UMAR Kayam, 58 tahun, merasa terpukul. Bersama 33 anggota kelompok sandiwara rakyat Jeumpa Aceh, yang dipimpinnya, ia kini "terdampar" di sebuah sekolah di Desa Ketapang, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Demi keamanan menjelang pemilu, kelompok drama tradisional ini tergusur karena dilarang menjajakan pertunjukannya di Kabupaten Pidie -- suatu daerah yang dianggap basah oleh para pengamen. Larangan ini muncul dalam bentuk Surat Edaran Bupati Pidie akhir Desember lalu. Tak ada istilah "demi pemilu" tercantum di situ. "Tapi saya tahu arahnya ke sana," kata Umar Kayam. Gara-gara surat edaran ini sebuah Vespa miliknya harus dijual untuk menghidupi grupnya. Selain sandiwara rakyat, dua jenis kesenian tradisional lain: seudati dan kribueng abi, juga dilarang dipertunjukkan di Kabupaten Pidie "karena desakan para pemuka masyarakat." Alasan Pemda Pidie, ketiga macam kesenian itu mengganggu kelanggengan keamanan: banyak perkelahian timbul dan ada protes dari para ulama. Sehingga kegelisahan muncul, bersamaan dengan menjauhnya ketenteraman anggota masyarakat kerena terus bergadang bermalam-malam. Benarkah larangan itu berkaitan dengan pemilu? "Tidak. Karena waktunya yang dekat mungkin isu itu timbul," kata Nurdin Abdur Rahman, Bupati Kabupaten Pidie. Ia mengakui, keputusan itu diambilnya dengan perasaan berat dan bersumber dari adanya kegelisahan dalam masyarakat. "Saya sudah mendengar dan mempertimbangkan dari segala segi," kata bupati yang bekas Ketua Presidium KAMI Aceh itu. Ketiga jenis hiburan itu antara lain dianggap sudah bergeser dari ciri aslinya. Menurut seorang pejabat kabupaten, seudati (sejenis tarian dan nyanyian tanpa iringan instrumen musik) dalam syairnya sudah dimasuki unsur dangdut sedang dalam kribueng abi (sejenis tarian dan nyanyian yang diiringi biola) unsur pop sudah begitu dominan. "Kini sudah salah sama sekali. Padahal dua kesenian ini khas Aceh. Daripada merusak lebih baik dihentikan saja," ujarnya. Alasan ini ditolak oleh Ceh Main, pemain seudati dari Pidie. "Kalaupun unsur dangdut menyemarakkan seudati itu hanya sementara. Dan masih bisa diarahkan, bukan harus dilarang," ujarnya. Syamsul Kahar dari Badan Koordidinasi Kebudayaan Nasional Indonesia (BKKNI) Aceh mendukung pendapat ini. "BKKNI sudah berusaha mencairkan larangan itu. Tapi menghadapi pemilu kami terbentur," kata Syamsul. Menurut suatu sumber, tiga jenis kesenian ini dilarang karena dikhawatirkan bisa menggoyahkan posisi Golkar dalam pemilu mendatan. "Ada suara yang mengatakan kesenian itu menimbulkan maksiat," ujar sumber tadi. Tampaknya keluarnya larangan ini memang berkaitan dengan pemilu. Sebab Bupati Nurdin sendiri mengakui larangan ini bersifat sementara. Ia menjanjikan selesai pemilu ketiga jenis kesenian ini boleh manggung lagi. Beberapa seniman ada juga yang memaklumi keputusan Bupati Nurdin. Tapi Umar Kayam menganggap alasan demi pemilu ini terlalu dicari-cari. "Padahal dalam kampanye Pemilu 1977 grup kami dipakai sebagai media hiburan Golkar," kata Umar yang pernah mengikuti penataran P4 ini sambil memperlihatkan setumpuk surat penghargaan. Situasi menjelang pemilu di Aceh, khususnya Pidie, tenang. Pada Pemilu 1977 Golkar memang kalah di Provinsi Aceh. Tapi di Kabupaten Pidie Golkar keluar sebagai pemenang. Banyak yang menduga, dalam Pemilu 1982 ini Golkar akan tetap menang di kabupaten ini, tanpa perlu melarang sementara itu sandiwara rakyat, seudati dan kribueng abi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini