Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Israel Was Was Dengan Reagan

Sebuah resolusi PBB mengakui kepemimpinan PLO. pandangan pro pembentukan negara palestina mulai bergema di washington. (ln)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORGANISASI Pembebasan Palestina semakin dapat angin. Majelis Umum PBB dalam suatu resolusinya yang terakhir menyetujui pembentukan negara Palestina yang merdeka di bawah kepemimpinan PLO. Resolusi ini tentu saja lebih maju dibanding sebelumnya. Selama ini resolusi PBB hanya menyebutkan "hak bangsa Palestina membentuk negara sendiri yang berdaulat penuh". Namun masalahnya tetap melingkar pada pertanyaan: Sejauh manakah kekuatan resolusi PBB bisa menentukan? Resolusi yang disponsori Kuba Jerman Timur, India, Indonesia, Mali, Pakistan, Yugoslavia dan Vietnam ternyata mendapat dukungan yang kuat. Dari 145 negara yang ikut dalam pemungutan suara, 101 setuju, 13 menentang dan 30 blanko. Mesin yang selama ini menjadi sekutu Israel dalam perjanjian Camp David juga mendukung resolusi itu. Dan Israel secara tegas menentangnya, malah menuduhnya sebagai usaha menginjak-injak penyelesaian damai konflik Arab-Israel. Di saat serunya perpecahan di kalangan negara Arab, terutama karena perang Iran-Irak, dukungan terhadap PLO ternyata makin membesar. Kini pemerintah Israel semakin khawatir bahwa AS juga akan mengubah kebijaksanaannya di Timur Tengah. Sejak Ronald Reagan terpilih sebagai Presiden AS, ada kesan bahwa Washington pro pembentukan negara Palestina. Suatu hasil survei mengenai masalah internasional oleh Hoover Institution dari Universitas Stanford menyimpulkan: "Walaupun pembentukan negara Palestina bukanlah penyelesaian yang ideal bagi konflik Arab-Israel, ini jalan terbaik yang bisa kita harapkan." Pendapat seperti itu tentu saja membuat pemerintah Israel was-was. Hingga di Jerusalem, timbul dugaan bahwa AS sewaktu-waktu akan membekukan bantuan militer dan ekonominya, hanya untuk memaksakan Israel agar ke luar dari wilayah Arab yang didudukinya. Kekhawatiran ini agak beralasan. Beberapa penasihat dan tokoh yang akan ditunjuk Reagan pada posisi pemerintahannya berasal dari lembaga Hoover ini. Di situ bersarang kelompok pemikir (think-tank) yang mendukung Reagan. Dan sebelumnya, lembaga ini memang sangat dekat dengan kalangan pengambil keputusan di Partai Republik. Menurut seorang ahli di lembaga itu, pembentukan negara Palestina yang merdeka akan mengakhiri untuk selama-lamanya tuntutan Israel -- yang berdasarkan searah -- atas Tepi Barat Sungai Yordan. Apakah dokumer (hasil survei) tadi akan jadi dasar bagi pengambilan keputusan politik luar negeri AS, masih belum jelas. Namun ketika membeberkannya jurubicara lembaga itu tegas mengatakan: "Dokumen ini berkemungkinan besar menjadi 'kitab suci' Reagan dalam politik luar negeri." Pantas Israel menjadi cemas. Walaupun demikian usaha AS untuk melanjutkan perundingan Mesir-Israel masih jalan terus. Utusan khusus Presiden Jimmy Carter mengenai masalah Timur Tengah, Sol Linowitz, yang baru pulang dari kedua negara itu telah mengumumkan pendirian bersama Sadat-Begin. Dalam suatu jumpa pers, Linowitz mengatakan bahwa Presiden Sadat dan PM Menachem Begin tetap percaya dengan jalan perundingan akan dicapai kata sepakat mengenai pembentukan otonomi Palestina. Namun dengan resolusi PBB yang baru itu Mesir rupanya berpijak pada dua kemungkinan. Melalui resolusi PBB, ia setuju pembentukan negara Palestina yang dipimpin PLO. Dan melalui perundingan dengan Israel, Mesir bicara mengenai otonomi Palestina. Apakah ini pertanda masa depan perjanjian Camp David semakin suram? Raja Hussein dari Yordan dalam suatu wawancara majalah Inggris Monday Morning menggambarkan perjanjian Camp David sebagai seekor 'kuda mati'. "Perjanjian itu sama sekali tidak mengindahkan persoalan rakyat Palestina dan hak yang sah di negara mereka," kata Hussein. Sementara itu di Vatikan, Paus Yohannes Paulus II telah membicarakan masalah hak rakyat Palestina dengan Menlu Arab Saudi, Pangeran Saud Al Faisal. Paus Yohannes telah mengemukakan pada Pangeran Faisal perlunya suatu tindakan segera untuk menyelesaikan masalah Palestina. Dan kedua pemimpin itu juga menyatakan kecemasan mereka atas tindakan Israel yang memperluas ibukotanya hingga Jerusalem Timur Paus sekali lagi mengulangi dukungannya terhadap pembentukan pemerintahan bersama di kota suci Jerusalem. Namun yang tetap jadi masalah ialah nasib 1,2 juta rakyat Palestina masih terkatung-katung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus