SELINTAS rendah empat kali seraya menjatuhkan bom bertubi-tubi, itulah "mission impossible" yang telah dengan sukses dilancarkan Israel, Selasa pekan lalu. Serangan maut selama enam menit ini menghantam markas besar PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Borj Cedria, 30 km selatan Kota Tunis. Tidak seluruh markas PLO yang berlantai enam itu hancur. Tapi 47 orang dikabarkan tewas, 65 luka-luka, dan sebuah kawah lebar tampak menganga di permukaan tanah. Pemimpin PLO Yasser Arafat lolos darisergapan maut secara kebetulan. Kunjungan ke markas pagi itu dibatalkannya tiba-tiba lalu ia melakukan jogging. Sekalipun begitu, Israel tak urung menepuk dada. Tel Aviv mengeluarkan komunike khusus tentang serangan udara yang sukses ini. Kastaf Angkatan Bersenjata Moshe Levy terus terang mengakui bahwa pihak inteligen Israel tahu persis tentang adanya rencana kunjungan Arafat ke markas PLO pada Selasa pagi. Lalu sumber militer Israel yang lain menambahkan bahwa jet tempur yang terbang pulang pergi sejauh 4.800 km telah mengisi bahan bakar di udara. Tak dapat tidak dunia geger. Israel memang unggul dalam operasi jarak jauh (Operasi Entebbe, Juni 1976 Operasi Nuklir Irak, Juli 1981), tapi prestasi militernya kali ini sunggub cemerlang. Lebih dari itu, yang membuat dunia menggigil adalah kenyataan bahwa Israel telah melakukannya dengan kalkulasi dingin, tanpa pertimbangan kemanusiaan sedikit pun. Konon, semua menteri dalam Kabinet Shimon Peres menyetujui agresi itu, kecuali Menteri Negara Ezer Weizman. Hal ini juga agaknya yang telah menggerakkan seluruh dunia, kecuali AS, untuk mengecam keras Israel. Tel Aviv tampak tidak tergugah sampai seorang Yahudi terbunuh di kawasan tengah Israel dan dua pejalan kaki ditemukan tewas di Tepi Barat, Ahad lalu. Dengan gampang polisi Israel menuding gerilyawan PLO sebagai pelaku pembunuhan, apalagi karena ada seorang pria Palestina mengaku bertanggung jawab atas nama Pasukan 17, satu komando elite dalam PLO. Yang terjadi di Jazirah Sinai lain lagi. Seorang polisi Mesir, begitu dikabarkan, telah dengan kalap menembaki warga Israel yang berlibur akhir pekan di sana. Menurut Presiden Mesir Husni Mubarak, polisi itu kehilangan pikiran warasnya alias gila. Keterangan resmi ini diterima baik pihak Israel, tapi Menteri Kesehatan Mordechai Gur tetap menyesalkan perlakuan tak pantas terhadap korban. Katanya, jenazah empat anak, dua wanita, dan seorang pria telah dibiarkan tak terurus sekitar lima jam. Sementara itu, agresi Israel tetap disorot terus. Arafat, yang sejak mula mencurigai keterlibatan AS, Ahad lalu mengajukan bukti-bukti. Washington, katanya, menyediakan foto satelit kawasan Hamman, tempat lokasi markas PLO, kepada Israel. "Pada saya ada sejumlah dokumen yang memastikan adanya persekongkolan Israel dan AS dalam serangan udara itu," demikian tuduh Arafat lewat harian Al-Ittihad terbitan Abu Dhabi. Bahkan ia mengetahui nama pangkalan militer di Laut Tengah yang digunakan AS untuk menyuplai pesawat tanki Israel. Arafat menandaskan bahwa rencana agresi sudah dibocorkan jauh-jauh hari oleh Tel Aviv kepada Washington. Adanya persekongkolan itu telah dibantah AS, justru beberapa hari sebelum Arafat melancarkan tuduhan. "Kami memberi tahu AS dua jam setelah pesawat Israel melakukan pengeboman," kata Menhan Yitzhak Rabin menjelaskan lewat tv. Sementara itu, Pentagon dan Menhan Caspar Weinberger merisaukan penggunaan 6-8 pengebom tempur F-15 Eagle buatan AS untuk agresi Israel -sesuai dengan larangan UU Pengawasan Ekspor Senjata Amerika. Semua senjata AS, kata mereka, hanya boleh digunakan untuk pertahanan diri. Tapi soal pertahanan diri bisa saja dijungkirbalikkan. Adalah untuk mempertahankan diri juga Israel mengebom reaktor nuklir Irak yang sedang dibangun, pada 4 Juli 1981. Untuk itu dikerahkan sejumlah pengebom tempur F-15 dan F-16. Jika Pentagon berlaku munafik, maka Presiden Ronald Reagan tampak seperti orang yang keseleo lidah. Dalam sebuah jumpa pers, ia dengan mantap membenarkan hak Israel untuk membalas serangan teroris, tanpa menjelaskan siapa teroris yang dimaksud. Seluruh dunia terperanjat oleh sikap Reagan. Ketika ditanya apakah benar Israel memanfaatkan Armada ke-6 Amerika di Laut Tengah, sang presiden mengelak. "Saya tidak akan berkomentar tentang itu. Dan saya tidak mengetahui fakta-faktanya." Di satu pihak ada kecenderungan pada Israel untuk "melibatkan" Amerika, di pihak lain Presiden Reagan, khususnya, tidak siap menghadapi "jebakan" ini. Sementara itu, pers Amerika marah besar pada Israel yang telah merugikan posisi AS. Dalam tajuknya, harian The New York Times menilai gebrakan Israel ke markas PLO hanya membuktikan keunggulan teknologinya yang jauh lebih canggih dari diplomasinya. Dan gara-gara Israel, Amerika sampai merendahkan martabatnya, dengan cara membela tapi kemudian mengutuk. Mengapa kegawatan seperti itu bisa terjadi?. Padahal, sebelum Reagan "keseleo lidah" sudah ada pernyataan resmi yang disusun juru bicara Gedung Putih Larry Speakes. Intinya sama dengan pernyataan Reagan, tapi kata-katanya lebih lunak dan tersamar. Di samping itu, masih ada pernyataan Menlu AS George Shultz yang tidak membenarkan agresi Israel. "Kita harus jelas dalam sikap kita menentang tindak kekerasan dari mana pun datangnya," kata Shultz dalam sebuah jamuan makan siang dengan para menlu negara Teluk di New York. Di saat seluruh dunia mengecam, Presiden Tunisia Habib Borguiba secara khusus menyatakan keprihatinannya. Lewat Dubes AS di Tunis, Peter Sebastian, ia mendesak agar Amerika meninjau kembali sikapnya yang negatif itu. "AS telah melawan arus menentang hukum moral dan internasional, juga mempertajam pertentangan AS-Tunisia." Tak banyak yang dapat dilakukan Washington untuk meredakan kemarahan dunia dan kekecewaan Tunisia. Sebagai upaya tambal sulam, Larry Speakes mengeluarkan pernyataan baru. "Serangan Israel bisa dimengerti sebagai tindakan mengamankan diri. Tapi pengeboman Israel tak dapat dimaafkan, sedangkan penggunaan kekerasan patut dikecam." Pernyataan susulan ini kemudian diperkuat oleh sikap abstain AS di Dewan Keamanan PBB. Dalam pemungutan suara yang mengutuk Israel, AS, yang biasanya menggunakan hak veto, kali ini, di luar dugaan, abstain. Israel marah, tapi Washington tidak punya pilihan lain. Tunisia rupanya mengancam akan memutuskan hubungan kalau AS sampai memveto resolusi DK PBB. Dan jika ini terjadi, Washington akan kehilangan Tunisia, satu-satunya sekutu tepercaya di Afrika Utara. Isma Sawitri Laporan Reuter, Salim Said & P. Nasution (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini