PERUNDINGAN antara wakil-wakil Israel dan Mesir menjadi macet
pekan silam. Mereka tidak bisa mencapai suatu kesepakatan
mengenai wilayah Arab yang diduduki Israel. Mesir menginginkan
agar di wilayah tepi barat sungai Yordan dan tanah genting Gaza
diberi kesempatan bagi berdirinya sebuah negara Palestina. Tapi
Israel amat menentang gagasan itu. Alasan: "Negara Palestina
yang radikal hanya akan jadi kantong untuk menyerang Israel."
Mengenai keadaan yang memacetkan usaha damai Timur Tengah itu,
koresponden The Wall Street Journal, Ray Vicker, mengirimkan
laporan berikut dari Kairo.
"Anda tidak bisa mengharap Israel akan bersedia hidup dengan
todongan pisau terus-menerus di punggungnya dalam bentuk sebuah
negara Palestina yang merdeka dan radikal," kata seorang lelaki
yang berpakaian dengan potongan gaya Italia. Pesta koktil di
salah sebuah apartemen di Kairo itu dihadiri oleh beberapa
diplomat, seorang perwira Angkatan Darat Mesir dan beberapa
wartawan Israel.
Protektorat Israel
Tapi yang berkomentar tadi bukanlah orang Israel. Ia seorang
diplomat Mesir yang baru saja kembali ke Kairo setelah
menyelesaikan suatu tugas di luar negeri. Dan karena pernyataan
itu datangnya dari dia, sudah tentu merupakan sebuah kejutan.
Soal itulah pula yang telah menjadi ganjelan selama
bertahun-tahun -- hingga saat ini -- yang menyebabkan perdamaian
Mesir-Israel tidak pernah tercapai.
Komentar diplomat itu juga mencerminkan betapa jauhnya sudah
perjalanan Mesir dalam mencari pemecahan realistis terhadap soal
berat yang mereka hadapi. Ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan
bahwa Mesir telah melepaskan perjuangan mereka untuk tegaknya
suatu Palestina merdeka, tapi paling sedikit kini mereka sudah
bisa melihat titik pandangan Israel.
Sudah bisa dipastikan bahwa masaalah Palestina adalah penentu
utama bagi gagal atau suksesnya perundingan damai Timur-Tengah.
Anwar Sadat--sebagai juru bicara utama Arab --dalam
perundingannya dengan Israel mendesak agar Palestina diberi hak
menentukan nasibnya sendiri. Tapi Israel yangmengaku setuju pada
pemberian hak menentukan nasib sendiri itu -- tetap bersikeras
untuk mempertahankan polisi dan tentaranya di tepi barat sungai
Yordan serta di tanah genting Cina. Ini tidak bisa lain dari
suatu keputusan untuk menjadikan negara Palestina itu nanti
sebagai tidak lebih dari sebuah protektorat Israel.
PLO yang mengaku sebagai satu-satunya wakil resmi Palestina
menolak segala perundingan dengan Israel. Mereka mengklaim bahwa
seluruh Palestina lama, termasuk wilayah Israel sekarang ini,
harus dilebur menjadi sebuah negara di atas prinsip, satu orang
satu suara.
Fakta yang jelas menunjukkan bahwa semua negara Arab
menginginkan paling sedikit bahwa sebuah negara Palestina harus
didirikan. Tapi keadaan seperti ini belum lagi memuaskan Libia
dan Irak. Kedua negara ini berkehehdak membubarkan negara
Israel. Tapi di negara-negara Arab yang moderat seperti Arab
Saudi Yordania, Libanon dan Kuweit-bahkan negara seperti Suria
secara teguh menginginkan sebuah negara Palestina yang kecil.
Para pemimpin negara-negara Arab yang moderat tidak menginginkan
sebuah negara Palestina yang radikal. Di situlah mereka
mempunyai persamaan dengan Israel. Dan wungkin di situlah letak
dari kunci penyelesaian sengketa yang hingga kini masih
berkecamuk. Keengganan Israel harus dipusatkan pada radikalisme
dan bukan pada negara Palestina itu sendiri.
Negara kecil Palestina itu akan memerlukan sejumlah besar
bantuan asing untuk membangun. Dan negara-negara Arab yang
moderat dan kaya minyak mempunyai uang untuk bantuan semacam
itu. Melawan radikalisme hanya dengan polisi tidak cuma
berlawanan dengan demokrasi, tapi juga merupakan tindakan bunuh
diri dalam jangka panjang. Pasukan-pasukan Israel di wilayah
Palestina itu secara bertahap harus ditarik. Juga para pemukim
Yahudi harus pergi dari sana, kecuali jika mereka suka menjadi
warga negara Palestina.
Masa Transisi
Prinsip satu orang satu suara, jika dikemukakan oleh orang-orang
Palestina, akan menempatkan Israel yang progresif (dan
orang-orang Amerika) dalam posisi yang sulit. Satu orang satu
suara adalah inti demokrasi, dan ia merupakan dasar dari
penentuan nasib sendiri. Tapi Israel melihat ide sebuah negara
Palestina itu sebagai suatu kutukan terhadap dirinya.
Orang-orang Arab akan merupakan mayoritas dalam negara semacam
itu.
Perundingan yang berlangsung beberapa waktu yang silam
memusatkan diri pada soal jangka waktu dari masa transisi itu.
Presiden Sadat menginginkan tidak lebih dari 3 tahun, sedang
Israel ingin lebih lama berada dalam masa transisi itu. Tapi
bagaimana pun soalriya, para pengamat berharap agar perundingan
memusatkan persoalan pada masaalah bagaimana menciptakan suatu
Palestina yang betul-betul mempunyai hak menentukan nasib
sendiri, dan tidak terbelit dalam kekisruhan bahasa yang pada
akhirnya tidak bisa mewujudkan apa yang sebenarnya secara formil
telah disepakati. Keadaan seperti itu hanya akan mengakibatkan
munculnya suatu bencana baru.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh pihak Arab mengungkapkan
bahwa pemukiman Israel di lembah sungai Yordan kini telah
menguasai 70% dari tanah-tanah pertanian yang terbaik di tepi
barat sungai Yordan. Ini barangkali berlebih-lebihan. Tapi jika
setengahnya saja benar, maka timbul soal: apakah pemukiman
Yahudi itu untuk kepentingan keamanan, atau Israel memang
berkehendak merebut tanah? Apabila soalnya adalah keamanan di
tepian barat sungai Yordan, maka pasukan internasional bersama
pasukan Israel bisa ditempatkan di sepanjang perbatasan jika
perdamaian telah dicapai. Dalam beberapa tahun, jumlah pasukan
itu bisa diperkecil hingga hanya semacam pasukan penjaga
simbolis.
Sebuah tawaran yang lebih simpatik dari Israel mengenai tepian
barat sungai Yordan itu bukan tak mungkin membawa Yordania dan
Sirya ke dalam ruang perundingan. Barangkali di Jenewa dan bukan
di Kairo. Kemudian PLO, atau wakil mereka - untuk menyenangkan
Israel -- akan menyusul. Para rejectionist (golongan penentang)
- Libia, Irak, Yaman Selatan, Aljazair--mungkin akan tetap tidak
menggabung. Tapi toh mereka tidak akan berdaya menghadapi sebuah
organisasi Palestina yang moderat dengan Suria dan Yordania
sebagai pendukungnya. Sekali anggotaanggota penting terlibat
dalam perundingan, pemecahan masalah pelik Timur Tengah sudah
akan mudah ditemukan.
Tapi, seperti juga diplomat Mesir mencoba melihat persoalan dari
sudut pandangan Israel, Israel juga harus bisa melihat persoalan
dari sudut pandangan Arab. Jika perundingan damai sekarang ini
gagal, seluruh dunia Arab akan menjelma menjadi radikal. Keadaan
itu akan mendesak Timur Tengah untuk memasuki kancah perang
baru, yang kelima. Dan dalam perang semacam it u, keamanan
Israel akan jauh lebih terancam ketimbang jika ia cuma
bertetangga dengan sebuah negara Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini