Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang ekstrim-ekstrim dalam sejarah

Pengertian ekstrem menurut roeslan abdulgani dan kisah roeslan tentang istilah gerakan ekstrem pada zaman penjajahan. sesudah merdeka istilah ekstrem berganti makna. (nas)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA dulu bangga disebut ekstrimis," kata Roeslan Abdulgani, bekas Menlu yang kini menjabat Ketua Tim P-7. Pada zaman penjajahan, istilah gerakan ekstrim digunakan Belanda sebagai lawan dari kaum moderat yang mau bekerjasama dengan mereka. Tentang ini Roeslan punya cerita. Pada waktu serangan Belanda ke Yogyakarta 19 Desember 1948, sebagai Sekjen Departemen Penerangan Roeslan sibuk mengadakan hubungan dengan para pejabat negara lain. Hari itu ia berusaha mengumumkan sikap pemerintah mengenai serangan Belanda, karena Menpen waktu itu, Moh. Natsir dirawat di rumah sakit, akibat terpeleset. Roeslan tertembak dan jari telunjuk kanannya hilang. Ia dirawat di rumah sakit Bethesda, tanpa mengetahui bahwa Menpen Natsir juga dirawat di sana. Setelah 5 hari Roeslan ditangkap Belanda, "mereka heran mengapa saya masuk gerakan ekstrim. Menurut pengertian mereka, ekstrimis adalah orang yang tidak bisa berbahasa Belanda, gondrong, bawa bedil, pakaian kumal dan sebagainya," cerita Roeslan. Setelah kemerdekaan, istilah "ekstrim" berganti makna. Roeslan Abdulgani berpendapat, memang pernah ada ekstrim kiri dan kanan dalam sejarah politik Indonesia. Tapi sekarang banyak masalah atau kejadian yang dikaitkan dengan kelompok "ekstrim kiri" atau "kanan", hingga sering menimbulkan kekaburan masyarakat. Dalam sejarah Indonesia, deretan kelompok atau gerakan yang dianggap ekstrim memang cukup panjang. Ada yang dilandasi ideologi, ada pula yang berdasar kesukuan atau separatisme. Yang dilandasi ideologi antara lain Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. PKI menyiapkan pemerintahan komunis di Indonesia dari sana, dan berhasil ditumpas oleh pemerintah yang dipimpin Soekarno-Hatta. Pada 5 April 1950, Kapten Andi Azis dengan pasukannya yang bekas KNIL memberontak. Mereka menentang dipulihkannya negara kesatuan RI dan menolak kedatangan pasukan TNI ke Ujungpandang. Pemerintah kemudian melancarkan gerakan operasi militer dan pada 8 Agustus 1950 pemberontakan dapat diselesaikan. Gerakan separatis lain yang cukup lama merepotkan adalah RMS (Republik Maluku Selatan) yang melepaskan diri dari NIT (Negara Indonesia Timur) dan RIS (Republik Indonesia Serikat). RMS memproklamasikan kemerdekaannya pada 25 April 1950 dengan "presiden" Soumokil. Kekuatan pokok RMS dapat ditumpas pada September 1950, namun Soumokil sendiri baru tertangkap pada November 1963. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer luar biasa. Sisa-sisa RMS saat ini masih bergerak di negeri Belanda. Pemberontakan lain misalnya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Pada 17 Agustus 1949 pasukan Hizbullah dan Sabillilah di Jawa Barat yang menolak mundur dari daerah pendudukan Belanda menyatakan terbentuknya "Negara Islam Indonesia" dengan TII yang dipimpin oleh Kartosuwirjo. Gerakan ini baru berhasil ditumpas pada 1962 dengan tertangkapnya Kartosuwirjo yang kemudian dihukum mati. Ekstrim Baru Sebutan Dl/TII ini umumnya digolongkan kelompok "ekstrim kanan". Gerakan DI/TII sendiri memang kemudian menyebar di berbagai daerah, antara lain Kalimantan Selatan (dipimpin Ibnu Hadjar), Aceh (dipimpin Daud Beureuh) dan Sulawesi (dipimpin Kahar Muzakar). Pemberontakan yang cukup mengguncangkan RI adalah PRRI (Pemerintah Revolusioner RI) di Sumatra yang dibentuk pada 15 Februari 1958 serta Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi Utara. Tapi dalam waktu singkat PRRI bisa dipadamkan, sedang untuk Permesta -- yang memberi perlawanan gigih -- makan waktu juga sebelum menyerah. Yang masih segar dalam ingatan adalah Gerakan 30 September 1965 yang didalangi PKI yang berusaha merebut kekuasaan pemerintahan, namun cepat ditumpas. Di samping berbagai gerakan ekstrim di atas, terdapat banyak lagi kelompok ekstrim, termasuk yang menggunakan cara-cara radikal. Misalnya, kelompok yang berusaha membunuh Presiden Soekarno dan beberapa kali gagal. Belakangan ini, yang sering disebut pemerintah sebagai kelompok ekstrim adalah apa yang disebut Teror Warman atau juga "Komando Jihad". Tujuannya, menurut sementara pejabat, adalah membentuk suatu negara Islam. Nampaknya sikap, dan cap, "ekstrim" selalu ada. Tapi sejarah politik Indonesia juga menunjukkan, banyak orang atau golongan yang dulu pernah dianggap ekstrim kemudian berubah menjadi moderat. Perubahan sikap ini mungkin karena tatanan yang berbeda ataupun juga karena perkembangan dan perubahan pikiran. Ini diakui oleh Alfian yang mengecam orang yang tak melihat perubahan sikap ini. "Mereka yang melihat dulunya hitam dan sekarang tetap hitam, tanpa mau membuka mata bahwa itu sudah berubah menjadi putih, justru mereka ini yang menjadi ekstrim baru," ujar Alfian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus