Centre) itu memperlihatkan bentuknya yang asli. Banyak orang tidur di mana saja. "Di dalam rumah sudah penuh, terpaksa tidur di luar," kata Fatimah, 43 tahun, pengungsi asal Basilan, Cotabato. Rumah Fatimah yang berukuran 3 kali 6 meter itu dihuni 36 orang. Malah rumah Ahmad Ali yang berukuran 4 kali 5 meter sampai dihuni 50 manusia. "Begitulah rata-rata keadaan kami di tempat ini," kata Fatimah lagi. Tapi umumnya pengungsi itu yang diinterpiu TEMPO bulan lalu masih bersyukur. Di Manila mereka bisa hidup berdagang kecil-kecilan atau sebagai pedagang kaki-5. Pemerintahan Marcos, misalnya, menutup Jalan Raja Sulaeman--500 meter dari kompleks itu--khusus untuk tempat warganegara asal Selatan berdagang. Di Raja Sulaeman Market (nama pasar itu) sekarang terdapat hampir 200 kios kecil, tempat mereka berjualan bahan kebutuhan sehari-hari beras tekstil atau kelontong. "Di sini kami bisa berdagang untuk melanjutkan hidup. Tapi di Selatan, hanya dor . . . dor . . . dor. Bagaimana bisa turun ke sawah?" cerita Pangandaman, 43 tahun, wanita yang memimpin kelompok pedagang di Raja Sulaeman Market. Selain di situ penghuni kompleks Quiapo menjejali kaki-lima Quezon Boulevard, Mabini Street dan bagian kota lainnya. Yang lain jadi sopir taksi, atau penyapu jalan, atau pengemis. "Kerja apa saja untuk hidup, asal jangan jadi pelacur," ujar Maliangka, 50 tahun, pemuka masyarakat di situ, bekas camat dari Provinsi Lanao Del Sur, Mindanao. Problem pengungsi juga dialami kotakota di Selatan. Marawy City di Provinsi Lanao Del Sur, misalnya, sebelum diumumkannya Undang-Undang Daurat (Martial Law) oleh Marcos, 21 September 1972, (dengan alasan kerusuhan Moro itu), hanya berpenduduk sekitar 50.000. Meskipun sudah banyak yang mengungsi ke Manila, jumlah penduduk Marawy sekarang naik menjadi lebih 70.000. Penduduk desa sekelilingnya menumpuk di kota itu. "Desa-desa tidak aman, " kata Mousing Macabando, seorang kepala kampung di Marawy. Selain bahaya pertempuran, sering ada perampokan di desa. Polisi tak berani menjaga sampai ke desa daerah Selatan --takut dijebak gerilyawan Moro. Banyak daerah tak bertuan di sana. Bahkan kota pun tak aman. Pemerintah akhir Desember pernah mengerahkan satu batalion tentara dan empat helikopter untuk memburu komplotan perampok bank di Central Mindanao. Selain mengambil uang dari tiga bank, perampok sempat menyandera 11 pegawai bank, sebagian wanita. Suatu bukti betapa rawannya daerah itu. "Kapan negeri kami aman? Siapa tahu," lanjut lnik yang kini jadi nelayan di kamp Kinarot. Juga itu tak terjawab oleh Menteri Urusan Islam Filipina, Laksamana Romulo Espaldon yang sampai tahun 1980 jadi Panglima Daerah Selatan yang rusuh itu." Saya pikir anda jangan tanyakan itu dulu," katanya kepada TEMPO, "tapi sekarang sudah lebih 40.000 pemberontak yang menyerah." Espaldon--seperti bekas pemberontak lainnya yang sekarang bekerja sama dengan Marcos, Abul Khayr Alonto -menaksir sisa Moro yang masih di hutan sekitar 30.000 orang. "Dan mereka sudah berantakan, tanpa pimpinan," tambah Alonto. Pendapat itu segera dibantah oleh Rasyid Zampaco, 44 tahun, bekas Walikota Marawy City yang sekarang menjadi pedagang kaya dan dikenal akrab dengan gerilyawan Moro. Benar Nur Misuari berada di Libya dan Hasyim Selamat di Arab Saudi, "tapi pimpinan mereka tetap ada, kata Zampaco. MNLF sekarang terpecah dua: kelompok Misuari yang umumnya terdiri dari orang muda yang lebih ekstrim menuntut Mindanao menjadi negara yang berdiri sendiri, dan kelompok Hasyim Selamat yang lebih moderat menuntut suatu otonomi penuh bagi Mindanao. "Tapi menghadapi tentara Marcos, mereka bersatu," kata Zampaco Di gunung-gunung di Mindanao, kelompok Misuari dipimpin oleh Toni Al Haj dan Gaffar, sedang kelompok Hasyim Selamat dipimpin oleh Saleh Raskal dan Abdul Azis. Dua nama belakangan ini pemuda lulusan Al Azhar Mesir, mengorganisasikan diri kembali. Zampaco konon September lalu naik ke gunung di pinggir Danau Lanao, tempat markas MNLF di Provinsi Lanao Del Sur untuk menjemput Van Victor, warganegara Amerika yang diculik Moro. Pergi bersama Mustafa Dreiza, Dubes Libya untuk Filipina, dia berhasil menyelamatkan Van Victor, missionaris Protestan di Marawy City. Di Provinsi Lanao Del Sur saja kekuatan Moro, menurut Zampaco, sedikitnya 30.000 orang bersenjata. Di seluruh Mindanao sekarang, Zampaco menaksir jumlah Moro paling tidak 70.000-an. Tokoh mereka yang sudah menyerah seperti Alonto dan Jamil Lukman diberi jabatan oleh Marcos, "namun tak sedikit anggotanya yang kembali lagi naik gunung," kata Zampaco. Kenyataan di daerah Selatan, seperti yang disaksikan Amran Nasution dari TEMPO akhir Desember lalu, memperkuat apa yang dikatakan Zampaco. Jalan raya (higway) Cagayan de Oro yang menghubungkan lapangan terbang di Mindanao Utara ke pedalaman sepanjang 300 km itu hanya terasa mulus dilewati dengan taksi sampai Baloi, daerah perbatasan penduduk Islam-Kristen. Memasuki daerah Islam sampai ke Marawy City jalan sepi yang hanya 50-an km itu, perjalanan mobil memakan waktu 2 jam lebih. Setiap 5 - 6 km, ada saja pencegatan di pos militer. Jalan dirintangai oleh palang kayu dengan kawat berduri. Seisi mobil diperiksa dan diudak-aduk dengan sikap yang kasar. Di setiap pencegatan itu, tiga atau empat tentara memeriksa mobil dengan senjata otomatis terkokang, sementara dua atau tiga tentara lainnya tiarap di lubang perlindungan dengan mitraliur yang terarah ke mobil. Kian dekat ke Marawy City, pencegatan itu bertambah sering, dan di kiri-kanan jalan bisa terlihat asrama darurat militer berbentuk kemah terpal atau gubuk. Marawy City, yang terletak di tepi Danau Lanao yang indah bernenduduk 70.000 jiwa, terkenal karena Mindanao State University--dulu universitas ke dua terbesar di Filipina setelah University of Philippine (di Manila), sungguh sedang dilanda perang. Di banyak sudut kota itu kelihatan pos militer yang dilindungi benteng karung pasir. Setiap rumah penduduk punya lubang perlindungan. Siang hari penduduk sibuk dengan kegiatan sehari-hari, tapi sesudah magrib seisi kota senyap dan jalan lengang, keheningan malam hanya dipecahkan raungan jip tentara yang meronda. Entah bila akan aman, seperti disiarkan oleh Arabia: The Islamic World Review (Desember 81). Menghadapi pemberontakan Moro dan Komunis (New People's Army--NPA), menurut majalah itu, rezim Marcos mengerahkan lebih 60% dari tentaranya yang berkekuatan seperempat juta itu ke Mindanao. Ditaksir sejak (Martial Law) 1972 sudah 70.000 orang yang terbunuh di Mindanao saja, sebagian besar penduduk sipil. Juga telah tewas Jenderal Teodulfo Bautista bersama 34 perwira dari angkatan bersenjata Filipina. Mereka dibunuh Moro dalam suatu sergapan di Jolo, 3 tahun lalu. Belakangan ini MNLF malah menunjukkan kegiatan yang meningkat. Pertengahan Desember, mereka berani menyerang pos-pos tentara di pusat Marawy City. Di Tawi-Tawi, kepulauan di selatan Mindanao, awal Januari ini Angkatan Laut Filipina terlibat pertempuran laut dengan jam dengan perahu Moro. Perairan di sekitar Mindanao pun sudah agak kurang aman bagi kapal niaga. Hegg, kapal Jepang (5307 ton) yang membawa methanol -- bahan kimia yang mudah terbakar--Sabtu lalu diserang oleh dua pesawat tempur mirip T-28D milik AU-Filipina. Hegg sedang berlayar di laut bebas 25 mil di sebelah timur Mindanao, dari Singapura menuju Pusan, Korea Selatan. Kapal Jepang itu ditembus tujuh peluru dan terbakar selama 15 menit tapi akhirnya selamat. Hanya seorang awaknya terluka berat. Ada kemungkinan AU Filipina menyangka Hegg suatu kapal pemberontak yang sedang membawa keperluan Moro. Menurut Zampaco, kegiatan MNLF meningkat seteiah Agustus tahun lalu dua tokoh MNLF, Nur Misuari dan Hasyim Selamat mengadakan pertemuan dengan bekas Senator Aquino (musuh Marcos yang tinggal di Amerika) di Jeddah. Di Arab Saudi, bertemu dengan Raja Khalid, Aquino konon sempat berkata, "Saya bukan muslim, tapi saya tidak membunuhi kaum muslim seperti yang dilakukan Marcos." Namun Pemerintahan Marcos cukup pandai merebut simpati Arab Saudi. Sedikitnya 40 % dari kebutuhan minyak Filipina adalah impor dari Arab Saudi. Dan impor itu selalu lancar. Marcos menyatakan terimakasihnya pada Pangeran Mahkota Fahd ketika keduanya bertemu di konperensi puncak (energi) Cancun. Berbeda dengan desas-desus orang, kata Marcos, Arab Saudi ternyata tidak pernah membantu MNLF. MNLF agak sulit menerima saluran bantuan Libya lewat Sabah setelah bertukarnya pemerintahan di sana. "Tapi mereka tak kekurangan biaya, semua penduduk membantu mereka kapan saja mereka perlu duit dan beras," kata Zampaco.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus