TUDUHAN murtad kini tak hanya disandang Salman Rushdie, pengarang Ayat-Ayat Setan. Dr. Nasser Hamid Razaq, 50 tahun, seorang asisten guru besar kesusastraan di Universitas Kairo, Mesir, juga dituduh murtad oleh sementara kalangan di Mesir. Abu Zeid, demikian panggilan populernya, mula-mula dicap murtad oleh Prof. Dr. Abdel Sabour Shaheen, guru besar dari Universitas Islam Darul Ulum, Mesir, dalam khotbah jumatnya di Mesjid Amr bin al-Ash. Shaheen adalah salah seorang tim penguji Zeid dalam promosi guru besar. Berdasarkan kajiannya terhadap 13 buku dan karangan ilmiah yang diajukan Zeid untuk memperoleh status guru besar, Shaheen menyimpulkan pemikiran Zeid murtad. Ini didukung oleh dua guru besar lain, anggota dewan penguji. Padahal, para ulama fikih sangat ketat menentukan batasan kemurtadan seseorang. Quran sendiri lewat Surat an-Nahl ayat 106 menegaskan, ''Orang mukmin yang karena dipaksa orang lain (diancam akan dibunuh) menyatakan kekafiran lewat mulutnya, tidak dipandang kafir (murtad) jika dalam hatinya tetap ada iman.'' Soalnya, kemurtadan tak hanya mengakibatkan hukuman bagi si murtad. Para ahli fikih berpendapat, jika seorang suami atau istri keluar dari Islam (murtad), otomatis perkawinan mereka faskh alias batal tanpa perlu melalui talak. Yang lebih berat, seorang yang murtad diancaman hukuman mati. Yang dipakai Shaheen untuk menuduh Zeid, misalnya, buku karya Zeid berjudul Al Imam El Shafi'i wa Ta'sis El Ideolojiyyat El Wasitiyah (Imam Syafii dan Pelembagaan Ideologi Penengah). Dalam buku setebal 110 halaman itu, menurut Shaheen, Abu Zeid mengkritik Imam Syafii, salah seorang imam mazhab, karena terlalu sering menggunakan naql (dalil Quran dan hadis) ketimbang akal dalam menyelesaikan masalah agama. Bahkan Abu Zeid, menurut Shaheen, menganjurkan agar umat meninggalkan sejumlah naql karena ''menghambat perjalanan pemikiran umat dewasa ini''. Juga dalam buku Naqd-ul-Khitaaby El Diny (Kritik terhadap Seruan Perintah Agama), menurut Shaheen, Abu Zeid mengkritik soal kepercayaan kepada yang gaib. Padahal, dalam Islam, kata Shaheen, percaya kepada yang gaib seperti Tuhan Maha Pencipta, malaikat, misalnya. Tentu, Abu Zeid merasa tak puas. ''Saya menganggap penilaian tim yang dipimpin oleh Profesor Shaheen itu seperti mengadili kebebasan pemikiran,'' kata dosen yang berbadan subur ini. Kebebasan pemikiran, bagi Abu Zeid, merupakan warisan penting umat manusia. ''Kita diberi akal untuk berpikir, bukan untuk selalu mengadopsi pikiran jadi warisan orang-orang dahulu,'' katanya kepada TEMPO. Kasus Abu Zeid kini menjadi pembicaraan nasional di Mesir. Tak enaknya, pembicaraan lalu keluar dari konteks akademis. Itu terjadi setelah tabloid mingguan Alliwa, edisi 14 April, yang terbit di Kairo, mengupas bagaimana Islam memperlakukan umatnya yang murtad. Lalu kelompok Islam militan, atau yang dianggap demikian, menyerang Zeid tak hanya dengan kata-kata. Selain tuntutan agar istrinya minta cerai dan seorang pengacara sudah mengajukan ini ke pengadilan sejak April lalu Abu Zeid selalu mengambil jalan yang berbeda-beda bila pergi dan pulang dari tempat kerjanya. Ia takut diincar oleh aktivis Islam militan. Ia pun selalu waswas bila ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ibtisaam Younes, istri Abu Zeid yang sedang hamil, sangat marah. ''Saya tidak akan menyerah,'' kata guru besar bahasa Perancis itu. Padahal, segala sesuatunya masih dalam penelitian. Tim ahli dari Universitas Al Azhar diberi tugas oleh pemerintah Kairo untuk meneliti buku-buku Zeid, dan November nanti hasilnya akan diungkapkan: layak dicap murtadkah dia, atau tidak. Julizar Kasiri (Jakarta) dan DB (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini