Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Teater Populer mementaskan kembali Dag Dig Dug karya Putu Wijaya.
Slamet Rahardjo dan Niniek L. Karim kembali bermain.
Slamet mengeksplorasi keresahan sosial-politik dalam naskah lama yang masih relevan.
SEBUAH perayaan kecil ulang tahun seorang kru Teater Populer mengawali latihan teater Dag Dig Dug karya Putu Wijaya pada Kamis sore, 16 Januari 2025, di sanggar teater itu yang terletak di Jalan Kebon Pala I, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka berlatih untuk mementaskannya pada Sabtu, 25 Januari 2025, di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niniek L. Karim, artis senior yang meraih dua Piala Citra sebagai Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik, menyuguhkan talas rebus bertabur kelapa, yang melengkapi hidangan kue tampahan. Ia sudah menyeduh kopi untuk cangkir keduanya dan menyiapkan satu cangkir lagi buat Slamet Rahardjo, aktor senior pemimpin sanggar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Slamet diam sejenak, lalu mulai berbicara. Aktor 76 tahun itu menyampaikan pesan mendiang Teguh Karya agar selalu menghidupkan sanggar dan melanjutkan kisah-kisah melalui pentas di panggung.
Di panggung tempat mereka berlatih sudah tersedia sepasang kursi dan sebuah meja. Sebuah sepeda tua berada di sisi kiri panggung. Ruangan dibatasi dengan sebuah daun pintu kaca lama dan beberapa helai kebaya menggantung di sisi belakang. Suara penjual tahu bulat menjajakan dagangannya terdengar mendekat dan menjauh, lalu ada bunyi tokek. Pentas pun dimulai.
Slamet Rahardjo (kiri) dan Niniek L. Karim dalam latihan pentas teater karya Putu Wijaya, Dag Dig Dug, di Sanggar Teater Populer, Jakarta, 16 Januari 2025. Tempo/Charisma Adristy
Adegan dibuka dengan percakapan Bapak (Slamet Rahardjo) dan Ibu (Niniek L. Karim). Mereka pasangan sepuh tanpa anak dan berbincang tentang kehidupan mereka yang cukup damai. Mereka membuka pintu rumah besar mereka untuk anak-anak perantauan yang kuliah dan menumpang kos di kota itu. Dua cangkir kopi menemani perbincangan ini. “Lihatlah, istriku jadi lebih banyak tersenyum. Tadinya dia kesepian di rumah besar ini,” kata Bapak.
Ketenteraman hidup mereka terusik oleh sepucuk surat. Lebih-lebih ternyata Ibu ingat akan sebuah telegram yang terlupakan sejak kedatangannya dua pekan silam. Isinya kabar duka atas meninggalnya Khairul Umam, anak kos mereka.
Lalu muncul Giarno (Donny Damara) dan Giarto (Reza Rahadian). Utusan dari Jakarta ini mengaku sebagai teman sekantor Khairul. “Di jalan yang sepi, dia ditabrak dari belakang. Kepalanya pecah membentur trotoar,” ujar Giarno. Si penabrak lari dan diduga memang sengaja membunuh Khairul, seorang aktivis yang vokal. Mendadak sontak, Ibu berteriak histeris.
Kedatangan dua lelaki itu membawa masalah yang berbuntut panjang. Keduanya mengguncang ketenteraman pasangan sepuh itu dan terus merongrong mereka dengan uang bantuan duka yang dibawa dua laki-laki utusan tersebut.
•••
PUTU Wijaya menulis Dag Dig Dug sebagai kenangan kepada Ahmad Wahib, wartawan Tempo yang meninggal dalam sebuah kecelakaan. Ahmad dikenal sebagai intelektual muda yang berpengaruh pada 1970-an. Bukunya, Pergolakan Pemikiran Islam, menggambarkan gagasannya tentang pembaruan Islam.
Dalam naskah, Ahmad muncul dalam sosok Khairul Umam, anak muda yang tinggal di kos di rumah Ibu dan Bapak di Yogyakarta. Khairul diceritakan sebagai orang yang tidak diketahui sanak keluarganya. Ketika dia meninggal di Jakarta, orang-orang berusaha mencari siapa orang terdekatnya. Dua utusan dari kantor Khairul di Jakarta lalu datang ke Yogyakarta dan menemui Ibu dan Bapak sebagai satu-satunya orang yang diketahui dekat dengan mendiang. Mereka menyerahkan uang duka, tapi Ibu dan Bapak, yang ingatannya samar-samar tentang Khairul, ragu-ragu menerimanya, apalagi jumlahnya ternyata lebih sedikit dari yang tertulis.
Kisah Khairul ini barulah pengantar Dag Dig Dug. Inti drama ini sebenarnya mengenai persiapan menghadapi kematian. Semuanya berujung pada dua peti mati. Kisah tentang persiapan ini disampaikan dengan sederhana dan kocak.
Slamet Rahardjo berusaha taat pada naskah Putu, meskipun tidak menjanjikan setia seratus persen. Dia mengatakan plot dan dramaturginya masih sama. Di tangan Slamet, naskah ini diolah sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masa kini. Slamet dan Niniek L. Karim sudah meminta izin kepada si empunya naskah untuk perubahan itu. “Jangan ulangi yang dulu,” kata Slamet menirukan pesan Putu Wijaya.
Donny Damara (kiri), Slamet Rahardjo, dan Reza Rahadian di Sanggar Teater Populer, Jakarta, 16 Januari 2025. Tempo/Charisma Adristy
Teater Populer pernah mementaskan Dag Dig Dug di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1977. Saat itu Slamet menjadi sutradara. Pemainnya termasuk dia, Tuti Indra Malaon, dan Niniek L. Karim. Dalam pentas kali ini Slamet melibatkan lagi Niniek dan beberapa aktor lain, seperti Reza Rahadian, Donny Damara, Jose Rizal Manua, dan Kiki Narendra. Jose Rizal memerankan Cokro, tokoh feminin yang menjadi asisten rumah tangga pasangan ini.
Slamet menuturkan, lakon ini dipentaskan bukan karena romantisisme pada pentas masa lalu, melainkan momentum semata. Ia menilai karya Putu itu masih relevan dengan situasi dan konteks saat ini. Ada banyak aspek yang masih kontekstual yang disampaikan dari cerita dan adegan demi adegan, seperti isu politik, demokrasi, korupsi, sikap oportunistis, manipulatif, persahabatan, dan kejujuran. Dag Dig Dug mencoba menampilkan kegelisahan atas semua itu.
“Jangan macam-macam, segala hal bisa dipertanggungjawabkan. Kita bikin semacam perlawanan. Jangan rusak demokrasi. Jangan main-main sama politik,” ucap Slamet. “Siapa sih yang enggak dag-dig-dug sekarang ini di segala aspek kehidupan?”
Tokoh Khairul Umam yang menggerakkan cerita digambarkan sebagai sosok panutan, pemuda yang cerdas, aktif, vokal, jujur, dan tak segan turun tangan membantu Ibu dan orang-orang di rumah itu, termasuk Cokro. Sayang, dia meninggal dibunuh oleh penguasa. Tak ada tokoh Khairul di panggung. Penonton mengenalinya dari percakapan Ibu dan Bapak.
“Dia bentuk ideal dari yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara,” tutur Slamet tentang Khairul. Dia menjelaskan, tokoh seperti ini, yang bisa menjadi teladan, sulit ditemui sekarang. Lewat karya ini, Slamet melihat Putu sedang menjalankan sikap seniman yang karyanya senantiasa kontekstual dalam membaca situasi dan memotret hubungan dalam persahabatan.
Niniek, yang dulu turut mementaskan naskah ini pada 1977, mengaku banyak lupa akan detailnya dan perlu menelaahnya kembali. Niniek mengatakan pentas ini digelar tak hanya sebagai apresiasi kepada pendiri Teater Populer, Teguh Karya, tapi juga menjadi bagian dari fungsi teater yang sehat, yang bisa menjadi medium dan patokan kritik sosial. “Sebagai kontrol supaya para pengambil keputusan itu tidak seenak udelnya,” ucapnya. Menurut dia, melalui karyanya, Putu sangat peka dalam melihat kondisi sosial, tapi dapat menyampaikannya secara halus dan subtil. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Dag Dig Dug di Masa Kini