Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jatuhkan mobutu

Menyusul beberapa kerusuhan, presiden zaire mobutu sese seko bersedia menegakkan pemerintahan multipartai. kondisi ekonominya anjlok, akibat penghentian bantuan dari imf, belgia dan perancis.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menyusul kerusuhan lalu, Zaire mencoba menegakkan pemerintahan multipartai. Ekonominya anjlok, setelah bantuan disetop. INILAH pilihan bagi negeri yang terlalu lama diperintah oleh seorang penguasa yang otoriter: apakah Presiden Mobutu bersedia mempraktekkan pemerintahan multipartai, atau Zaire akan terus berada dalam kekacauan. Akhir pekan lalu, Mobutu Sese Seko diharapkan tak lagi mencampuri urusan pemerintahan yang dijalankan oleh perdana menteri. Munculnya pilihan itu terjadi ketika Republik Zaire, yang dahulu bernama Republik Kongo, bekas jajahan Belgia, dilanda kerusuhan berdarah. Itu terjadi tiga pekan lalu. Ratusan tentaranya melakukan penjarahan terhadap penduduk sipil dan warga negara asing, menuntut kenaikan gaji. Perampokan toko dan rumah-rumah, pemukulan dan perkosaan, konon banyak menimpa warga Barat dalam kekacauan dua hari itu lebih dari 100 orang tewas. Pemerintah Belgia dan Prancis terpaksa mengirimkan pasukannya ke Kinshasa, ibu kota Zaire, untuk melindungi warga negara Barat. Di negeri di jantung Afrika berpenduduk 40 juta ini bermukim sekitar 40.000 orang Portugis, 11.000 Belgia, 3.000 Prancis, dan 3.500 Amerika. Beberapa hari kemudian, untuk pertama kalinya selama 26 tahun berkuasa, Mobutu berbicara tentang demokrasi. Ia bersedia mengganti sistem pemerintahan partai tunggal dengan sistem multipartai. Inilah salah satu cara Mobutu mencoba meredam suasana dan menyelamatkan kekuasaannya. Tampaknya, Mobutu menduga ada kaitan antara kerusuhan dan oposisi. Yang jelas, Minggu 29 September, terjadi pertemuan antara Mobutu dan Serikat Suci, organisasi politik gabungan 10 partai oposisi. Hasil pertemuan yang berlangsung sembilan jam itu, Etienne Tshikedi, pemimpin Partai Serikat Demokrasi Sosial Progresif, partai oposisi pertama di Zaire, ditunjuk sebagai perdana menteri baru. Namun, upaya Tshikendi membentuk kabinet tak kunjung berhasil. Mobutu selalu mau campur tangan. Dua hari kemudian, Selasa dua pekan lalu, kembali meledak kerusuhan. Sesudah itu, Mobutu mulai lebih kompromistis. Dalam perundingan awal pekan lalu, ia berjanji menyerahkan beberapa posisi penting dalam kabinet pada oposisi. Namun, esoknya, Mobutu bersama Gerakan Revolusioner Populer, partainya yang berkuasa sekarang, meminta separuh dari 22 kursi menteri kabinet baru. Tentu saja Tshikedi, 58 tahun, yang pagi-pagi sudah menyatakan bahwa ia bukan sekadar perdana menteri boneka, menolak. Sebenarnya sudah lima tahun lalu, Amnesti Internasional mengecamnya karena melanggar hak asasi dengan melakukan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, bahkan pembunuhan terhadap oposisi. Seolah tanggap terhadap kritik, sang presiden yang dulu seorang kolonel ini mengecam tentara. Ia lalu mengganti kepemimpinan tentara dan mereorganisasi DPR. Toh, pemerintahannya tak berubah. Pada 1988 Etienne Tshikedi dikenai tahanan rumah. Namun, oposisi, tak tinggal diam. Tahun berikutnya demonstrasi mahasiswa meledak, dipicu oleh kenaikan tarif transportasi. Konon, 50 mahasiswa tewas, dan Universitas Kinshasa ditutup. Februari tahun lalu kembali meledak demonstrasi di Kinshasa dan tiga kota besar lainnya. Inilah demonstrasi memperingati pemimpin Zaire yang dibunuh pada 1961, yakni Patrice Lumumba, yang pernah berkunjung ke Indonesia. Sejumlah aktivis ditahan. Oposisi yang makin kuat dan ekonomi Zaire yang main merosot menyebabkan Mobutu harus bersikap lebih hati-hati. Beberapa bulan setelah aksi mahasiswa itu, Tshikedi dibebaskan. Sejak itu pemerintahan Mobutu makin goyang. Berakhirnya perang dingin mengubah dukungan Barat pada Mobutu. Dahulu, Zaire dipakai sebagai bemper melawan pemerintahan komunisme di Angola. Agustus lalu, Prancis mulai memperingatkan Mobutu agar menghargai hak asasi dan menegakkan demokrasi. Sebagai lanjutan peringatan Dana Moneter Internasional tiga tahun silam -- - bahwa banyak bantuan untuk Zaire masuk ke saku para pejabat yang korup -- - September lalu lembaga keuangan internasional itu menyetop semua bantuan. Belgia pun menghentikan bantuannya, dan Prancis tak lagi mengirimkan instruktur untuk mendidik pasukan elite Zaire. Negeri yang berpendapatan per kepala di bawah US$ 150 ( Indonesia US$ 560) ini, yang selama ini bergantung pada bantuan luar negeri dan lembaga internasional, langsung jatuh dalam jerat kesulitan ekonomi. Inflasi mencapai 2.000%, sementara gaji penyiar radio, misalnya, tetap saja senilai Rp 60.000. Tambang tembaganya, yang kedua terbesar dunia, tak cukup kuat untuk mengatasi kesulitan ekonominya karena produksinya terus merosot akibat manajemen yang tak efisien. Padahal, utang luar negerinya telanjur segede gajah, US$ 9 milyar. Jadi, apa yang akan dilakukan Mobutu, 61 tahun kini, yang punya apartemen di Paris, kastil di Brussel, dan tanah luas di Portugal, dan yang mengaku pernah menarik dana US$ 10 juta dari rekening pribadinya di Prancis, untuk membayar gaji pegawai negeri? Kepada harian Prancis Liberation, presiden yang selalu mengenakan kopiah macan loreng ini bersumpah tak akan mundur sampai akhir jabatannya 5 Desember nanti. Didi P. (Jakarta) & Sapta Adiguna (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus