Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bersiaga di dekat perbatasan Jalur Gaza dan Israel saat ribuan penduduk Palestina melancarkan protes sejak 30 Maret lalu. Protes "Pawai Mudik Akbar" ini adalah tuntutan warga Palestina agar berhak pulang ke kampung halamannya yang kini diduduki Israel. Para tenaga medis itu mengenakan jas putih, kadang berlapis rompi jingga, merah, atau hijau menyala. Emblem Palang Merah atau Bulan Sabit Merah menempel di seragam mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri dalam jangkauan para demonstran Palestina, pekerja medis ini biasanya mengawasi sekeliling mereka. Dengan masker terpasang menutupi mulut dan hidung, mereka bersiap dalam tim-tim kecil, lengkap dengan tandu untuk menggotong korban yang jatuh. Begitu mendengar suara tembakan, mereka bergegas lari ke arah korban, menyelamatkannya ke tenda medis atau ambulans.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para relawan medis itu sadar risiko yang mereka hadapi saat mendatangi demonstran yang ambruk ditembak tentara Israel. Nasib buruk itulah yang menimpa relawan medis Razan Ashraf al-Najjar. Perawat 21 tahun asal Khuzaa, desa di dekat Khan Yunis, kota di selatan Jalur Gaza, ini tewas setelah dadanya diterjang peluru tentara Israel, 1 Juni lalu. Razan tercatat sebagai orang Palestina ke-119 yang tewas sejak protes "Pawai Mudik Akbar" dimulai.
Reda al-Najjar, rekan Razan, mengatakan saat itu petugas medis mendekati pagar perbatasan untuk mengevakuasi seorang pria yang terluka dan demonstran lain yang tersedak akibat gas air mata. "Saya di sana saat Razan terluka. Ketika kami makin dekat ke pagar, pasukan Israel secara intensif menembakkan gas air mata dan peluru ke arah kami," ujarnya, seperti dikutip Middle East Eye.
Gas air mata dan asap hitam memenuhi tempat itu. Menurut Reda, sangat sulit bagi petugas medis untuk bernapas. "Tiba-tiba Razan menunjuk ke punggungnya, lalu jatuh ke tanah. Darah berlumuran di seragamnya," kata Reda. Fares al-Kidra, rekan Razan lainnya, mengaku mendengar tiga tembakan saat mereka pergi dan kemudian Razan roboh.
Al-Mezan, kelompok hak asasi manusia yang bermarkas di Gaza, mengatakan Razan berada 100 meter dari pagar ketika ditembak. Keterangan ini diperkuat video amatir yang diperoleh Associated Press yang menunjukkan Razan dan sekelompok petugas medis berjalan menuju pagar serta mengangkat tangan mereka untuk menjemput seorang pria yang terluka dan tergeletak.
Namun bahasa tubuh itu, kata Al-Mezan, tak diindahkan penembak jitu Israel. Razan, yang mengenakan hijab biru gelap dan jas putih berlogo Perkumpulan Bantuan Medis Palestina, organisasi tempatnya menjadi relawan medis, harus kehilangan nyawa. "Kami paramedis tidak punya senjata," ujar Reda. "Kami hanya punya alat medis."
"Lihatlah bagaimana tentara Israel mengincar kami. Kami hanya menyelamatkan orang-orang yang terluka dan menyembuhkan mereka," kata Razan dalam wawancara sebelum kematiannya.
Razan Ashraf al-Najjar menggeluti dunia paramedis setelah lulus kuliah keperawatan umum dan mengikuti sejumlah program pertolongan pertama. Sebelum bergabung dengan Perkumpulan Bantuan Medis Palestina, anak sulung dari enam bersaudara ini sering menjadi relawan medis di beberapa rumah sakit dan organisasi medis, seperti Humanitarian Care Malaysia Berhad asal Malaysia.
Ibunda Razan, Sabrin al-Najjar, mengenang putrinya sebagai paramedis yang pemberani. "Dia tidak pernah takut kepada penembak jitu Israel," ucapnya. Razan, menurut sang ibu, biasanya bertugas saban Jumat sejak pukul 7 pagi hingga 8 malam. Putrinya itu berkonsentrasi menolong perempuan dan anak-anak yang terluka selama aksi protes. "Dia dulu sering pulang dengan seragam penuh darah para korban."
Ribuan orang Palestina di Gaza, termasuk ratusan pekerja medis berseragam, mengikuti prosesi pemakaman Razan esok harinya. Pejabat kesehatan Gaza mengatakan Razan bukan paramedis pertama yang kehilangan nyawa sejak 30 Maret lalu.
Sebelumnya, Moussa Abu Hassanein juga tewas di tangan Israel. Paramedis 36 tahun dari lembaga Pertahanan Sipil Palestina ini ditembak dalam perjalanan untuk menyelamatkan seorang pengunjuk rasa yang terluka, 14 Mei lalu. Saat itu, unjuk rasa meningkat setelah pemerintah Amerika Serikat resmi memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dalam unjuk rasa hari itu, 60 orang Palestina tewas dan lebih dari 2.700 lainnya terluka ditembak tentara Israel.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sedikitnya 238 paramedis terluka sejak protes dimulai. Ada yang terkena peluru tajam atau granat gas air mata ataupun terpapar gas air mata. Dari seberang pagar, pasukan Israel juga mampu merusak 38 ambulans.
Menurut laporan terbaru Safeguarding Health in Conflict, koalisi lembaga swadaya masyarakat, wilayah pendudukan Palestina berada di urutan kedua sebagai daerah paling rawan bagi pelayanan kesehatan-setelah Suriah. Sepanjang 2017, tercatat ada 93 serangan, termasuk kekerasan, terhadap pekerja medis di Palestina, yang kebanyakan dikaitkan dengan militer Israel.
Militer Israel membantah tudingan bahwa penembak jitunya mengincar Razan. Menanggapi kecaman internasional, Pasukan Keamanan Israel (IDF) berdalih Razan ditembak secara tidak sengaja oleh seorang prajurit yang hendak membidik orang lain.
Militer Israel kemudian menyatakan sedang menyelidiki kasus ini. "Kasus seorang sipil yang dibunuh oleh tembakan IDF sedang diselidiki oleh eselon komando yang relevan dan diperiksa melalui mekanisme wawancara oleh staf jenderal," kata mereka dalam pernyataan yang diterima The Jerusalem Post.
Namun, belakangan, unit media sosial militer Israel malah menyebarkan video propaganda untuk menjelek-jelekkan Razan. Dalam video berdurasi 27 detik yang dirilis via Twitter itu, IDF menuduh Razan terlibat dalam kerusuhan. Razan disebut mengaku sebagai "perisai manusia" untuk melindungi milisi kelompok Hamas yang menyamar sebagai pemrotes.
IDF menyunting terjemahan wawancara Razan dengan Al Mayadeen TV, stasiun televisi yang berbasis di Beirut, Libanon. Razan, dalam pernyataan lengkapnya, berkata, "Saya di sini sebagai perisai manusia penyelamat untuk melindungi dan menyelamatkan yang terluka di garis depan." Pernyataan itulah yang dimodifikasi IDF. "Razan al-Najjar bukanlah malaikat seperti dikampanyekan Hamas," kata juru bicara IDF, Avichay Adraee, dalam cuitannya.
Berang atas ulah Israel, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf al-Qedra, seperti dikutip Al Jazeera, mendesak komunitas internasional ikut campur tangan dan menghentikan pembantaian Israel terhadap para demonstran Palestina, warga sipil, paramedis, dan wartawan.
Nasib yang menimpa Razan adalah risiko tertinggi yang menghadang pekerja medis. "Saya telah membawa pergi sembilan orang yang terluka dari garis depan. Ketika saya akan membawa seorang lagi korban luka, dua peluru menghantam kaki saya," ujar paramedis Hamdan Madi. Tembakan itu melumpuhkan Madi dan membuatnya kini hanya bisa tergolek di Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis.
Selama "Pawai Mudik Akbar", saban hari relawan medis dikerahkan untuk memberikan bantuan dan perawatan medis kepada warga Palestina yang terluka akibat kawat berduri, tembakan gas air mata, ataupun peluru tajam tentara Israel. "Pekerjaan paramedis berisiko, tapi mereka masih terus melaksanakan misi kemanusiaan ini," kata Hakim Nihad Othman, pendiri kelompok relawan medis di Gaza, seperti diberitakan Xinhua.
Mahardika Satria Hadi (Middle East Eye, Al Jazeera, Khaleej Times, The Jerusalem Post)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo