Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Israel: Pilihan Untuk Lebih Terancam

Perundingan antara wakil israel & mesir macet. usul mesir agar ditepi barat sungai yordan dapat didirikan negara palestina, yang merupakan keinginan semua negara arab, telah ditolak oleh israel. (ln)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUNDINGAN antara wakil-wakil Israel dan Mesir menjadi macet pekan silam. Mereka tidak bisa mencapai suatu kesepakatan mengenai wilayah Arab yang diduduki Israel. Mesir menginginkan agar di wilayah tepi barat sungai Yordan dan tanah genting Gaza diberi kesempatan bagi berdirinya sebuah negara Palestina. Tapi Israel amat menentang gagasan itu. Alasan: "Negara Palestina yang radikal hanya akan jadi kantong untuk menyerang Israel." Mengenai keadaan yang memacetkan usaha damai Timur Tengah itu, koresponden The Wall Street Journal, Ray Vicker, mengirimkan laporan berikut dari Kairo. "Anda tidak bisa mengharap Israel akan bersedia hidup dengan todongan pisau terus-menerus di punggungnya dalam bentuk sebuah negara Palestina yang merdeka dan radikal," kata seorang lelaki yang berpakaian dengan potongan gaya Italia. Pesta koktil di salah sebuah apartemen di Kairo itu dihadiri oleh beberapa diplomat, seorang perwira Angkatan Darat Mesir dan beberapa wartawan Israel. Protektorat Israel Tapi yang berkomentar tadi bukanlah orang Israel. Ia seorang diplomat Mesir yang baru saja kembali ke Kairo setelah menyelesaikan suatu tugas di luar negeri. Dan karena pernyataan itu datangnya dari dia, sudah tentu merupakan sebuah kejutan. Soal itulah pula yang telah menjadi ganjelan selama bertahun-tahun -- hingga saat ini -- yang menyebabkan perdamaian Mesir-Israel tidak pernah tercapai. Komentar diplomat itu juga mencerminkan betapa jauhnya sudah perjalanan Mesir dalam mencari pemecahan realistis terhadap soal berat yang mereka hadapi. Ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan bahwa Mesir telah melepaskan perjuangan mereka untuk tegaknya suatu Palestina merdeka, tapi paling sedikit kini mereka sudah bisa melihat titik pandangan Israel. Sudah bisa dipastikan bahwa masaalah Palestina adalah penentu utama bagi gagal atau suksesnya perundingan damai Timur-Tengah. Anwar Sadat--sebagai juru bicara utama Arab --dalam perundingannya dengan Israel mendesak agar Palestina diberi hak menentukan nasibnya sendiri. Tapi Israel yangmengaku setuju pada pemberian hak menentukan nasib sendiri itu -- tetap bersikeras untuk mempertahankan polisi dan tentaranya di tepi barat sungai Yordan serta di tanah genting Cina. Ini tidak bisa lain dari suatu keputusan untuk menjadikan negara Palestina itu nanti sebagai tidak lebih dari sebuah protektorat Israel. PLO yang mengaku sebagai satu-satunya wakil resmi Palestina menolak segala perundingan dengan Israel. Mereka mengklaim bahwa seluruh Palestina lama, termasuk wilayah Israel sekarang ini, harus dilebur menjadi sebuah negara di atas prinsip, satu orang satu suara. Fakta yang jelas menunjukkan bahwa semua negara Arab menginginkan paling sedikit bahwa sebuah negara Palestina harus didirikan. Tapi keadaan seperti ini belum lagi memuaskan Libia dan Irak. Kedua negara ini berkehehdak membubarkan negara Israel. Tapi di negara-negara Arab yang moderat seperti Arab Saudi Yordania, Libanon dan Kuweit-bahkan negara seperti Suria secara teguh menginginkan sebuah negara Palestina yang kecil. Para pemimpin negara-negara Arab yang moderat tidak menginginkan sebuah negara Palestina yang radikal. Di situlah mereka mempunyai persamaan dengan Israel. Dan wungkin di situlah letak dari kunci penyelesaian sengketa yang hingga kini masih berkecamuk. Keengganan Israel harus dipusatkan pada radikalisme dan bukan pada negara Palestina itu sendiri. Negara kecil Palestina itu akan memerlukan sejumlah besar bantuan asing untuk membangun. Dan negara-negara Arab yang moderat dan kaya minyak mempunyai uang untuk bantuan semacam itu. Melawan radikalisme hanya dengan polisi tidak cuma berlawanan dengan demokrasi, tapi juga merupakan tindakan bunuh diri dalam jangka panjang. Pasukan-pasukan Israel di wilayah Palestina itu secara bertahap harus ditarik. Juga para pemukim Yahudi harus pergi dari sana, kecuali jika mereka suka menjadi warga negara Palestina. Masa Transisi Prinsip satu orang satu suara, jika dikemukakan oleh orang-orang Palestina, akan menempatkan Israel yang progresif (dan orang-orang Amerika) dalam posisi yang sulit. Satu orang satu suara adalah inti demokrasi, dan ia merupakan dasar dari penentuan nasib sendiri. Tapi Israel melihat ide sebuah negara Palestina itu sebagai suatu kutukan terhadap dirinya. Orang-orang Arab akan merupakan mayoritas dalam negara semacam itu. Perundingan yang berlangsung beberapa waktu yang silam memusatkan diri pada soal jangka waktu dari masa transisi itu. Presiden Sadat menginginkan tidak lebih dari 3 tahun, sedang Israel ingin lebih lama berada dalam masa transisi itu. Tapi bagaimana pun soalriya, para pengamat berharap agar perundingan memusatkan persoalan pada masaalah bagaimana menciptakan suatu Palestina yang betul-betul mempunyai hak menentukan nasib sendiri, dan tidak terbelit dalam kekisruhan bahasa yang pada akhirnya tidak bisa mewujudkan apa yang sebenarnya secara formil telah disepakati. Keadaan seperti itu hanya akan mengakibatkan munculnya suatu bencana baru. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh pihak Arab mengungkapkan bahwa pemukiman Israel di lembah sungai Yordan kini telah menguasai 70% dari tanah-tanah pertanian yang terbaik di tepi barat sungai Yordan. Ini barangkali berlebih-lebihan. Tapi jika setengahnya saja benar, maka timbul soal: apakah pemukiman Yahudi itu untuk kepentingan keamanan, atau Israel memang berkehendak merebut tanah? Apabila soalnya adalah keamanan di tepian barat sungai Yordan, maka pasukan internasional bersama pasukan Israel bisa ditempatkan di sepanjang perbatasan jika perdamaian telah dicapai. Dalam beberapa tahun, jumlah pasukan itu bisa diperkecil hingga hanya semacam pasukan penjaga simbolis. Sebuah tawaran yang lebih simpatik dari Israel mengenai tepian barat sungai Yordan itu bukan tak mungkin membawa Yordania dan Sirya ke dalam ruang perundingan. Barangkali di Jenewa dan bukan di Kairo. Kemudian PLO, atau wakil mereka - untuk menyenangkan Israel -- akan menyusul. Para rejectionist (golongan penentang) - Libia, Irak, Yaman Selatan, Aljazair--mungkin akan tetap tidak menggabung. Tapi toh mereka tidak akan berdaya menghadapi sebuah organisasi Palestina yang moderat dengan Suria dan Yordania sebagai pendukungnya. Sekali anggotaanggota penting terlibat dalam perundingan, pemecahan masalah pelik Timur Tengah sudah akan mudah ditemukan. Tapi, seperti juga diplomat Mesir mencoba melihat persoalan dari sudut pandangan Israel, Israel juga harus bisa melihat persoalan dari sudut pandangan Arab. Jika perundingan damai sekarang ini gagal, seluruh dunia Arab akan menjelma menjadi radikal. Keadaan itu akan mendesak Timur Tengah untuk memasuki kancah perang baru, yang kelima. Dan dalam perang semacam it u, keamanan Israel akan jauh lebih terancam ketimbang jika ia cuma bertetangga dengan sebuah negara Palestina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus