Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Nyanyi Terakhir Di Kramat 128

Musikus Ari Dite Malibu berpulang. Menghidupkan unsur bunyi dalam puisi.

20 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nyanyi Terakhir Di Kramat 128

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH konser kecil digelar di Rumah Sakit Kramat 128, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Sang penampil adalah Reda Gaudiamo, personel duo AriReda. Penonton tunggal dalam konser itu adalah Ari Dite Malibu, pasangan Reda dalam bernyanyi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam bulan lalu, Ari divonis mengidap kanker kerongkongan. Malam takbiran Kamis pekan lalu, ia berpulang pada usia 58 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehari sebelum wafat, kondisinya sudah sangat payah. Berat tubuhnya susut. Perutnya dilubangi untuk memasok makanan yang tidak bisa masuk lewat kerongkongan yang terganjal sel kanker.

Nyanyi Terakhir Di Kramat 128

Siang itu di Kamar 104, sambil memangku gitar, Reda duduk bersandar pada tembok cokelat. Di sisinya, Ari tergeletak dengan pelbagai slang infus di tubuh dan masker hijau penyuplai oksigen menutupi mulut dan hidung. Rambutnya tetap seperti dulu: gondrong dan awut-awutan. "Dia minta gua nyanyi," kata Reda.

Reda memetik gitar. Mata Ari sesekali terbuka, memandang lemah pasangannya bernyanyi itu. Tiap kali Reda berhenti bersenandung, Ari menggeram, memberi tanda agar terus. Reda menyanyikan Circle Games, Let It Be, Both Sides Now, dan The Boxer. Putra kedua Ari, Jerash Ardito Malibu, belakangan ikut memetik gitar.

Reda mengalunkan pula Puff The Magic Dragon, syair tentang persahabatan naga dan seorang bocah kecil.

Puff the magic dragon lived by the sea.

And frolicked in the autumn mist in a land called Honahlee.…

Persahabatanlah yang mengikat Ari dan Reda. Adalah komedian Pepeng pada 1982 yang mempertemukan mereka. Reda adalah mahasiswa Sastra Prancis Universitas Indonesia dan Ari mahasiswa Akademi Pimpinan Perusahaan. Setelah pertemuan itu, keduanya kerap tampil dalam sejumlah konser musik mahasiswa.

Ari otodidak belajar musik. Pada awal 1980-an, ia muncul dalam program pelajaran bahasa Inggris asuhan Anton Hilman di TVRI. Dari sana, ia mulai dikenal sebagai pelantun syair balada seperti John Denver dan Simon & Garfunkel.

Pada 1987, AriReda terlibat dalam proyek apresiasi seni yang diprakarsai Sapardi Djoko Damono dan Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Tujuannya: membantu orang awam menikmati puisi lewat lagu. Dalam proyek ini, keduanya memusikkan lima sajak karya Toto Sudarto Bachtiar, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Amir Hamzah, dan Abdul Hadi W.M.

Setelah itu, mereka menghasilkan Hujan Bulan Juni, kumpulan musikalisasi sajak Sapardi. Direkam dalam format kaset C-90, album itu segera meluas: beredar dari tangan ke tangan, dikopi pendengar tanpa mengindahkan hak cipta. Dua sajak Sapardi, "Hujan Bulan Juni" dan "Aku Ingin", dengan segera menjadi populer.

Album yang murni dikerjakan mereka sebetulnya baru tiga: Becoming Dew (2007), AriReda Menyanyikan Puisi (2015), dan Suara dari Jauh (2017). Yang terakhir adalah kumpulan musikalisasi sajak Goenawan Mohamad. Ketika Ari mulai sakit, mereka memproduksi tiga album lagi: musikalisasi sajak Todung Mulya Lubis, Antologi Penyair Indonesia (dari Amir Hamzah hingga Aan Mansyur), dan Sapardi's Double Album. Yang terakhir berisi semua sajak Sapardi yang belum sempat direkam. Ketiga album itu belum diluncurkan hingga Ari wafat.

Tak bisa ditolak, duet itu berjasa mengajak khalayak menikmati puisi lewat cara lain. "AriReda menghidupkan unsur bunyi dalam puisi," kata Goenawan dalam peluncuran album Suara dari Jauh. "Sesuatu yang bukan tugas penyair lagi."

Karena tafsir musikal itu, sajak-sajak yang keduanya nyanyikan menjadi karya sendiri dan menemukan penikmatnya sendiri-melampaui syair dan sang penyair. Sajak "Aku Ingin" karya Sapardi, misalnya, pernah dipakai sebagai kutipan undangan perkawinan dan disebut karya Kahlil Gibran. Sajak "Karena Kata" karya Ag.S. Arya Dipayana oleh sebuah blog pernah disebut sebagai karya Sapardi. Saat ini kerja duet itu menemukan pasar yang baru: anak muda milenial. "Sulit buat kami meninggalkan musikalisasi puisi setelah mengetahui minat yang besar dari pendengar muda," ujar Reda suatu ketika.

Karena menemukan khalayak yang bersemangat itulah mereka menggeber kegiatan. Selain memproduksi album, keduanya aktif menggelar tur. Dalam tiga tahun terakhir, mereka berkeliling ke puluhan daerah. Akhir tahun lalu, tur tujuh kota bertajuk "Menunggu Kemarau"-diangkat dari sajak Abdul Hadi W.M.-diselenggarakan ketika kesehatan Ari mulai merosot.

Pada konser terakhir di Institut Français d'Indonésie, Jakarta, Januari lalu, tanda-tanda sakit itu sudah terlihat. Beberapa kali petikan gitar Ari "meleset". "Gua sedang enggak fit," kata Ari saat jeda.

Lima bulan kemudian, ia berpulang. Jenazahnya dimakamkan di permakaman umum Tanah Kusir, Jakarta-dua hari setelah "konser" dua sahabat di Rumah Sakit Kramat 128.

Arif Zulkifli

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus