BEKAS presiden Prancis, Valery Giscard d'Estaing, tahun lalu memperingatkan bahwa KTT Ekonomi negara-negara Barat dan Jepang sudah lama menjadi forum penyusunan deklarasi yang "umum dan muluk-muluk", yang serta merta dilanggar para penanda tangannya. Hukum besi bahwa kepentingan nasional pada akhirnya mendahului kepentingan bersama ternyata selamanya tetap berlaku. Ada hukum besi lain yang patut direnungkan dari kunjungan Presiden Ronald Reagan di Bali, sebelum meneruskan perjalanannya ke Tokyo, pekan ini. Hukum itu: negara-negara kaya akan lebih dahulu memperhatikan kepentingan antara mereka sebelum memperhatikan tuntutan negara-negara sedang berkembang. Dalam konteks dua jenis hukum besi itulah kita telaah makna kunjungan Presiden Reagan. Dalam pernyataan dan keterangan yang dikeluarkan sebelum Reagan meninggalkan Amerika, perjalanan ini disebutkan sebagai misi menyebarluaskan "angin kebebasan". Di mata Reagan, ASEAN adalah wujud keberhasilan angin semacam itu. ASEAN sudah lama dipuji negara-negara yang bersidang di Tokyo nanti sebagai "percontohan bagi kerja sama regional di kawasan sedang berkembang lainnya". Tetapi, sejak 1983 pujian-pujian itu mulai diwarnai perasaan wanti-wanti. Sebab, perkembangan ekonomi dunia (baca: Amerika, Jepang, dan Eropa Barat) akhir-akhir ini menunjukkan tanda-tanda tak menggembirakan ASEAN. Proteksionisme antara sesama negara kaya didahului oleh proteksionisme terhadap negara-negara sedang berkembang. Mulai tahun itu, kata kunci yang dibahas antarnegara KTT Ekonomi adalah "restrukturisasi ekonomi". Artinya, berbeda-beda untuk tiap negara KTT Ekonomi. Tapi, maknanya bahwa tekanan politik dalam negeri tiap-tiap negara tak memungkinkan tindakan "restrukturisasi" dijalankan dengan saksama. Negara industri mana yang mau mengorbankan kelompok-kelompok bisnis, serikat kerja, ataupun sektor pertanian yang akan terkena tindakan "restrukturisasi" itu? Siapa bisa menjamin bahwa penyesuaian-penyesuaian yang akan dipikul setiap negara tidak menggoyahkan pemerintah yang berani bertindak menjalankan keputusan-keputusan dalam deklarasi? KTT Ekonomi di Tokyo dipersiapkan dengan saksama oleh Jepang. Sebagai tuan rumah yang baik, pemerintah Jepang mengirim sejumlah delegasi ke Eropa, Asia, dan Amerika guna menyerap masukan-masukan yang bermanfaat untuk digarap. Salah satu yang dihasilkan, awal April ini, ialah Laporan Maekawa, yang menjanjikan "transformasi historis" kebijaksanaan ekonomi Jepang. Disebutkan, misalnya, Jepang akan menaikkan tingkat konsumsi dalam negeri melalui pengurangan pajak dan jam kerja, peningkatan impor dari Amerika dan negara-negara Masyarakat Eropa, pertambahan investasi Jepang di luar negeri, dan perluasan internasionalisasi uang yen. Apakah laporan setebal 17 halaman itu akan dijalankan? Itu masih merupakan tanda tanya. Bagian terbesar pengamat menduga, semua usaha Jepang selama enam pekan belakangan ini hanyalah suatu ikhtiar "hubungan masyarakat" dalam usaha mengurangi kritik yang akan ditujukan kepadanya dalam KTT Ekonomi Tokyo. Lagi pula tak ada jaminan bahwa Perdana Menteri Nakasone akan terpilih kembali dalam pemilihan ketua Partai Liberal Demokrat, Oktober depan. Dengan latar belakang seperti itu, apakah yang akan disampaikan Reagan kepada forum KTT Ekonomi di Tokyo? Orang di Amerika sudah lama melihat bahwa Reagan amat pandai membangkitkan harapan-harapan tinggi. Tetapi mereka juga mengingatkan bahwa Reagan juga terampil menghindar dari janji-janji yang spesifik dan terinci. Bahkan ia lihai dalam mengingkar, walaupun sudah telanjur berikrar berbuat sesuatu. Kelincahannya dalam memanipulasi Kongres Amerika dengan mengimbangi kekuatan kelompok tertentu terhadap kelompok lain (misalnya, dalam kasus memveto RUU Jenkins tentang jatah impor tekstil tahun lalu) sudah lama terekam dalam ingatan banyak menteri keuangan dan menteri perdagangan negara-negara lain. Karena itu, negara-negara ASEAN tidak perlu menaruh banyak harapan pada pertemuan di Bali, apalagi pada KTT Ekonomi Tokyo. Untuk pertemuan Bali dan KTT Tokyo sudah disiapkan dua aide memoire yang mencakup sikap ASEAN di bidang politik, ekonomi, dan ketertiban regional. Tetapi, mengingat pertemuan Reagan dan menlu-menlu ASEAN hanya bersifat konsultatif, diduga desakan-desakan agar Amerika lebih memperhatikan ASEAN daripada RRC, karena mengandalkan negara itu mengimbangi kekuatan Soviet di Asia-Pasifik, tak akan menyebabkan presiden AS itu membuat janji-janji spesifik. Dalam suasana pertikaian tentang proteksionisme dan cara-cara berdagang tak wajar, yang akan dibahas antara sesama negara kaya, sedikit kemungkinan bahwa KTT Tokyo akan membuahkan langkah-langkah kongkret bagi ASEAN. KTT Tokyo pasti akan mengeluarkan seruan yang menyinggung perlunya tindakan terpadu di kalangan negara kaya untuk membantu utang-utang negara sedang berkembang, termasuk ASEAN. Langkah perbaikan di antara sesama negara kaya ditempuh setelah pertemuan menteri-menteri keuangan negara Barat, pada September 1985, yang menghasilkan penurunan nilai dolar AS terhadap yen. Rencana menteri keuangan Amerika, Oktober tahun lalu, untuk membantu secara terarah penanggulangan utang beberapa negara miskin di dunia diduga akan membantu keterikatan KTT Tokyo untuk menjanjikan dana, perbaikan sistem pedagangan, dan penurunan proteksi terhadap barang-barang ASEAN. Barangkali ada baiknya harapan yang berlebihan tidak ditumpukan pada pertemuan di Bali dan KTT Tokyo. Pengalaman di Afrika dan Amerika Latin menunjukkan bahwa perasaan negara-negara kaya pada akhirnya akan membantu negara-negara sedang berkembang kerap menjurus pada mental ketergantungan yang berbahaya. Keadaan darurat yang kita hadapi ada hikmahnya juga. Kita dipaksa untuk sungguh-sungguh membenahi diri di segala bidang kegiatan ekonomi: penghematan penggunaan modal, peningkatan keahlian manajerial, pemanfaatan ahli teknologi, dan penggalakan kemampuan memasarkan barang dan jasa. Bali dan Tokyo hanyalah gejala dari pola dasar yang telah ada sejak empat tahun silam. Pola dasar itu menegaskan peringatan bekas Presiden Giscard dan makna kedua jenis hukum besi dalam percaturan politik dan ekonomi internasional. Terpulang pada kita apakah peluang-peluang baru yang mungkin muncul dari pertemuan Bali dan KTT Tokyo sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan cermat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini