"SAYA dulu bangga disebut ekstrimis," kata Roeslan Abdulgani,
bekas Menlu yang kini menjabat Ketua Tim P-7. Pada zaman
penjajahan, istilah gerakan ekstrim digunakan Belanda sebagai
lawan dari kaum moderat yang mau bekerjasama dengan mereka.
Tentang ini Roeslan punya cerita. Pada waktu serangan Belanda ke
Yogyakarta 19 Desember 1948, sebagai Sekjen Departemen
Penerangan Roeslan sibuk mengadakan hubungan dengan para pejabat
negara lain. Hari itu ia berusaha mengumumkan sikap pemerintah
mengenai serangan Belanda, karena Menpen waktu itu, Moh. Natsir
dirawat di rumah sakit, akibat terpeleset.
Roeslan tertembak dan jari telunjuk kanannya hilang. Ia dirawat
di rumah sakit Bethesda, tanpa mengetahui bahwa Menpen Natsir
juga dirawat di sana. Setelah 5 hari Roeslan ditangkap Belanda,
"mereka heran mengapa saya masuk gerakan ekstrim. Menurut
pengertian mereka, ekstrimis adalah orang yang tidak bisa
berbahasa Belanda, gondrong, bawa bedil, pakaian kumal dan
sebagainya," cerita Roeslan.
Setelah kemerdekaan, istilah "ekstrim" berganti makna. Roeslan
Abdulgani berpendapat, memang pernah ada ekstrim kiri dan kanan
dalam sejarah politik Indonesia. Tapi sekarang banyak masalah
atau kejadian yang dikaitkan dengan kelompok "ekstrim kiri" atau
"kanan", hingga sering menimbulkan kekaburan masyarakat.
Dalam sejarah Indonesia, deretan kelompok atau gerakan yang
dianggap ekstrim memang cukup panjang. Ada yang dilandasi
ideologi, ada pula yang berdasar kesukuan atau separatisme.
Yang dilandasi ideologi antara lain Peristiwa Madiun pada 18
September 1948. PKI menyiapkan pemerintahan komunis di Indonesia
dari sana, dan berhasil ditumpas oleh pemerintah yang dipimpin
Soekarno-Hatta.
Pada 5 April 1950, Kapten Andi Azis dengan pasukannya yang bekas
KNIL memberontak. Mereka menentang dipulihkannya negara kesatuan
RI dan menolak kedatangan pasukan TNI ke Ujungpandang.
Pemerintah kemudian melancarkan gerakan operasi militer dan pada
8 Agustus 1950 pemberontakan dapat diselesaikan.
Gerakan separatis lain yang cukup lama merepotkan adalah RMS
(Republik Maluku Selatan) yang melepaskan diri dari NIT (Negara
Indonesia Timur) dan RIS (Republik Indonesia Serikat). RMS
memproklamasikan kemerdekaannya pada 25 April 1950 dengan
"presiden" Soumokil.
Kekuatan pokok RMS dapat ditumpas pada September 1950, namun
Soumokil sendiri baru tertangkap pada November 1963. Ia kemudian
dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer luar biasa.
Sisa-sisa RMS saat ini masih bergerak di negeri Belanda.
Pemberontakan lain misalnya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia). Pada 17 Agustus 1949 pasukan Hizbullah dan
Sabillilah di Jawa Barat yang menolak mundur dari daerah
pendudukan Belanda menyatakan terbentuknya "Negara Islam
Indonesia" dengan TII yang dipimpin oleh Kartosuwirjo. Gerakan
ini baru berhasil ditumpas pada 1962 dengan tertangkapnya
Kartosuwirjo yang kemudian dihukum mati.
Ekstrim Baru
Sebutan Dl/TII ini umumnya digolongkan kelompok "ekstrim kanan".
Gerakan DI/TII sendiri memang kemudian menyebar di berbagai
daerah, antara lain Kalimantan Selatan (dipimpin Ibnu Hadjar),
Aceh (dipimpin Daud Beureuh) dan Sulawesi (dipimpin Kahar
Muzakar).
Pemberontakan yang cukup mengguncangkan RI adalah PRRI
(Pemerintah Revolusioner RI) di Sumatra yang dibentuk pada 15
Februari 1958 serta Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi
Utara. Tapi dalam waktu singkat PRRI bisa dipadamkan, sedang
untuk Permesta -- yang memberi perlawanan gigih -- makan waktu
juga sebelum menyerah.
Yang masih segar dalam ingatan adalah Gerakan 30 September 1965
yang didalangi PKI yang berusaha merebut kekuasaan pemerintahan,
namun cepat ditumpas.
Di samping berbagai gerakan ekstrim di atas, terdapat banyak
lagi kelompok ekstrim, termasuk yang menggunakan cara-cara
radikal. Misalnya, kelompok yang berusaha membunuh Presiden
Soekarno dan beberapa kali gagal. Belakangan ini, yang sering
disebut pemerintah sebagai kelompok ekstrim adalah apa yang
disebut Teror Warman atau juga "Komando Jihad". Tujuannya,
menurut sementara pejabat, adalah membentuk suatu negara Islam.
Nampaknya sikap, dan cap, "ekstrim" selalu ada. Tapi sejarah
politik Indonesia juga menunjukkan, banyak orang atau golongan
yang dulu pernah dianggap ekstrim kemudian berubah menjadi
moderat. Perubahan sikap ini mungkin karena tatanan yang berbeda
ataupun juga karena perkembangan dan perubahan pikiran. Ini
diakui oleh Alfian yang mengecam orang yang tak melihat
perubahan sikap ini. "Mereka yang melihat dulunya hitam dan
sekarang tetap hitam, tanpa mau membuka mata bahwa itu sudah
berubah menjadi putih, justru mereka ini yang menjadi ekstrim
baru," ujar Alfian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini