ISTILAH ekstrim belakangan ini beredar lagi. Banyak juga pejabat
menyebutnya, antara lain Mendagri Amirmachmud. Tatkala melantik
Gubernur Kal-Sel yang baru, Brigjen Mistar Tjokrokoesoemo akhir
November lalu, Amirmachmud memperingatkan lagi adanya bahaya
dari kelompok ekstrim, "kiri" maupun "kanan". "Kelompok ini,"
kata Mendagri, "berusaha merusak kekompakan Orde Baru dengan
cara mengadu-domba, menghasut dan memfitnah." Tujuannya, antara
lain, "untuk menggagalkan Pemilu 1982."
Kelompok ekstrim kiri umumnya dikaitkan dengan komunisme sedang
yang dianggap ekstrim kanan adalah Islam yang ingin mendirikan
negara Islam. Betulkah pendapat itu? Siapa sesungguhnya yang
bisa disebut golongan ekstrim?
"Pengertian ekstrim dalam kehidupan politik Indonesia bukan
hanya terbatas pada ekstrim kiri dan kanan," kata Dr. Alfian, 40
tahun, Direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional, LIPI. Sambil
memejamkan mata serta meremas-remas rambutnya ia menjelaskan:
"Pengertian ekstrimitas ialah seseorang atau sekelompok orang
yang berpendirian keras, fanatik, berpandangan sempit terhadap
suatu ide, ideologi atau pandangan yang dimilikinya."
"Sikap ekstrim bisa timbul juga karena rasa kesukuan, golongan
sosial atau karena frustrasi. Ekstrimitas tidak selalu
dimotivasikan oleh ideologi, misalnya RMS (Repbulik Maluku
Selatan), Gerakan Andi Azis dan sikap anti-Cina. Tiap
masyarakat, kalau diteliti pernah mengalami dan memperlihatkan
sikap ekstrim -- entah dilihat dari segi suku agama, golongan
atau aliran politik," urainya.
Yang dimaksud Alfian, tiap orang bisa jatuh ke ekstrimitas itu.
"Seseorang bisa jadi ekstrim kalau menganggap dirinya saja yang
benar," lanjut Doktor dalam Ilmu Politik lulusan Universitas
Wisconsin, AS, ini. Orang bisa juga ekstrim karena menolak
kritik dan pandangan orang lain yang dianggap ekstrim juga. Bisa
jadi, ketakutan berlebihan terhadap ekstrimitas juga akan jatuh
ke sikap ekstrim yang lain.
Hitam Putih
Ekstrimitas tidak selalu diikuti radikalisme. Sebagai contoh
Alfian menyebut masyarakat Jawa Tengah yang dianggap tenang dan
terbuka. "Tapi toh terjadi tindakan radikal di sana," tutur
Alfian. Menurut dia, itu membuktikan ekstrimitas bisa terjadi
pada siapa saja dan kapan saja. "Ekstrimitas dalam arti politik
bisa terjadi pada mahasiswa, politisi, kelompok masyarakat lain
termasuk pemerintah," ujar Alfian.
Tampaknya, di Indonesia pengertian ekstrim telah bergeser dari
batasannya yang semula. Sementara pejabat yang menuding kelompok
ini dan itu sebagai ekstrim, jelas mengartikan dan
memperlakukannya buat kelompok di luar pemerintah.
Yang paling merasakan sikap seperti itu agaknya adalah kalangan
parpol. "Penggunaan istilah ekstrim sekarang sudah tidak sesuai
dengan falsafah ekstrimitas lagi. Pengertian ekstrim sekarang
digunakan penguasa untuk politicking, (bermain politik), guna
memojokkan lawan politiknya," tandas Chalid Mawardi, anggota DPR
dari F-PP.
Menurut Chalid, pemerintah telah menggeneralisasikan dan dengan
gampang memasukkan siapa saja ke kedua ekstrim: kiri dan kanan.
Ekstrim kiri dikaitkan dengan PKI sedang ekstrim kanan selalu
dikaitkan dengan DI/TII/PRRI yang mencita-citakan membentuk
suatu negara Islam. "Sasarannya jelas, yaitu untuk
mengeliminasikan lawan-lawan politik," kata Ketua Umum Pemuda
Ansor ini.
Chalid menilai, beberapa pejabat pemerintah berpandangan "hitam"
dan "putih" saja. "Yang diam dan tidak bersikap korektif
dianggap benar. Sebaliknya yang bersikap kritis dan korektif
selalu dicap ekstrim," ujarnya. Hal itu disebabkan oleh sikap
beberapa pejabat yang terlalu peka terhadap kritik, sebagai
produk sistem feodal yang nyatanya makin berkembang.
"Sikap a priori, main cap ekstrim, justru tidak membuka wawasan
bagi berkembangnya suatu demokrasi. Yang ditanggapi bukan
substansi masalah yang dikemukakan, tapi siapa yang
mengemukakan. Kalau yang mengemukakan sudah a priori dianggap
ekstrim kiri atau kanan, jelas pintu akan segera ditutup," kata
Chalid.
Kapstok
Pendapat Suryadi, anggota DPR dari F-PDI, mirip dengan Chalid.
"Ada semacam kapstok ekstrimitas yapg digunakan sementara
pejabat. Setiap tuduhan ekstrim selalu dihubungkan dengan
ekstrim kiri dan kanan, tergantung maunya mereka dicantolkan ke
sebelah mana," ujarnya pekan lalu. Dia sependapat, ekstrimitas
berhubungan erat dengan permainan politik yang bertujuan
menyudutkan orang lain. Cara memojokkan ini, menurut Suryadi,
cukup efektif karena masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa
dengan gotong royong dan keselarasan jelas tidak akan senang
pada kelompok ekstrim.
Lain pula pendapat Sukardi, anggota DPR dari F-KP. Purnawirawan
(Mayjen) ABRI ini menyangkal, tuduhan ekstrim yang diucapkan
beberapa pejabat ada kaitannya dengan usaha permainan politik,
walau diakuinya kadang-kadang memang bisa dikaitkan dengan
politik. "Saya kira mereka yang berani menyebut ekstrim kiri dan
kanan itu mempunyai bukti-bukti- tertentu," katanya. Ia
mengambil contoh Mendagri Amirmachmud. "Ia memang bertanggung
jawab atas stabilitas politik di dalam negeri. Jelas ia harus
mempunyai data dan bukti itu," ujarnya tersenyum.
Sukardi berpendapat, yang dianggap kelompok ekstrim kiri atau
kanan saat ini bukanlah yang termasuk kekuatan sosial politik
yang sekarang ada, tapi yang di luar itu. Buat Sukardi, yang
terpenting sekarang ialah bagaimana supaya tidak ada ekstrim
kanan maupun kiri lagi. Menurut dia, caranya adalah dengan
melaksanakan pembangunan secara benar-benar untuk mencapai
masyarakat adil makmur. Di samping itu perlu ada peningkatan
komunikasi antara kekuatan sosial politik dengan pemerintah
"untuk memecahkan masalah bersama dan untuk tidak menimbulkan
peluang bagi ekstrimitas," ujarnya.
Mengapa sikap ekstrim bisa timbul? Chalid Mawardi berpendapat,
faktor yang menentukan adalah masyarakat sendiri. "Kalau
masyarakat sudah fatique (capek), menghadapi jalan buntu, mereka
cenderung untuk melakukan tindakan ekstrim," katanya.
Kecenderungan itu akan semakin kuat terutama bila semua jalan
pemecahan ditutup pemerintah.
Anggota DPR dari F-PP ini tidak sependapat dengan tuduhan
sementara pihak, bahwa Islam masuk ekstrim kanan. Menurut dia,
Islam adalah kelompok agama yang sudah adaptatif terhadap
Pancasila dan UUD 1945. "Islam selalu antikapitalis, imperialis,
kolonialis dan selalu memperjuangkan kehidupan yang layak bagi
rakyat kecil. Kok dikelompokkan ekstrim kanan. Apakah tidak
keliru?" tanyanya.
Mirip dengan Chalid, Roeslan Abdulgani -- bekas Menlu dan tokoh
PNI, menolak kalau Marhaenisme digolongkan ekstrim. "Orang yang
tahu Marhaenisme saya kira tidak begitu gampang menggolongkannya
ideologi kiri. Dan jelas itu tidak bisa diterima," ujarnya
bersemangat. "Mungkin mereka yang menuduh itu kurang
pengertian," tambahnya.
Roeslan tidak menyangkal, ekstrimitas sering dipakai sebagai
alat politik penguasa. Pada zaman Belanda, ekstrimitas dipakai
Belanda untuk memojokkan para pejuang. Namun kaum ekstrimis
tidak terpojok karena masyarakat tidak percaya Belanda.
"Masyarakat sekarang lebih mudah menerima apa yang dikatakan
beberapa pejabat," kata Roeslan. Dan orang atau kelompok yang
dituduh ekstrim itu bisa benar-benar terpojok.
Ibarat Daun
Bagi Chalid Mawardi, usaha menghindari ekstrimitas bisa
dilakukan dengan ditegakkannya aturan permainan -- oleh
pemerintah maupun masyarakat. Komitmen pemerintah terhadap
ketentuan-ketentuan konstitusional, undang-undang serta
pelaksanaan hukum akan sangat mengurangi ekstrimitas.
"Ekstrimitas sendiri merupakan kemunduran. Gerakan ekstrim pasti
akan mengundang reaksi yang ekstrim pula," ujar Chalid.
Roeslan Abdulgani berpendapat, dalam pertumbuhan politik
Indonesia akan selalu timbul cara-cara ekstrim. "Karena itu tiap
tuduhan supaya disertai alamat yang jelas dan terperinci
data-datanya," katanya. Maksudnya agar tidak menimbulkan
kecurigaan lebih lanjut.
Selama ini para pejabat yang melancarkan tudingan adanya
kegiatan kelompok ekstrim memang tidak pernah menopang dengan
data atau bukti, termasuk Mendagri Amirmachmud sendiri.
Juru bicara Departemen Dalam Negeri, Feisal Tamin, dengan tegas
membantah anggapan bahwa yang diucapkan Mendagri ngawur dan
sekedar merupakan pernyataan politik. "Sebagai pembina
stabilitas politik dalam negeri, jelas beliau punya bukti.
Ibarat ada daun yang jatuh di suatu daerah, Menteri punya aparat
yang memberitahukannya," ujar Feisal.
Alasan mengapa bukti itu tidak diungkapkan. "Apa yang dikatakan
Menteri adalah dengan data dan fakta yang dipunyai, yang
sekarang ini dirasakan belum perlu dibeberkan, karena sifatnya
masih berupa warning (peringatan)," kata Feisal.
Jadi siapa sebenarnya yang dimaksud golongan ekstrim? "Setiap
gerakan yang menghendaki digantinya Pancasila dan UUD 1945,"
tandas Feisal Tamin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini