ORGANISASI Pembebasan Palestina semakin dapat angin. Majelis
Umum PBB dalam suatu resolusinya yang terakhir menyetujui
pembentukan negara Palestina yang merdeka di bawah kepemimpinan
PLO. Resolusi ini tentu saja lebih maju dibanding sebelumnya.
Selama ini resolusi PBB hanya menyebutkan "hak bangsa Palestina
membentuk negara sendiri yang berdaulat penuh". Namun masalahnya
tetap melingkar pada pertanyaan: Sejauh manakah kekuatan
resolusi PBB bisa menentukan?
Resolusi yang disponsori Kuba Jerman Timur, India, Indonesia,
Mali, Pakistan, Yugoslavia dan Vietnam ternyata mendapat
dukungan yang kuat. Dari 145 negara yang ikut dalam pemungutan
suara, 101 setuju, 13 menentang dan 30 blanko. Mesin yang selama
ini menjadi sekutu Israel dalam perjanjian Camp David juga
mendukung resolusi itu. Dan Israel secara tegas menentangnya,
malah menuduhnya sebagai usaha menginjak-injak penyelesaian
damai konflik Arab-Israel.
Di saat serunya perpecahan di kalangan negara Arab, terutama
karena perang Iran-Irak, dukungan terhadap PLO ternyata makin
membesar. Kini pemerintah Israel semakin khawatir bahwa AS juga
akan mengubah kebijaksanaannya di Timur Tengah. Sejak Ronald
Reagan terpilih sebagai Presiden AS, ada kesan bahwa Washington
pro pembentukan negara Palestina.
Suatu hasil survei mengenai masalah internasional oleh Hoover
Institution dari Universitas Stanford menyimpulkan: "Walaupun
pembentukan negara Palestina bukanlah penyelesaian yang ideal
bagi konflik Arab-Israel, ini jalan terbaik yang bisa kita
harapkan." Pendapat seperti itu tentu saja membuat pemerintah
Israel was-was. Hingga di Jerusalem, timbul dugaan bahwa AS
sewaktu-waktu akan membekukan bantuan militer dan ekonominya,
hanya untuk memaksakan Israel agar ke luar dari wilayah Arab
yang didudukinya.
Kekhawatiran ini agak beralasan. Beberapa penasihat dan tokoh
yang akan ditunjuk Reagan pada posisi pemerintahannya berasal
dari lembaga Hoover ini. Di situ bersarang kelompok pemikir
(think-tank) yang mendukung Reagan. Dan sebelumnya, lembaga
ini memang sangat dekat dengan kalangan pengambil keputusan di
Partai Republik. Menurut seorang ahli di lembaga itu,
pembentukan negara Palestina yang merdeka akan mengakhiri untuk
selama-lamanya tuntutan Israel -- yang berdasarkan searah --
atas Tepi Barat Sungai Yordan.
Apakah dokumer (hasil survei) tadi akan jadi dasar bagi
pengambilan keputusan politik luar negeri AS, masih belum jelas.
Namun ketika membeberkannya jurubicara lembaga itu tegas
mengatakan: "Dokumen ini berkemungkinan besar menjadi 'kitab
suci' Reagan dalam politik luar negeri." Pantas Israel menjadi
cemas.
Walaupun demikian usaha AS untuk melanjutkan perundingan
Mesir-Israel masih jalan terus. Utusan khusus Presiden Jimmy
Carter mengenai masalah Timur Tengah, Sol Linowitz, yang baru
pulang dari kedua negara itu telah mengumumkan pendirian bersama
Sadat-Begin. Dalam suatu jumpa pers, Linowitz mengatakan bahwa
Presiden Sadat dan PM Menachem Begin tetap percaya dengan jalan
perundingan akan dicapai kata sepakat mengenai pembentukan
otonomi Palestina.
Namun dengan resolusi PBB yang baru itu Mesir rupanya berpijak
pada dua kemungkinan. Melalui resolusi PBB, ia setuju
pembentukan negara Palestina yang dipimpin PLO. Dan melalui
perundingan dengan Israel, Mesir bicara mengenai otonomi
Palestina. Apakah ini pertanda masa depan perjanjian Camp David
semakin suram? Raja Hussein dari Yordan dalam suatu wawancara
majalah Inggris Monday Morning menggambarkan perjanjian Camp
David sebagai seekor 'kuda mati'.
"Perjanjian itu sama sekali tidak mengindahkan persoalan rakyat
Palestina dan hak yang sah di negara mereka," kata Hussein.
Sementara itu di Vatikan, Paus Yohannes Paulus II telah
membicarakan masalah hak rakyat Palestina dengan Menlu Arab
Saudi, Pangeran Saud Al Faisal.
Paus Yohannes telah mengemukakan pada Pangeran Faisal perlunya
suatu tindakan segera untuk menyelesaikan masalah Palestina. Dan
kedua pemimpin itu juga menyatakan kecemasan mereka atas
tindakan Israel yang memperluas ibukotanya hingga Jerusalem
Timur Paus sekali lagi mengulangi dukungannya terhadap
pembentukan pemerintahan bersama di kota suci Jerusalem. Namun
yang tetap jadi masalah ialah nasib 1,2 juta rakyat Palestina
masih terkatung-katung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini