PUNGUTAN liar sejak akhir tahun lalu, dan sampai kini, jadi
persoalan dominan dalam kehidupan negara kita. Mungkin ia
selanjutnya akan merupakan hal utama dari pembaruan-pembaruan
tata susunan ekonomi-sosial dan politik Indonesia.
Ada baiknya kalau kita menyadari apa arti dari pada
kampanye-kampanye anti-pungli ini dan apa sebenarnya persoalan
di sekitar pungli.
Pungutan liar (istilahnya bukan itu dahulu) punya akar mendalam
di sejarah. Asal mula darinya adalah dalam sistim pembiayaan
negara tradisionil, yakni kerajaan-kerajaan Indonesia dari
Majapahit sampai ke Mataram dan kesultanan-kesultanan lain di
kepulauan ini.
Jabatan dari kerajaan-kerajaan tradisionil itu tidak dibiayai
dari pusat. Mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja
hanya memberikan pada pejabat tanah dan sejumlah petani, atau
hak-hak untuk memungut bea cukai, meminta denda dan upeti dari
rakyat yang berhubungan dengan si pejabat.
Dan dari sumber keuangan tersebut dibiayai urusan jabatan.
Jabatan menteri di kraton, bupati di daerah, pengawas pengairan,
jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa dan
lain-lain, berdiri sendiri dalam keuangan.
Selain lungguh, yakni "gaji tetap" yang berupa tanah dan petani,
pejabat menarik biaya bagi kelancaran urusannya dari rakyat yang
bersangkutan. Makin banyak aktivitas dari seorang penduduk
biasa, makin banyak urusannya dengan para pejabat. Maka semakin
banyak pula beban "pajak" atau upetinya.
Staf atau pegawai dari para pejabat itu juga sedikit banyak
otonom dalam keuangan. Mereka harus mencari nafkah sendiri dari
kedudukannya itu. Gaji resmi tidak diterima atau tidak
mencukupi.
Gejala ini sampai terlihat di kalangan rumah tangga seorang
bupati. Pelayan seorang bupati misalnya, yang harus menyampaikan
surat padanya dari seorang pemohon atau pegawai rendah, pun
untuk urusan jabatan, sering menerima persen. Sampai pertengahan
abad ke-19 koki di suatu keluarga bupati hampir tidak menerima
gaji tetapi persen dari para penjual di pasar.
Raja sendiri sebenarnya termasuk dalam sistim ini. Raja menerima
sebagian dari upeti rakyat yang diberikan pada para pejabat.
Dengan singkat para pqabat, terutama para pejabat tinggi,
berkewajiban memberikan upeti pada raja, di samping membiayai
urusan jabatannya. Sering juga upeti dari para pejabat ini
diperoleh dengan cara menjual jabatan itu pada para penawar yang
tertinggi. Si pembeli kemudian bisa menarik sebanyak mungkin
keuntungan materiil dari wewenang yang didapatnya. Kedudukan
bupati pesisir misalnya sering dijual secara demikian, sehingga
pedagang asing sering dapat membelinya. Ia bisa jadi bupati atau
penarik pajak.
Ada suatu hal yang agak menarik dari sistim ini. Raja sendiri
sebagai penguasa tertinggi mungkin hanya menikmati sedikit dari
upeti dan pajak dari rakyat ini. Sebagian besar dibayarkan pada
para pejabat rendahan. Sebenarnya raja sendiri sebagai penguasa
tertinggi agak lemah kedudukannya, sebab kontrol keuangan
terhadap bawahannya sama sekali tidak ada. Para bawahan raja
sebenarnya otonom dan tidak mudah dipecat.
Di lain pihak, karena mengangkat pejabat dan pegawai baru baik
bagi sang Raja maupun bagi para pejabat sering tidak merugikan
(karena tak perlu menggaji mereka)--malahan bisa menguntungkan
kalau kedudukan-kedudukan dijual - maka ada kecenderungan untuk
mengangkat semakin banyak pejabat dan pegawai atau memperbesar
pengikut. Yang merasakan beban-heban adalah rakyat biasa dengan
diperbanyaknya perantara atau calo antara yang diperintah dan
yang memerintah.
Ini tidak menambah efisiensi urusan-urusan negara. Lebih sering
membikin kabur batas wewenang, sampai pada akhirnya hanya yang
tertinggi dapat menentukan segala sesuatu, sementara para
bawahannya berusaha supaya ketetapan dari yang teratas itu
gagal. Dalam keadaan tradisionil ini orang dapat mengatakan
bahwa setiap pejabat adalah penarik pajak.
Sistim otonorni keuangan para pejabat sebenarnya mengaburkan
hierarki dalam tata susunan masyarakat tradisionil Seorang
pejabat rendahan yang efisien dapat mengurmpulkan kekayaan atau
upeti lebih besar dari pada atasannya yang tidak efisien. Dalam
sejarah kita ada contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu
rajanya sendiri secara lebih mewah daripada raja itu sendiri
dapat menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak dapat
meremehkan para abdi-dalam kraton tertinggi, juga para menteri,
bahkan para pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi
penghasilan mereka dan mereka semua berhutang padanya.
Namun seorang raja kuat dan juga seorang pejabat kuat mempunyai
satu senjata ampuh terhadap bawahan yang serakah, yakni para
orang kaya-baru. Raja dan pejabat tertinggi yang dalam kedudukan
kuat selalu dapat memaksakan apa yang disebut denda.
Rupanya apa yang disebut denda dalam abad-abad yang lalu itu
dapat dipaksakan pada setiap orang dengan alasan apapun.
Seorang dapat didenda karena hadir dalam suatu jamuan dan juga
dapat didenda karena tidak hadir dalam jamuan yang sama.
Denda ini dapat merupakan semacam pungutan liar yang agak banyak
dalam zaman dahulu. Seorang raja Jawa pada akhir abad ke-18
umpamanya diketahui telah mengumpulkan uang denda sebanyak
jutaan rijksdaelders selama masa pemerintaham1ya. Bila dihitung
dalam zaman sekarang itu dapat dibandingkan dengan ratusanjuta
dolar Amerika.
Namun ada satu perbedaan besar antara "denda" dan "pungi".
Istilah "denda" menunjukkan bahwa para penguasa terlinggi pada
masa lampau dapat melegalisir "pungli" yang pada masa sekarang
merupakan korupsi, sesuatu yang terhina. Sebab menurut
norma-norma sekarang para pejabat adalah untuk rakyat lan tidak
sebaliknya. Mudah-mudahan paralpembaca jangan sampai
menyimpulkan bahwa "pungli" ternoda karella salahnya demokrasi
dan modernisasi zaman sekarang.
Tapi bagaimana dengan persoalan hari kini'? Pungli jelas
merupakan gejala dalam Republik Indonesia. Persoalannya di sini
adalah bahwa bukan tidak ada usaha dari pemerintah pusat untuk
menggaji pegawainya, tetapi gaji itu dan kebutuhan laimlya
(perumahan, transport) tidak cukup. Jadi juga tidak diatur
secara sentral.
Republik Indonesia bukan satu-satunya contoh yang demikian. VOC
yang bangkrut pada akhir abad ke-XVIII adalah perseroan
perdagangan yang rugi biarpun pegawainya menjadi kaya raya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Di sini kita lihat negara
melimpahkan sebagian kekuasaannya pada segolongan masyarakat,
yang dinamakan pejabat atau klas pemerintah, tanpa menjamin
tingkatan dan taraf hidup mereka. Baik pemerintah maupun
masyarakat akan hidup dalam khayalan bila mereka mengira bahwa
klas-pemerintahan itu dapat menahan diri sendiri untuk hidup
dalam serba kekurangan. Atau bahwa mereka tidak akan
"menyalah-gunakan" kekuasaan yang diberikan pada mereka.
Dengan singkat para pejabat yang tidak dijamin secara cukup,
akan mengadakan pungli, dan seperti dalam sistim pemerintahan
tradisionil akan membiayai diri sendiri secara cukup, atau
berlebih-lebihan, menurut kesempatan masing-masing pungli
dapat dijelaskan secara sosiologis. Tapi secara politis dan dari
sudut hierarki sosial masalah pungli sebenarnya mengacaukan.
Dengan sistim pungli sebagai sistim pelnbiayaan para pejabat,
maka pejabat dalam jabatan tertentu dapat memiliki penghasilan
lebih besar dari pada atasannya. Misalnya seorang camat yang
harus mendaftarkan setiap jual beli tanah warisan dapat
memperoleh penghasilan yang jauh lebih besar daripada seorang
bupati yang hanya mendaftarkan apa yang dilaporkan camat.
Biarpun pungli erat sekali hubungannya dengan sistim penggajian
para pejabat negara, pada suatu waktu baik dari pemerintah
maupun dari khalayak ramai bisa timbul kekesalan terhadapnya.
Pungli lalu benar-benar menjadi sesuatu yang liar, sesuatu yang
melanggar hukum dan ternoda dan bukan lagi upeti atau denda. Itu
biasanya timbul pada saat dirasakan perlu adanya rasionalisasi
dalam birokrasi. Artinya perbedaan tingkatan di antara para
pejabat akan dipertegas, baik menurut wewenang ataupun menurut
penghasilan.
Maka sesuatu yang kelihatan ganjil bisa tumbul dalam kampanye
anti-pungli meskipun sebenarnya itu wajar dalam proses
rasionalisasi, yakni bahwa yang diganyang biasanya pungli
kecil-kecilan atau yang dari pejabat rendahan. Ini bukan saja
karena terhadap pungli rendahan ini pemerintah cukup berkuasa
untuk memberantasnya sedangkan yang besar secara politis agak
sukar) tetapi juga karena yang kecil lebih mengacaukan hierarki
birokrasi.
Jadi bukan keadilan yang terutama ingin dicapai dengan
pemberantasan pungli, tetapi rasionalisasi - dengan segala
akibatnya bagi makin hierarkisnya susunan masyarakat kita.
Namun kegiatan memberantas pungli ini tentu saja biasa dan perlu
diadakan dalam perkembangan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini