Soviet tak lagi membantu, panen gagal, produksi menurun. Korea Utara mencoba belajar dari Cina. SESAMA negara (yang masih) komunis, bersatulah. Itulah kira-kira yang kini pas jadi semboyan RRC, Korea Utara, dan mungkin juga Kuba. Maka, kunjungan Presiden Kim Il-Sung dari Korea Utara ke RRC, yang berakhir Selasa pekan ini, menuntut para pengamat merupakan konsolidasi dua negara komunis. Hal yang tampaknya mesti dilakukan karena mereka masih ingin berjalan di rel komunisme. Menurut harian South China Morning Post, kunjungan ini adalah kunjungan Kim untuk belajar dari Cina, bagaimana "berhubungan dengan dunia luar". Kabarnya, Presiden Kim memuji Cina sebagai negara sosialis yang punya relasi luas di dunia internasional. Lewat Cinalah, Korea Utara ingin meluaskan hubungan bilateral dengan banyak negara, termasuk Barat. Yang kemudian tak diungkapkan oleh kantor berita Cina secara detail adalah pembicaraan tentang ekonomi antara Presiden Kim dan Perdana Menteri Li Peng. Menurut para wartawan Jepang, yang memperoleh informasi dari beberapa pelarian Korea Utara, pembicaraan ekonomi itu merupakan upaya Presiden Kim mengatasi krisis ekonomi di negerinya. Akibat kesulitan ekonomi di dalam negeri sendiri, Uni Soviet, yang mengalami disintegrasi, menghentikan bantuan ekonominya ke negeri-negeri sosialis yang selama ini dilindunginya. Beberapa negara, antara lain Kuba dan Korea Utara, langsung merasakan akibatnya. Misalnya, selama ini Korea Utara memperoleh sekitar 500 ribu ton minyak per tahun dari Uni Soviet, dengan harga "kamerad", untuk menjalankan pembangkit listriknya. Minyak itu dibarter dengan produk industri. Kini, Soviet tak mau lagi barter dan menuntut minyak itu dibayar berdasarkan harga pasaran dunia, dengan mata uang keras. Maka, Pyongyang terpaksa memotong impor minyak dari Soviet itu sampai setengahnya karena tak punya uang. Ini pun masih mengakibatkan Soviet mengklaim Korea Utara berutang US$ 4,8 milyar. Akibatnya, sudah beberapa saat ini jam kerja pabrik dan kantor di Korea Utara dikurangi. Kantor-kantor hanya sampai pukul dua siang, dan pabrik pukul tiga siang. Maka, para pengamat di Jepang menaksir, produksi Korea Utara turun sekitar 30%. Ini makin menurunkan pendapatan Korea yang masih ingin bersosialis ini, yang sejak 1987 sudah turun. Maka, pemerintah Korea Utara, yang pernah berkoar menyatakan negerinya sebagai "surga kaum proletar", terpaksa menjual cadangan emasnya ke Korea Selatan. Menurut sumber Korea Selatan, dari Januari sampai akhir September tahun ini, Korea Utara telah menjual 1,5 ton emasnya, senilai hampir US$ 16 juta. Diduga sampai akhir tahun ini Pyongyang masih akan menjual setidaknya 0,5 ton lagi. Di pedesaan, kabarnya krisis ekonomi sangat terasa. Tiga kali panen terakhir dikabarkan gagal. Berita itu memang sulit dikonfirmasikan. Yang jelas, pemerintah Pyongyang mulai mengampanyekan makan dua kali sehari. Jatah makan para pekerja, menurut para pengunjung Korea Utara yang dikutip majalah Far Eastern Economic Review, dikurangi dari 30 hari menjadi hanya 10 hari. Dampaknya, di kalangan masyarakat, dan bahkan tentara, muncul berbagai perasaan ketidakpuasan. Pada akhir September lalu, menurut informasi seorang pedagang Cina, telah terjadi kekacauan yang lebih mendekati pemberontakan di Shinuiju, kota di barat laut dekat perbatasan dengan RRC. Kerusuhan itu dinilai oleh para pengamat masalah Korea di Tokyo sebagai sesuatu yang baru, dan kalau memang terjadi, menunjukkan bahwa perahu yang dinakhodai dua Kim itu (Kim IlSung dan "putra mahkota" Kim Yong-Pil) sungguh serius. Kemungkinan terjadinya kudeta militer tak bisa dikesampingkan begitu saja. Soalnya, hanya para perwira yang menduduki posisi kunci, yang dilatih di Uni Soviet semasa masih Republik Sosialis, yang bisa diharapkan kesetiaannya. Para perwira menengahnya, yang langsung memimpin hampir sejuta serdadu, sulit diduga sikapnya. Menurut seorang pengamat kemiliteran Korea Utara di Tokyo, kemungkinan besar para perwira menengah itu lebih kritis terhadap pemerintahnya. Ketidakpuasan di kalangan tentara dan rakyat terdidik, menurut Ko Young-Hwan, bekas diplomat Korea Utara yang lari ke Selatan, sudah terlihat. Dalam pembicaraan-pembicaraan di kalangan perwira menengah, misalnya, cara hidup "putra mahkota" Kim Jong-Pil sering menjadi obyek gosip. Ternyata, Kim muda sangat senang makan enak, dan punya hobi mengumpulkan gadis-gadis tercantik dari seluruh negeri. Untuk sementara, krisis politik memang belum tampak serius. Yang kini diusahakan diatasi adalah krisis ekonomi. Setelah bertemu dengan para pemimpin RRC, Presiden Kim masih melanjutkan berkeliling Cina bagaikan turis. Konon, ia ingin belajar bagaimana RRC, yang dahulu tertutup, kini mulai menerima turis dari negara mana saja. Korea Utara sudah sejak 1984 membuka biro perjalanan di Hong Kong dan Tokyo, tapi turismenya belum sukses. Sesama negeri (yang masih) komunis, salinglah belajar. Mungkin begitu, sebelum ikut meninggalkan sosialisme. ADN (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini