Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah ruang kecil di pengadilan Bagdad, Djamila Boutoutao, warga negara Prancis, menggendong putrinya yang berusia dua tahun. Perempuan 29 tahun itu didakwa sebagai anggota kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Janda kombatan ISIS itu mengaku hidupnya sudah tak tertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Aku akan jadi gila di sini," kata perempuan kecil berkacamata itu, seperti dikutip The Guardian. "Jangan biarkan mereka mengambil anakku. Aku bersedia membayar jika Anda dapat menghubungi orang tuaku. Tolong bawa aku keluar dari sini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir Mei lalu, Boutoutao bersama 14 perempuan lain, yang semuanya janda anggota ISIS, diadili dengan tuduhan sebagai anggota kelompok teroris yang pernah menguasai sebagian wilayah Irak itu. Sebagian dari mereka memang bergabung karena kehendak sendiri, terbang sendiri dari Eropa atau Asia, atau bersama pasangan mereka, menuju apa yang mereka percayai sebagai tanah yang dijanjikan. Mereka terancam hukuman penjara seumur hidup atau digantung.
Lebih dari 40 ribu orang asing dari 110 negara diperkirakan datang ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Sekitar 1.900 orang di antaranya diperkirakan warga Prancis dan 800 warga Inggris.
Boutoutao tiba di Irak pada 2014 bersama Mohammed Nassereddine, suaminya-penyanyi rap dan dua anaknya. Suaminya tewas terbunuh di Mosul pada 2016 dan kedua anaknya meninggal setahun kemudian saat markas kelompok itu dibom tentara Irak dengan dukungan Amerika Serikat. Setelah ISIS jatuh pada Desember tahun lalu, Boutoutao ditangkap milisi Kurdi, Peshmerga, di Irak utara, lalu dikirim ke Bagdad untuk diadili.
Di depan hakim, Boutoutao berkisah bahwa dia diajak suaminya ke Turki untuk liburan. Tapi, "Ketika di Turki, saya mengetahui bahwa suami saya adalah jihadis," ujarnya. Dia mengaku dipaksa masuk ISIS. Pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup untuknya.
Awal Juni lalu, pengadilan Irak juga menjatuhkan vonis penjara 20 tahun kepada Melina Boughedir, perempuan Prancis kedua yang divonis bersalah karena bergabung dengan ISIS. Akhir April lalu, pengadilan memvonis 19 perempuan Rusia dengan hukuman penjara seumur hidup. Pengadilan juga mengetuk palu hukuman mati untuk tiga perempuan Azerbaijan dan seorang perempuan Kirgistan. Mereka semua dikenai dakwaan yang sama.
Boughedir adalah janda anggota ISIS. Suaminya diperkirakan tewas dalam serangan pasukan koalisi pimpinan Amerika ke Mosul, "ibu kota" ISIS di Irak utara. Sebenarnya, pada Februari lalu, Boughedir sudah divonis penjara tujuh tahun karena terbukti masuk secara ilegal ke negeri itu dan akan dideportasi ke kampung halamannya. Tapi perempuan 27 tahun itu kemudian diadili lagi di bawah undang-undang antiteroris. Undang-undang ini mengizinkan pengadilan mendakwa orang yang diyakini telah membantu ISIS meski tidak melakukan kekerasan.
Perempuan yang mengenakan jubah dan hijab hitam itu masuk ke ruang sidang sambil menggendong anak bungsunya. Tiga anaknya yang lain sudah dikirim pulang ke Prancis. "Saya tak bersalah," kata Boughedir di persidangan. "Suami saya menjebak saya dan kemudian mengancam akan meninggalkan saya dan anak-anak jika tidak ikut dia ke Irak." Tapi hakim tetap menjatuhkan vonis bersalah untuknya. Tim pengacaranya mengaku "lega" kliennya terhindar dari hukuman mati, tapi berjanji akan mengajukan permohonan banding.
Irak telah menahan sekitar 200 ribu orang yang terkait dengan ISIS. Sejak Januari lalu, pengadilan negara itu telah menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap 300 orang lebih, termasuk lusinan orang asing, dan mereka mulai dieksekusi pada April lalu. Dakwaan terhadap mereka antara lain membunuh aparat keamanan, melakukan penculikan, dan bergabung ke ISIS.
Pemerintah Irak juga menahan sekitar 1.400 perempuan, yang sebagian besar istri kombatan ISIS dan sebagian hamil, bersama sekitar 840 anak mereka. Pengadilan Bagdad mengadili mereka secara kilat dan maraton: hanya 10 menit untuk mendengarkan keterangan terdakwa, lalu jaksa membuat pernyataan pendek dan pembela membaca ringkasan kasusnya. Bahkan seorang pembela, pengacara yang ditunjuk pemerintah, mengaku belum sempat bertemu dengan kliennya dan hanya memegang ringkasan hasil penyidikan menjelang sidang.
Human Rights Watch telah memprotes penahanan para perempuan itu karena tanpa dasar hukum dan tak melalui prosedur pengadilan. Beberapa remaja bahkan dilaporkan hilang ketika dipindahkan dari kamp pengungsi. Pada September 2017, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengatakan sebagian besar perempuan asing dan anak-anak itu tak bersalah dan pemerintah akan menghubungi negara asal mereka untuk "mencari cara mengembalikan mereka". Tapi, nyatanya, tak ada tahanan yang dipulangkan.
Lembaga hak asasi dunia itu juga meminta pemerintah Irak menjernihkan soal dasar hukum penahanan mereka dan membawa mereka ke pengadilan atau segera membebaskan mereka. Menurut organisasi pemantau hak asasi manusia internasional itu, banyak di antara perempuan asing itu memang masuk Irak secara ilegal, tapi tak semuanya anggota ISIS.
Para janda anggota ISIS dan anak-anak mereka kini menjadi masalah besar bagi Irak. Para perempuan tersebut mungkin akan dipenjara atau dihukum mati. Bagaimana setelah itu? Negara asal mereka tampaknya akan menolak mereka. Kalaupun bisa pulang, hidup mereka akan terancam. Bagaimana pula nasib anak-anak mereka?
Persoalan ini tak hanya menimpa warga asing, tapi juga warga Irak sendiri. Fatima, orang Irak yang suaminya anggota ISIS, misalnya, kini bertahan di kamp pengungsi Hassan Sham U2, sekitar 35 kilometer ke arah timur dari Mosul. Dia tak ingin pulang karena takut akan menghadapi balas dendam keluarga dan tetangganya atas kerusakan yang diakibatkan ISIS. "Kami akan bertahan di kamp ini sampai Allah memberikan pemecahan," ujar Fatima, yang kini hidup bersama putrinya, Bushra, 18 tahun, seperti dikutip media lokal Rudaw, awal Juni lalu.
Ibrahim, remaja Irak yang mengambil alih tanggung jawab keluarga setelah ayahnya bergabung ke ISIS, hanya punya harapan sederhana. "Saya ingin tinggal di sini atau di mana saja saya boleh tinggal. Saya akan hidup bersama keluarga saya dengan tenang. Jika ada pekerjaan untuk saya, akan saya kerjakan," tuturnya.
Pendapat Mustafa Rashid, dealer mobil di Bagdad, mungkin mewakili pandangan umum masyarakat Irak sekarang yang memusuhi ISIS. "Persetan dengan mereka. Mereka tak layak dikasihani. Para perempuan itu juga," kata Mustafa kepada The Guardian.
Sebanyak 6.235 orang kini tinggal di Hassan Sham. Mereka kabur dari Mosul ketika kota itu diserang habis-habisan oleh pasukan koalisi Amerika, Kurdi, dan Irak. Hidup mereka bergantung pada Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi serta bantuan dari berbagai lembaga kemanusiaan, seperti Yayasan Kemanusiaan Syekh Thani bin Abdullah dari Qatar dan Yayasan Amal Barzani. Tapi masa depan mereka suram.
"Dunia memerlukan sebuah rencana untuk menangani para janda dan anak-anak kombatan ISIS ini," kata Belkis Wille, peneliti senior Human Rights Watch di Irak. Tapi, sejauh ini, Irak belum punya rencana apa pun untuk mengurus mereka.
Iwan Kurniawan (The Guardian, Agence France-Presse, Rudaw)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo