Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Palestina Tanpa PLO

Alasan pemboman markas PLO di Tunisia sebagai balasan terhadap pasukan 17 PLO yang menewaskan warga Israel di larnaca terlalu dicari-cari. Perundingan terkatung-katung. Orang Palestina mulai bertindak sendiri-sendiri. (ln)

12 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA perundingan perdamaian sedang dirintis, mengapa Israel tiba-tiba menggempur PLO? Apakah dengan menghalau PLO dari Libanon, 1983 dan mencerai-beraikannya ke segala arah, israel belum juga merasa aman? Untuk ini PM Shimon Peres punya alasan sederhana. Dikatakannya, Pasukan 17, komando elite dari PLO, bertanggung jawab untuk pembunuhan tiga warga Israel di Larnaca, Siprus, dua pekan silam. Adapun serangan Israel ke markas PLO di Tunis tak lain sebagai tindakan balasan terhadap pembunuhan Larnaca itu. Balas dendam dalam konflik Israel-PLO memang soal biasa. Tapi alasan Peres kedengarannya terlalu dicari-cari. Pelaku pembantaian di Larnaca adalah Abdel al-Khatib, seorang Syria Abdel Hakkis Sasdo Khalifa, seorang Yordan dan Ian Davison, seorang Inggris. Karena itu, PLO cabang Siprus membantah tuduhan Israel sembari balas menuding Syria sebagai dalang di balik pembantaian. Tapi Tel Aviv berpegang pada keterangan Davison yang mengaku tergabung dalam Pasukan 17, komando elite PLO. Sementara itu, BBC dari Inggris mengungkapkan bahwa ketiga warga Israel yang terbunuh di Larnaca ternyata adalah agen-agen rahasia Mossad. Mereka adalah suami istri Ester dan Rubin Petruz, 53, dan Abrahan Avnery, 57. Andai kata sinyalemen BBC ini benar, bisa dimaklumi latar belakang kemarahan Israel. Boleh jadi mereka itu memang "kakap" yang selama ini berjasa besar. Atau sebaliknya, mereka sengaja dilibatkan dalam sebuah skenario licik Syria, yang sudah lama memang berusaha melumpuhkan PLO dengan segala cara. Hal yang pasti cuma satu, insiden Larnaca dan Tunisia telah menutup peluang untuk sebuah perundingan perdamaian di Timur Tengah. Tampaknya, Yasser Arafat sangat terpukul oleh kenyataan ini. Ia berusaha keras agar kepemimpinan Shimon Peres yang moderat bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memperjuangkan tanah air Palestina. Bahkan Arafat tidak segan-segan meyakinkan Raja Yordania Hussein bahwa penggabungan Tepi Barat ke wilayah Kerajaan Yordania bukanlah suatu hal yang mustahil. Ketika Israel mengebom markas PLO, Raja Hussein masih berada di AS dalam upaya terakhir - sesudah misi Richard Murphy dari AS gagal - merebut dukungan Washington bagi perundingan Israel-Yordan-Palestina. Tapi Syria sama sekali tidak senang melihat perkembangan itu. Dalam pandangan Presiden Hafez Assad, berdamai dengan Israel adalah sia-sia. Dengan segala cara ia berusaha menjegal prakarsa Hussein dan Arafat. Di pihak lain, Peres juga mendapat tantangan keras dari kelompok sayap kanan: Likud. Juga dari sebagian warga Israel yang berambisi mencaplok Tepi Barat dan Gaza - dulunya tumpah darah bangsa Palestina - untuk mereka sendiri. Kesediaan Arafat untuk menyingkirkan orang-orang PLO dari delegasi perunding Palestina, misalnya, tetap saja dicurigai mereka. Dalam proses perdamaian yang terkatung-katung itu, Peres melakukan konsesi besar yang rupanya sangat ditentang Likud. Ia membebaskan 1.150 gerilyawan Palestina sebagai barter untuk tiga tentara Israel. Sementara itu, konflik sipil Israel-Palestina yang meluas di Tepi Barat telah menyulitkan posisi Peres. Dalam satu tahun terakhir ini sikap permusuhan Palestina terhadap warga Israel justru meningkat. Terjadi sejumlah insiden besar kecil, mulai dari pelemparan batu, penculikan, dan penusukan. Ada 16 warga Israel terbunuh, dan 12 lainnya luka-luka. PLO kabarnya berperan besar dalam berbagai kericuhan itu, tapi tidak sedikit bukti menunjukkan bahwa warga Arab yang bukan PLO juga sudah berani unjuk gigi. Mereka tidak lagi berpangku tangan, rasa takut sudah hilang. Mengapa? Mereka adalah generasi penerus yang sepanjang hidupnya menderita, dibesarkan di bawah penindasan Israel, sebagian besar langsung atau tidak pernah terlibat dalam perang. Dan mereka jenuh dengan perjuangan gaya PLO yang tumpul tidak lagi punya daya dobrak karena tenaganya habis disedot untuk mengatasi konflik intern organisasi. Tidak heran kalau warga sipil Palestina bertindak sendiri. Sebagai protes terhadap pengeboman markas PLO misalnya, Senin malam, sebuah kapal Italia dibajak mereka di lepas pantai Mesir. Mereka menuntut supaya 50 warga Palestina dibebaskan dari penjara Israel. Kalau tidak, semua penumpang akan segera dihabisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus