Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak Bayan Samara, guru di Yordania, sering bertanya mengapa dia tidak dapat membelikan mereka pakaian atau mainan baru lagi. "Ini membuat hatiku hancur," kata perempuan 30 tahun itu kepada Reuters, awal Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samara dan suaminya, Ahmad, kini berjuang agar keluarganya dapat bertahan hidup di tengah situasi perekonomian yang lesu di Yordania. Dalam dua tahun terakhir, kenaikan harga yang tajam memaksa pasangan ini memindahkan anak-anak mereka ke sekolah umum dan memangkas asuransi kesehatan. Meski sama-sama bekerja, penghasilan keduanya hampir tidak cukup untuk menutupi cicilan rumah dan pengeluaran sehari-hari buat putra dan dua putri mereka, yang berusia 6-8 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu sebabnya Samara bergabung bersama ribuan pemuda dan keluarga dalam aksi demonstrasi besar di Amman, ibu kota negeri itu, bersama anaknya. "Kami membantu anak-anak agar memahami bahwa ini adalah masa sulit karena kami punya pemerintah yang berisi 'orang jahat', seperti kata putraku," ujarnya.
Rand Sawalha, pegawai negeri Yordania, juga memutuskan turun ke jalan. "Segalanya sudah tak tertahankan bagiku," kata Sawalha di Al Jazeera, awal Juni lalu. Perempuan ahli asuransi itu mengeluh soal sewa rumah yang menggerogoti gaji, tagihan listrik yang naik berlipat ganda, dan biaya sekolah yang meroket. "Biaya satu tahun pendidikan prasekolah sekarang lebih besar daripada yang saya bayar untuk seluruh gelar insinyur saya," ujarnya. Padahal ia dan suaminya sama-sama bekerja untuk menghidupi tiga anaknya.
Ini gelombang unjuk rasa terbesar di negeri itu dan telah berlangsung sepekan. Krisis ekonomi yang seakan-akan tak berkesudahan memaksa rakyat Yordania turun ke jalan dalam demonstrasi yang dipimpin Dewan Perhimpunan Profesional, koalisi berbagai kelompok profesi negeri itu. Mereka menyalahkan kebijakan ekonomi dan reformasi pajak yang diterbitkan Perdana Menteri Hani al-Mulki.
Pemerintah mencabut subsidi makanan pokok roti pitta sejak Januari lalu, yang mendorong naiknya harga makanan itu. Harga roti pitta putih naik dari 0,25 dinar (sekitar Rp 5.000) menjadi 0,4 dinar (sekitar Rp 7.800) per kilogram, sementara harga roti pitta besar terdongkrak hampir dua kali lipat. Ini kenaikan terbesar sejak 1996. Untuk mengurangi beban hidup bagi kaum miskin, pemerintah memberikan bantuan dana tunai.
Ketika mengumumkan pencabutan subsidi, Menteri Perdagangan Yarub Qudah mengatakan kebijakan itu berlangsung hingga akhir tahun, saat pemerintah punya cadangan gandum yang cukup. Dengan cara itu, pemerintah akan menghemat Rp 2 triliun.
Penghematan ini merupakan bagian dari syarat yang diajukan Dana Moneter Internasional (IMF) saat menggelontorkan utang sebesar US$ 723 juta (Rp 10 triliun lebih) untuk tiga tahun pada 2016. Kebijakan ekonomi yang mencekik leher rakyat ini akan digunakan untuk membayar utang negara, yang hampir mencapai Rp 500 triliun, selain buat memacu perbaikan dan pertumbuhan ekonomi negara berpenduduk 10 juta jiwa itu. Utang itu kini mencapai 95 persen dari produk domestik bruto, naik dari 71 persen pada 2011.
Perekonomian Yordania terguncang setelah sekutunya yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait, menghentikan program bantuan keuangan rutin ke Amman senilai Rp 50 triliun lebih pada akhir 2017. Amerika Serikat kini satu-satunya negara donor yang masih menyokong Yordania. Februari lalu, Amerika memberikan bantuan Rp 89 triliun untuk lima tahun, tapi sepertiganya buat militer.
Padahal Yordania harus mengurusi sekitar 1,4 juta pengungsi perang Suriah. Ini belum termasuk pengungsi Palestina dan Irak sebelumnya. Bisa dibilang, warga Yordania kini hanya separuh dari total penduduk negeri itu. Kerajaan ini juga harus menjaga keamanan perbatasannya dengan Suriah dan Irak. Pengamanan perbatasan sepanjang 800 kilometer itu jelas memerlukan ongkos besar.
Di tengah situasi itu, Yordania berusaha mengatasi masalah ekonomi dengan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pajak pada Mei lalu. Rancangan ini memuat usul kenaikan pajak bagi para pekerja paling sedikit 5 persen dan untuk bisnis 20-40 persen. Itulah yang kini diprotes para pengunjuk rasa di Amman.
Dalam demonstrasi pada Ahad awal Juni lalu, ribuan orang muda dan setengah baya, perempuan dan laki-laki, bernyanyi dan meneriakkan seruan agar pemerintah mengundurkan diri, rancangan itu ditarik, dan reformasi diwujudkan. "Rakyat menginginkan kejatuhan pemerintah! Roti, kebebasan, keadilan sosial!" teriak para demonstran di jalan.
Tariq Tell, profesor politik di American University of Beirut, mengatakan kebijakan itu telah menerpa kelas menengah. "Undang-undang pajak baru akan menekan orang yang punya pendapatan Rp 19-29 juta per bulan. Sedangkan kelas bisnis pada dasarnya tidak membayar pajak. Banyak celah yang bisa ditutup, tapi kelas menengah seakan-akan sedang dihukum. Itulah sebabnya mereka memobilisasi diri," ujar Tariq, seperti dilansir Middle East Eye.
Protes besar itu berujung pada mundurnya Hani al-Mulki. Raja Abdullah II kemudian menunjuk Omar al-Razzaz, ekonom Bank Dunia dan mantan Menteri Pendidikan, sebagai penggantinya, Senin awal Juni lalu. Raja Abdullah mengatakan memang ada "kegagalan dan kelambanan dari beberapa pejabat dalam pengambilan keputusan" dan "dunia belum sepenuhnya memikul tanggung jawab" dengan mengurangi bantuan.
Empat hari kemudian, setelah bertemu dengan pengusaha besar, bankir, dan pemimpin perhimpunan profesi, Razzaz menyatakan akan menarik Rancangan Undang-Undang Pajak setelah kabinet baru terbentuk. "Pendekatan dialog dan konsultasi akan dilakukan pemerintah dalam pengambilan kebijakan publik. Penarikan rancangan itu adalah langkah ke arah sana," katanya di Twitter.
Perwakilan IMF langsung terbang ke Amman dan bertemu dengan sejumlah pejabat. Mereka menyatakan telah melakukan diskusi yang "produktif" dengan pemerintah. "Kemajuan penting telah diambil sebagai rekomendasi kepada dewan eksekutif kami untuk peninjauan kedua program dukungan IMF," ujar Gerry Rice, Direktur Departemen Komunikasi IMF, seperti dikutip The Jordan Times. "Ini akan menambah bantuan ke Yordania senilai sekitar Rp 978 miliar."
Dewan Perhimpunan Profesional menyambut baik perkembangan ini dan pada awalnya memutuskan menghentikan unjuk rasa untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah baru. Tapi para demonstran marah dan menuntut unjuk rasa dilanjutkan. Akhirnya, Ali Obous, pemimpin Dewan, mengumumkan bahwa tekanan terhadap penghapusan rancangan akan dilanjutkan.
Kenyataannya, unjuk rasa kemudian berkurang, meski beberapa kelompok profesi tetap menggelar demonstrasi. Hamed al-Mahasneh, seorang insinyur sipil, misalnya, tetap ambil bagian dalam aksi duduk di markas perhimpunan profesional. "Unjuk rasa kami harus berlanjut karena kami tidak menentang orang-orang tertentu di pemerintahan, tapi melawan pendekatan pemerintah dan pengabaian terhadap tuntutan kami," katanya. "Pemerintah harus serius memerangi korupsi. Sebelum meminta rakyat membayar pajak, pemerintah harus bersih. Kami harap pemerintah baru ini akan berbeda."
Di belakang seruan para demonstran untuk menghapus reformasi pajak, ada kemarahan mereka terhadap korupsi, kroniisme, dan salah urus fiskal. "Klaim para pengunjuk rasa bahwa korupsi merupakan masalah inti cukup akurat," ujar Pete Moore, profesor dan direktur studi pascasarjana di Case Western Reserve University, Amerika.
Mata rakyat Yordania sekarang tertuju kepada Omar al-Razzaz. Raja Abdullah menginstruksikan agar Razzaz mulai melakukan dialog nasional tentang undang-undang pajak pendapatan. Undang-undang itu berfokus memperbaiki penarikan pajak, mengatasi penggelapan pajak, dan menambah pendapatan dari pajak, yang diharapkan akan menaikkan pendapatan negeri itu hampir Rp 6 triliun setahun.
Abdul Manan (Al Jazeera, Reuters, Middle East Eye, The Jordan Times)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo