TAK terasa ada yang luar biasa di kantor redaksi harian Kompas
Jumat malam 20 Januari lalu. Beberapa mobil dan motor tampak
memenuhi halaman kantor di Jl. Palmerah Selatan 26, Jakarta.
Para wartawan yang biasa mengkover berita olahraga, masih sibuk
menyelesaikan laporan pandangan mata pertandingan sepakbola
untuk kejuaraan PSSI di Senayan, lepas jam 10 malam. Padahal jam
20.20, mereka telah rnenerima telepon dari Letkol Anas Malik,
Kepala Penerangan Laksusda Jaya, menyatakan bahwa Kompas dan
beberapa harian lainnya dilarang terbit.
"Saya minta semua wartawan merampungkan tulisannya," kata wakil
pemimpin redaksi P.Swantoro. Mereka tetap mengetik sekalipun
tak boleh terbit esoknya. "Untuk dokumentasi," sambung Swantoro.
Ia masih banyak senyum.
Telepon yang sama juga diterima Subagyo Pr. pemimpin redaksi
harian Sinar Harapan. Kamis pekan lalu harian yang beroplag di
atas 150 ribu eksemplar itu menurunkarl tajuk, dengan pembuka
kalimat: "Apa yang sedang terjadi di Indonesia ini? Dan apa yang
akan terjadi dalam minggu-minggu yang akan datang?" Pertanyaan
itu rupanya terjawab esok malamnya, yang malang - untuk
sementara - tak bisa dijawab oleh sang penulis tajuk.
Bersama Kompas yang punya oplag di atas 250 ribu dan Sinar
Harapan, sampai 23 Januari kemarin, adalah koran Merdeka,
Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore yang
terkena larangan terbit. Pos Sore masih beredar Sabtu 21 Januari
lalu, dengan tajuk tanpa kata berwarna hitam. Mungkin itu
dimaksud sebagai tanda turut berduka terhadap rekan-rekannya
yang kena berangus sementara.
"Menghasut"
Bahkan koran Pos Kota ikut nyaris kena. Menurut Sofyan Lubis,
redaktur pelaksana Pos Kota, mereka mendapat telepon jam 4 pagi
Senin 23 Januari memberitahukan bahwa kedua koran yang dipimpin
Harmoko, ketua umum PWI Pusat itu, dilarang beredar. Tapi
rupanya ada kekhilafan. Beberapa jam kemudian, dijelaskan Pos
Kota tak kena diberangus.
Jadi seluruhnya, sampai Senin kemarin, ada 7 koran yang kena
tindak. Adapun pertimbangan keputusan Kopkamtib itu disebabkan
"pemberitaan dalam harian-harian itu dianggap telah menjurus
kepada sifat-sifat menghasut, yang langsung maupun tidak
langsung sudah merupakan ancaman terhadap keamanan dan
ketertiban."
Senin pagi itu juga Kas Kopkamtib Sudomo menyatakan "tindakan
itu dilakukan untuk memelihara ketenteraman umum dan
menghindarkan terSeDarnya berita-berita yang menyesatkan
masyarakat." Menurut Sudomo, tindakan itu memang berlaku untuk
sementara "sambil menunggu proses lebih lanjut perlu tidaknya
dilakukan pencabutan urat Ijin Terbit (SIT)."
Menteri Penerangan a.i. Sudharmono SH, selepas menghadap
Presiden Sabtu pekan lalu menyatakan bahwa larangan terbit itu
harus dianggap sebagai "kartu kuning" agar tak terjadi
pencabutan SIT. Menurut Sudharmono, pemerintah sebelumnya sudah
berbicara dengan beberapa pemimpin redaksi suratkabar untuk
minta pengertian mereka agar menghindari pemberitaan yang
dianggapnya bisa "mengganggu stabilitas nasional."
Bagi banyak orang keputusan larangan terbit itu mengagetkan. Di
jalanan sejak hari Sabtu itu orang tak lagi bisa membeli koran
pilihannya. Dan korankoran yang masih boleh terbit dengan
sendirinya jadi rebutan. Banyak orang yang ditanyai TEMMPO
mengatakan baru pagi itu mengetahui tentang larangan terbit itu.
Begitu juga para anggota DPR. "Sebenarnya cukup dengan cara
persuasif saja," kata TAM Simatupang dari DPP PDI. "Tapi baiknya
kita tak bicara apa-apa dulu sekarang," sambungnya cepat. Ketua
Umm PDl Sanusi Hardjadinata berpendapat tindakan itu hanya akan
membuat bahan bacaan jadi kurang. "Nanti kita cuma akan baca
buku komik silat saja," katanya berkelakar.
G. Sugiharto
Tapi Gregorius Sugiharto, ketua fraksi Karya Pembangunan di DPR
berpendapat lain. "Ini suatu cara yang paling baik," katanya.
"Asal dilakukan sementara, sampai wartawan bisa menahan diri."
Bagaimana tentang nasib para karyawan dan wartawan yang lebih
1000 orang dalam koran-koran yang kena berangus? Jawab
Sugiharto: "Mana yang lebih penting: rakyat 120 juta atau 1000
orang. Tentu yang 120 juta, dong."
Sampai kapan? Inilah pertanyaan yang menggantung di benak banyak
orang. Brigjen Daryono, Kepala Puspen Hankam berkata pada Yusril
Jalinus dari TEMPO, bahwa "larangan itu tak ada batas waktunya."
Tapi menurut dia, memang ada beberapa pertimbangan--misalnya
pertimbangan sampai berapa lama suatu harian itu bisa bertahan
secara ekonomis tanpa boleh terbit.
Adakah larangan itu akan berumur seminggu? "Belum tentu," jawab
Daryono.
Bisa dimengerti kalau orang seperti Ketua Pelaksana PWI Harmoko
jadi pusing dibuatnya. Selain salah satu korannya kena tutup,
telepon baginya berdering dari segala penjuru cabang PWI. Maka
setelah melakukan rapat pleno pengurus pusat, PWI Pusat keluar
denganpernyataan yang memprihatinkan pelarangan terbit sejumlah
suratkabar. Kepada pemerintah PWI Pusat "mendesak agar segera
mencabut pelarangan terbit itu."
Kaskopkamtib Sudomo terpaksa tak menemui para pengurus PWI Pusat
Senin pagi, karena harus bertemu dengan para Rektor di
Departemen P & K. Tapi lewat Brigjen Daryono ia menyatakan telah
menerima baik pemyataan PWI itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini