Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kiri, Kanan, Kiri, Kanan.

Pengertian ekstrim dalam kehidupan politik indonesia menurut beberapa tokoh. Mendagri Amirmachmud mengartikan komunisme sebagai ekstrim kiri & ekstrim kanan untuk orang yang ingin mendirikan negara islam. (nas)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH ekstrim belakangan ini beredar lagi. Banyak juga pejabat menyebutnya, antara lain Mendagri Amirmachmud. Tatkala melantik Gubernur Kal-Sel yang baru, Brigjen Mistar Tjokrokoesoemo akhir November lalu, Amirmachmud memperingatkan lagi adanya bahaya dari kelompok ekstrim, "kiri" maupun "kanan". "Kelompok ini," kata Mendagri, "berusaha merusak kekompakan Orde Baru dengan cara mengadu-domba, menghasut dan memfitnah." Tujuannya, antara lain, "untuk menggagalkan Pemilu 1982." Kelompok ekstrim kiri umumnya dikaitkan dengan komunisme sedang yang dianggap ekstrim kanan adalah Islam yang ingin mendirikan negara Islam. Betulkah pendapat itu? Siapa sesungguhnya yang bisa disebut golongan ekstrim? "Pengertian ekstrim dalam kehidupan politik Indonesia bukan hanya terbatas pada ekstrim kiri dan kanan," kata Dr. Alfian, 40 tahun, Direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional, LIPI. Sambil memejamkan mata serta meremas-remas rambutnya ia menjelaskan: "Pengertian ekstrimitas ialah seseorang atau sekelompok orang yang berpendirian keras, fanatik, berpandangan sempit terhadap suatu ide, ideologi atau pandangan yang dimilikinya." "Sikap ekstrim bisa timbul juga karena rasa kesukuan, golongan sosial atau karena frustrasi. Ekstrimitas tidak selalu dimotivasikan oleh ideologi, misalnya RMS (Repbulik Maluku Selatan), Gerakan Andi Azis dan sikap anti-Cina. Tiap masyarakat, kalau diteliti pernah mengalami dan memperlihatkan sikap ekstrim -- entah dilihat dari segi suku agama, golongan atau aliran politik," urainya. Yang dimaksud Alfian, tiap orang bisa jatuh ke ekstrimitas itu. "Seseorang bisa jadi ekstrim kalau menganggap dirinya saja yang benar," lanjut Doktor dalam Ilmu Politik lulusan Universitas Wisconsin, AS, ini. Orang bisa juga ekstrim karena menolak kritik dan pandangan orang lain yang dianggap ekstrim juga. Bisa jadi, ketakutan berlebihan terhadap ekstrimitas juga akan jatuh ke sikap ekstrim yang lain. Hitam Putih Ekstrimitas tidak selalu diikuti radikalisme. Sebagai contoh Alfian menyebut masyarakat Jawa Tengah yang dianggap tenang dan terbuka. "Tapi toh terjadi tindakan radikal di sana," tutur Alfian. Menurut dia, itu membuktikan ekstrimitas bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. "Ekstrimitas dalam arti politik bisa terjadi pada mahasiswa, politisi, kelompok masyarakat lain termasuk pemerintah," ujar Alfian. Tampaknya, di Indonesia pengertian ekstrim telah bergeser dari batasannya yang semula. Sementara pejabat yang menuding kelompok ini dan itu sebagai ekstrim, jelas mengartikan dan memperlakukannya buat kelompok di luar pemerintah. Yang paling merasakan sikap seperti itu agaknya adalah kalangan parpol. "Penggunaan istilah ekstrim sekarang sudah tidak sesuai dengan falsafah ekstrimitas lagi. Pengertian ekstrim sekarang digunakan penguasa untuk politicking, (bermain politik), guna memojokkan lawan politiknya," tandas Chalid Mawardi, anggota DPR dari F-PP. Menurut Chalid, pemerintah telah menggeneralisasikan dan dengan gampang memasukkan siapa saja ke kedua ekstrim: kiri dan kanan. Ekstrim kiri dikaitkan dengan PKI sedang ekstrim kanan selalu dikaitkan dengan DI/TII/PRRI yang mencita-citakan membentuk suatu negara Islam. "Sasarannya jelas, yaitu untuk mengeliminasikan lawan-lawan politik," kata Ketua Umum Pemuda Ansor ini. Chalid menilai, beberapa pejabat pemerintah berpandangan "hitam" dan "putih" saja. "Yang diam dan tidak bersikap korektif dianggap benar. Sebaliknya yang bersikap kritis dan korektif selalu dicap ekstrim," ujarnya. Hal itu disebabkan oleh sikap beberapa pejabat yang terlalu peka terhadap kritik, sebagai produk sistem feodal yang nyatanya makin berkembang. "Sikap a priori, main cap ekstrim, justru tidak membuka wawasan bagi berkembangnya suatu demokrasi. Yang ditanggapi bukan substansi masalah yang dikemukakan, tapi siapa yang mengemukakan. Kalau yang mengemukakan sudah a priori dianggap ekstrim kiri atau kanan, jelas pintu akan segera ditutup," kata Chalid. Kapstok Pendapat Suryadi, anggota DPR dari F-PDI, mirip dengan Chalid. "Ada semacam kapstok ekstrimitas yapg digunakan sementara pejabat. Setiap tuduhan ekstrim selalu dihubungkan dengan ekstrim kiri dan kanan, tergantung maunya mereka dicantolkan ke sebelah mana," ujarnya pekan lalu. Dia sependapat, ekstrimitas berhubungan erat dengan permainan politik yang bertujuan menyudutkan orang lain. Cara memojokkan ini, menurut Suryadi, cukup efektif karena masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan gotong royong dan keselarasan jelas tidak akan senang pada kelompok ekstrim. Lain pula pendapat Sukardi, anggota DPR dari F-KP. Purnawirawan (Mayjen) ABRI ini menyangkal, tuduhan ekstrim yang diucapkan beberapa pejabat ada kaitannya dengan usaha permainan politik, walau diakuinya kadang-kadang memang bisa dikaitkan dengan politik. "Saya kira mereka yang berani menyebut ekstrim kiri dan kanan itu mempunyai bukti-bukti- tertentu," katanya. Ia mengambil contoh Mendagri Amirmachmud. "Ia memang bertanggung jawab atas stabilitas politik di dalam negeri. Jelas ia harus mempunyai data dan bukti itu," ujarnya tersenyum. Sukardi berpendapat, yang dianggap kelompok ekstrim kiri atau kanan saat ini bukanlah yang termasuk kekuatan sosial politik yang sekarang ada, tapi yang di luar itu. Buat Sukardi, yang terpenting sekarang ialah bagaimana supaya tidak ada ekstrim kanan maupun kiri lagi. Menurut dia, caranya adalah dengan melaksanakan pembangunan secara benar-benar untuk mencapai masyarakat adil makmur. Di samping itu perlu ada peningkatan komunikasi antara kekuatan sosial politik dengan pemerintah "untuk memecahkan masalah bersama dan untuk tidak menimbulkan peluang bagi ekstrimitas," ujarnya. Mengapa sikap ekstrim bisa timbul? Chalid Mawardi berpendapat, faktor yang menentukan adalah masyarakat sendiri. "Kalau masyarakat sudah fatique (capek), menghadapi jalan buntu, mereka cenderung untuk melakukan tindakan ekstrim," katanya. Kecenderungan itu akan semakin kuat terutama bila semua jalan pemecahan ditutup pemerintah. Anggota DPR dari F-PP ini tidak sependapat dengan tuduhan sementara pihak, bahwa Islam masuk ekstrim kanan. Menurut dia, Islam adalah kelompok agama yang sudah adaptatif terhadap Pancasila dan UUD 1945. "Islam selalu antikapitalis, imperialis, kolonialis dan selalu memperjuangkan kehidupan yang layak bagi rakyat kecil. Kok dikelompokkan ekstrim kanan. Apakah tidak keliru?" tanyanya. Mirip dengan Chalid, Roeslan Abdulgani -- bekas Menlu dan tokoh PNI, menolak kalau Marhaenisme digolongkan ekstrim. "Orang yang tahu Marhaenisme saya kira tidak begitu gampang menggolongkannya ideologi kiri. Dan jelas itu tidak bisa diterima," ujarnya bersemangat. "Mungkin mereka yang menuduh itu kurang pengertian," tambahnya. Roeslan tidak menyangkal, ekstrimitas sering dipakai sebagai alat politik penguasa. Pada zaman Belanda, ekstrimitas dipakai Belanda untuk memojokkan para pejuang. Namun kaum ekstrimis tidak terpojok karena masyarakat tidak percaya Belanda. "Masyarakat sekarang lebih mudah menerima apa yang dikatakan beberapa pejabat," kata Roeslan. Dan orang atau kelompok yang dituduh ekstrim itu bisa benar-benar terpojok. Ibarat Daun Bagi Chalid Mawardi, usaha menghindari ekstrimitas bisa dilakukan dengan ditegakkannya aturan permainan -- oleh pemerintah maupun masyarakat. Komitmen pemerintah terhadap ketentuan-ketentuan konstitusional, undang-undang serta pelaksanaan hukum akan sangat mengurangi ekstrimitas. "Ekstrimitas sendiri merupakan kemunduran. Gerakan ekstrim pasti akan mengundang reaksi yang ekstrim pula," ujar Chalid. Roeslan Abdulgani berpendapat, dalam pertumbuhan politik Indonesia akan selalu timbul cara-cara ekstrim. "Karena itu tiap tuduhan supaya disertai alamat yang jelas dan terperinci data-datanya," katanya. Maksudnya agar tidak menimbulkan kecurigaan lebih lanjut. Selama ini para pejabat yang melancarkan tudingan adanya kegiatan kelompok ekstrim memang tidak pernah menopang dengan data atau bukti, termasuk Mendagri Amirmachmud sendiri. Juru bicara Departemen Dalam Negeri, Feisal Tamin, dengan tegas membantah anggapan bahwa yang diucapkan Mendagri ngawur dan sekedar merupakan pernyataan politik. "Sebagai pembina stabilitas politik dalam negeri, jelas beliau punya bukti. Ibarat ada daun yang jatuh di suatu daerah, Menteri punya aparat yang memberitahukannya," ujar Feisal. Alasan mengapa bukti itu tidak diungkapkan. "Apa yang dikatakan Menteri adalah dengan data dan fakta yang dipunyai, yang sekarang ini dirasakan belum perlu dibeberkan, karena sifatnya masih berupa warning (peringatan)," kata Feisal. Jadi siapa sebenarnya yang dimaksud golongan ekstrim? "Setiap gerakan yang menghendaki digantinya Pancasila dan UUD 1945," tandas Feisal Tamin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus