SAMPAI bentrokan terjadi Selasa, 19 November lampau, Kampung Memali masih merupakan titik tak dikenal dalam peta Negara Bagian Kedah. Ketika titik itu tiba-tiba "meledak", Distrik Baling ikut terguncang, dan Wakil PM Datuk Musa Hitam bicara tentang "noda hitam dalam sejarah Malaysia". Noda hitam, yang kemudian lebih sering disebut "tragedi Baling", minta korban 18 orang (4 di antaranya polisi) tewas, dan 29 luka-luka. Insiden itu, yang dikatakan terburuk sesudah kerusuhan rasial tahun 1969, melibatkan 200 polisi bertarung menghadapi 400 warga sipil, termasuk ke dalamnya 27 wanita dan 17 remaja tanggung. Siapa mereka? Datuk Musa menyebut mereka "penjenayah" (penjahat), wartawan Barat memberi julukan Islam fundamentalis, sedangkan koran lokal memberi cap ekstremis. Tapi partai oposisi PAS (Parti Islam se-Malaysia) menolak istilah penjahat itu. Dalam pernyataan pers, tiga hari setelah bentrokan PAS bahkan menuduh UMNO, partai yang kini berkuasa, mendalangi aksi pembersihan yang dilancarkan polisi di Memali. "Kami menyesalkan tindak kekerasan yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi tuntutan politik UMNO, dan kepentingan pucuk pimpinannya," ujar Ketua PAS Yusof Rawa. Dalam pernyataan itu, PAS menyerukan agar 160 orang yang kini ditahan segera di bebaskan atau, jika tidak, disalurkan lewat proses pengadilan. Dengan tuduhan itu, tak pelak lagi, PAS sudah melambaikan kapak peperangan ke arah UMNO. Sekalipun begitu, Datuk Musa, yang juga berfungsi sebagai Wakil Ketua UMNO, tampak berusaha menahan diri. Tak langsung menjawab tuduhan PAS, ia memperingatkan semua pihak, khususnya partai politik, agar tidak membesar-besarkan kasus Baling. Secara tersirat ditegaskannya bahwa pemerintah tidak berada dalam posisi untuk dituntut pertanggungjawabannya dalam pertumpahan darah itu. Lebih jauh ia mengimbau rakyat Malaysia agar tidak menentang tertib hukum kalau tidak mau terjerumus dalam anarki. Dikatakannya, memang ada orang-orang berkedok agama dan politik yang tidak mengindahkan keselamatan negara asalkan bisa merebut kekuasaan. Teguran seperti itu agaknya terlalu keras untuk satu partai gurem seperti PAS, yang hanya merebut satu kursi dalam Parlemen. Tapi dalam satu tahun terakhir, UMNO tampak banyak menghabiskan tenaga untuk melayani PAS. Isu kafir pada November 1984, misalnya, memuncak dalam tantangan berdebat di televisi antara kedua partai itu, yang kemudian batal karena Yang Dipertuan Agung akhirnya turun tangan. Tragedi Baling yang baru lewat, persis seperti isu kafir setahun silam, besar kemungkinan akan membuka konfrontasi baru antara kedua partai tersebut menghadapi pemilu pertengahan tahun depan. PAS dapat memanfaatkan noda Baling itu nanti untuk memojokkan UMNO. Namun, jauh sebelum terpojok, Datuk Musa dalam keterangan persnya menjelaskan bahwa bentrokan Memali sebenarnya bermula pada ceramah PAS di kampung itu, 20 Oktober silam. Di situ hadir Ibrahim Mahmud alias Ibrahim Libya bersama 20 pengikutnya. Membawa pedang dan parang, mereka lalu mengacung-acungkan senjata tajam itu seraya memekikkan: "Allahuakbar". Bicara soal senjata, disebut juga kelancangan orang-orang itu yang, di katakan, mengeroyok seorang komandan polisi, tidak jauh dari rumah Ibrahim Libya, pada hari yang sama. Sejak itu polisi mengawasi Uztad Mei, begitu orang kampung memanggil Ibrahim, mematai-matai madrasahnya, dan mencurigai para pengikutnya. Sebagai konsekuensi lanjut, polisi mempersiapkan serangan ke rumah uztad, di tengah rimbun pohon kopi, yang sekelilingnya dipagar dengan bambu runcing serta kawat berduri, dan siang malam dikawal apa yang disebut penduduk "pasukan berpedang". Bergerak sejak Senin petang, polisi menyebar dan siap menguasai medan, pada pagi esoknya. Tepat pukul 8.30, polisi melancarkan operasi pembersihan di saat anak-anak madrasah bersiap untuk makan pagi. Menurut laporan pembantu TEMPO Ekram Attamimi, pengepungan polisi dilakukan dari tiga penjuru. Kelompok pertama bertugas mengawasi jalan keluar masuk daerah sasaran, yakni rumah Ibrahim. Kelompok kedua, yang terdiri atas unit FRU (Unit Cadangan Federal), yang terlatih memadamkan huru-hara, bergerak dari utara. Sedangkan kelompok ketiga, yakni PPH (Pasukan Polisi Hutan), setingkat dengan Brimob di sini, bertugas menyergap dari selatan. Ada kesan, polisi seperti mau unjuk kekuatan, setidaknya dengan mengerahkan 10 kendaraan lapis baja. Apa yang terjadi kemudian agak meleset dari perhitungan polisi. Unjuk kekuatan itu tidak membuat Ibrahim dan 200 pengikutnya gentar. Diiring pekik "Allahu akbar", yang diteriakkan wanita dan anak-anak, justru mereka yang mengambil inisiatif menyerang. Pada detik-detik pertama, dua peluru, yang ditembakkan dari senapan patah (senapan berburu) di balik rimbun pohon kopi, telah menewaskan seorang inspektur dan seorang sersan polisi, serta melukai seorang kopral. Pada saat bersamaan, satuan PPH diserang wanita dan para remaja yang bersenjatakan bambu runcing. Serangan bisa ditangkis, tapi polisi terpaksa mundur untuk menyusun taktik baru. Ketika polisi, yang berada pada posisi 50 meter di seberang rumah Ibrahim, berusaha maju lagi, mereka dihujani panah beracun. Beberapa "penjenayah" langsung saja menyerbu dengan pedang dan parang. Polisi, yang geraknya tertahan karena lemparan bom molotov, lalu mengirim dua panser. Tawaran berunding akhirnya disampaikan, tapi Ibrahim, yang tahu bahwa ia terkepung, menolak untuk menyerah. Sesudah empat jam menunggu polisi, yang kabarnya dilarang melakukan kekerasan, akhirnya memutuskan untuk mendobrak. Keputusan dikeluarkan kepala polisi Malaysia Tan Sri Mohammed Amin yang diterbangkan dengan heli hari itu juga ke Baling. Tepat pukul 12.15 satuan PPH, yang dihujani bom molotov, katapel, dan senapan patah, menerobos ke dalam. Mereka memisahkan perisai wanita dan anak-anak dari kaum pria, dengan risiko tujuh polisi luka-luka berat. Kecamuk dalam "benteng" Ibrahim mencapai puncak dalam satu "perang tanding" yang sangat tidak seimbang. Ibrahim berikut 13 anak buahnya di temukan tewas, sementara yang luka 29 orang - 20 di antaranya polisi. Ketika mereka dibawa ke rumah sakit, saksi mata menceritakan bagaimana lantai bersimbah darah. Dari pihak perusuh polisi menyita sepucuk senjata api dan berbagai senjata tajam: 34 parang panjang, 38 pedang, 40 golok, 4 kapak, 1 tombak, 19 bambu runcing, 18 anak panah, 60 katapel, 13 peluru tajam, 13 bom molotov, dan beberapa senapan patah. Bentrokan Memali terjadi sehari sebelum PM Mahathir Mohammad memulai kunjungannya ke RRC. Ibu kota Kuala Lumpur mendengar tentang peristiwa itu lewat desas-desus yang dibiarkan berkembang sampai Datuk Musa Hitam memberi penjelasan di depan Parlemen, Rabu malam. Datuk Musa segera memberlakukan jam malam di seluruh Distrik Baling dari pukul 15.00 s/d pukul 05.00. Tiga hari kemudian jam malam dibatasi dari pukul 18.00 s/d pukul 05.00. Larangan berkumpul dan berceramah diberlakukan di Kelantan, Trengganu, Kedah, Perlis, Perak Utara, dan Pahang. Akibatnya, UMNO, yang sudah menjadwalkan lebih dari 1.000 ceramah, juga merasa dirugikan. Terletak 360 km di utara Kuala Lumpur, Kampung Memali kini tak ubahnya negeri yang dikalahkan garuda. Tiga truk polisi diparkir di sisi jalan, berseberangan dengan rumah Ibrahim, yang tiga hari lalu jadi kancah peperangan. Tidak ada lagi pasukan berpedang di sana, begitu laporan wartawan TEMPO Zakaria M. Passe mengutip keterangan penduduk dari kampung tetangga Bencak Sawa. Kecuali sejumlah besar polisi yang bertugas mengamankan Memali, hanya satu dua pria yang tersisa di kampung dengan 45 buah rumah itu. Wanita dan anak-anak baru muncul kalau bantuan pangan datang dari Dinas Sosial Baling. Sebagaimana kampung-kampung miskin di distrik itu, Memali tak ubahnya pojok suram terlupakan, sampai pada suatu hari di tahun 1983, Ibrahim Libya datang untuk bermukim di sana. Sesudah dua kali gagal memenangkan pemilu sebagai calon PAS, Ibrahim, yang sebelumnya bekerja di kantor PM di Kuala Lumpur, beralih haluan ke bidang pendidikan. Ia mendirikan madrasah yang segera menarik minat orang sekampung, di samping masih selalu diminta berdakwah. Ia memang bukan tipe penceramah yang disenangi pemerintah, tapi juga tidak mengajarkan agama menyimpang seperti dituduhkan sebagian orang. Dalam pandangan Sekjen PAS Hassan Sukhri, Ibrahim juga tidak menyebarkan paham sosialis dari Libya, terutama karena Ibrahim terkenal "sangat kuat memegang akidah". Adapun Libya lekat pada namanya, karena Ibrahim, kelahiran Memali, setamat kuliah di bidang ushuluddin pada Al-Azhar, Mesir, melanjutkan studi ke Libya. Di situ, ia belajar di jurusan takhassus. Sepulang ke tanah air, 1974, ia langsung bekerja di jawatan agama bagian dakwah, "malah sempat muncul di tv". Selama itu, ia memperoleh sumbangan M$ 1.000 sebulan, yang kemudian terhenti. Ia sempat juga bekerja di kantor PM, sampai pada tahun 1978, ketika terjun ke politik sebagai wakil PAS dalam pemilu. Dua kali mencoba pemilu dan dua kali kalah tipis, Ibrahim akhirnya merintis karier sebagai pendidik di Memali. Hassan Sukhri mengakui bahwa uztad ini tak segan-segan menentang kebijaksanaan pemerintah. Komitmennya pada negara Islam juga sangat menonjol, dan mungkin karena itu ia pernah diingatkan agar tidak menghasut rakyat. Lalu, bahaya apa yang bisa disebarkan Ibrahim? Negara Islam? Mungkin saja, karena gagasan besar ini selalu punya daya tarik kuat di kalangan penduduk ekonomi lemah, di Distrik Baling umpamanya, yang rata-rata bekerja sebagai penderes getah dengan pendapatan sekitar M$ 300 per tahun. Tapi Datuk Musa Hitam, seperti yang dilaporkan wartawan TEMPO Bambang Harymurti dari Kuala Lumpur, berkali-kali menandaskan bahwa kasus Ibrahim tidak ada kaitannya dengan ISA. Dosanya terletak di bidang kriminalitas, terutama karena melindungi 34 buron di rumahnya. Penyerbuan polisi ke situ juga dengan alasan berbau kejahatan, seperti membawa senjata, menggunakannya dalam kerusuhan, di samping merintangi polisi menjalankan tugas. "Bagi pemerintah, peristiwa Memali cuma kejadian kriminalitas biasa," tutur seorang pejabat di Kuala Lumpur. Sumber ini, yang menolak disebut namanya, cenderung berpendapat bahwa pemerintah akan meredam tragedi Baling sedemikian rupa, antara lain dengan memisahkan unsur-unsur agama dan politiknya. Bertolak dari sini dianggapnya wajar jika dalam kasus Ibrahim, ISA tidak digunakan sama sekali. Tapi yang dipermasalahkan orang bukan ISA, melainkan cara pemerintah menangani kasus Baling. Jika benar soalnya murni kriminalitas, mengapa harus menunggu lama untuk menindak buron di rumah Man Libya? Lalu, andai kata sasaran utama adalah uztad itu, mengapa tidak dia saja yang di bereskan? Banyak yang berpendapat bahwa operasi pembersihan, Selasa pekan silam itu, bisa dilakukan lebih taktis, tanpa misalnya melibatkan anak-anak dan wanita. Namun, tragedi Baling akhirnya, di luar perhitungan pemerintah barangkali, hanya akan melambungkan Ibrahim sebagai martir. Setidaknya di mata 400 penduduk Memali dan sekitarnya, Ibrahim dan 13 pengikutnya dinyatakan mati syahid. Jenazah mereka, tanpa dikafani, langsung dimakamkan di Parit Panjang, dengan batu nisan beraksara Arab dan tulisan syahid di bawahnya. Menurut laporan Zakaria, 40 orang berpedang, banyak beserban dengan misai dan janggut panjang, mengawal makam pemimpin mereka itu dalam sikap khidmat, tapi waspada. Tiap orang yang datang mendekat dicurigai. Untuk daerah terpencil seperti Baling, tokoh seperti Ibrahim Libya, mungkin, lebih memenuhi syarat untuk menjadi pahlawan ketimbang selusin pemimpin lain yang bicara tentang hal-hal yang sulit mereka cerna dengan pikiran sederhana. Terlepas dari gejala pemujaan yang terlihat di Parit Panjang itu, Baling sebelum ini sudah mencatat dua peristiwa historis lainnya. Dua puluh tahun silam, PM Malaysia pertama Tunku Abdulrahman datang ke Baling untuk bertemu dengan Chin Peng, pemimpin Partai Komunis Malaysia. Tapi upayanya untuk mengakhiri pemberontakan komunis gagal, dan Chin Peng lari kembali masuk hutan. Kemudian, tatkala kalender tepat menunjuk tanggal 19 November 1974, tepat 11 tahun sebelum bentrokan Memali, 1.000 penderes getah melancarkan aksi protes, juga di Distrik Baling. Dalam aksi ini ikut berperan Anwar Ibrahim, tokoh mahasiswa yang kemudian meneruskan aksi itu di Kuala Lumpur. Di sini Anwar ditangkap dan meringkuk di penjara selama 22 bulan. Tidak jelas apakah Anwar Ibrahim, sekarang menjabat menteri pertanian, melihat tamsil tertentu dari peristiwa historis yang berulang di Baling. Yang pasti, dalam pandangan Dr. Jomo Kwame Sundaram, lulusan Harvard, pengajar ekonomi pada Universitas Malaya, ada kaitan antara tragedi Baling dan harga karet yang merosot. Ia pun berpesan agar nasib petani kecil, meliputi 25% dari 15,5 juta penduduk Malaysia, harus diperhatikan. Dikatakannya, nasib petani bisa diperingan misalnya dengan pembagian tanah yang lebih adil. Sekalipun begitu, Sundaram yakin kesulitan ekonomi tidak dengan sendiri-nya kelak mencetak banyak kasus seperti Baling. "Mengingat banyaknya korban jatuh, orang Melayu akan segan melakukannya lagi," tambahnya. Barangkali memang itulah yang diinginkan pemerintah. Isma Sawitri Laporan Ekram Attamimi (Kuala Lumpur) & Zakaria Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini