Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi menyarankan adanya menu alternatif dalam proyek makan bergizi gratis.
Menurut Arifatul, ayah dan ibu punya peran yang sama dalam menentukan kualitas gizi anak.
Ketidakadilan gender menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak.
BEGITU sesi wawancara selesai, Arifatul Choiri Fauzi menggiring staf dan wartawan Tempo yang menjumpainya di ruang kerja menteri di lantai 10 gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, ke balai penitipan anak di lantai 3. Setiba di sana, Arifatul bercengkerama dengan anak balita yang sedang bermain. Seorang anak yang baru kelar minum susu menggelengkan kepala ketika perempuan 56 tahun itu mengajaknya berfoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesaat sebelumnya, Arifatul menerima Raymundus Rikang, Sunudyantoro, Yosea Arga Pramudita, dan Silvy Riana Putri dari Tempo untuk sesi tanya-jawab selama lebih dari satu jam. Sekretaris Umum Muslimat Nahdlatul Ulama itu tak menyentuh secangkir teh serta kudapan kacang dan onde-onde di meja, meski sesekali suaranya parau saat berbicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam pemerintahan Prabowo Subianto, Arifatul mengaku meninggalkan urusan yang sehari-hari digelutinya: mempromosikan musik dan kebudayaan.
Ia membuka obrolan dengan cerita Ki Ageng Ganjur—kelompok musik yang diinisiasi budayawan sekaligus suami Arifatul, Ngatawi Al-Zastrouw—yang belum lama berpentas di pelataran Basilika Santo Petrus, Vatikan, pada Desember 2024. “Saya dulu yang mengurus semuanya, dari tiket, penginapan, hingga konsumsi, kalau Ki Ageng Ganjur menggelar tur ke luar kota,” ujarnya pada Senin, 13 Januari 2025.
Arifatul kini bersinggungan dengan pelbagai hal mengenai kesejahteraan anak dan perempuan. Ia ikut mengawasi proyek makan bergizi gratis, program unggulan Prabowo. Arifatul menyambangi Pendidikan Anak Usia Dini Al Marzuqiyah serta Sekolah Dasar Negeri 01 dan 02 Susukan, Ciracas, Jakarta Timur, ketika proyek ini diluncurkan pada Senin, 6 Januari 2025. Dua pekan kemudian atau Senin, 20 Januari 2025, ia kembali memantau pelaksanaan proyek makan bergizi di Karangasem, Bali. “Program ini efeknya tidak terjadi satu atau dua hari, tapi jangka panjang,” katanya.
Menurut Arifatul, persoalan lain yang dihadapinya adalah fenomena kekerasan terhadap perempuan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan ada 290 kasus pembunuhan perempuan sepanjang Oktober 2023-Oktober 2024. Angka itu merupakan yang tertinggi kedua dalam lima tahun terakhir.
Saat diwawancarai, Arifatul didampingi enam stafnya, termasuk Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan Titi Eko Rahayu serta putri Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, Ienas Tsuroiya, yang menjadi Tenaga Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Arifatul juga tangkas bergaya saat sesi pemotretan dan melemparkan kelakar setelah fotografer menjepretnya. “Kalau fotonya jelek, yang salah bukan modelnya, melainkan fotografernya,” ucap ibu empat anak itu.
Apa catatan Anda soal proyek makan bergizi gratis?
Kami ingin perempuan di desa dilibatkan lebih dalam. Bukan sekadar sebagai juru masak, mereka mesti dilibatkan dalam penyusunan gizi di keluarga. Selain itu, ada beberapa distribusi paket yang masih terlambat. Panitia pasti sudah punya sistem untuk membuat pelaksanaan lebih optimal.
Ada yang mengusulkan uangnya diserahkan kepada orang tua untuk dikelola menjadi menu yang disukai anak ketimbang membagikan paket makanan. Anda setuju?
Saya tak mengatakan sepakat. Namun, ketika saya meninjau program ini, ada anak yang memang enggak doyan tempe. Program ini masih di tahap awal sehingga ke depan diharapkan ada pendataan yang lebih komprehensif.
Apa saran Anda?
Bisa saja membuat menu alternatif berdasarkan pendataan yang diperoleh. Jika ada anak yang tak suka tempe, apa menu alternatifnya? Bagaimanapun tetap menjadi catatan jika program ini sudah berjalan lebih lama. Pasti ketahuan nanti. Misalnya, dari 100 paket, ada 20 anak yang tak doyan tempe. Dengan begitu, pemilik katering bisa menyiapkan alternatifnya.
Apakah Presiden Prabowo sudah meminta masukan soal makan bergizi gratis?
Presiden ingin mendengarnya setelah kami turun ke lapangan. Kami baru berdiskusi mengenai program Kementerian Pemberdayaan Perempuan secara spesifik.
Anda yakin pada keberlanjutan proyek makan bergizi?
Pemerintah punya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Makan bergizi idealnya menjadi program jangka panjang sampai 2045, siapa pun presiden yang akan memimpin. Saya kira program ini baik dalam jangka panjang karena bisa memperbaiki gizi dan mengatasi tengkes sehingga perlu dilanjutkan. Hasilnya tak bisa dilihat dalam seminggu saja.
Dari mana anggarannya jika dilaksanakan dalam jangka panjang?
Program ini berbicara soal generasi penerus kita, bukan sekadar janji kampanye. Gizi dan nutrisi anak mesti disiapkan dengan sungguh-sungguh karena itu fondasi bagi mereka. Dengan begitu, pertumbuhan badan dan kemampuan kognitifnya oke.
Anda membayangkan kapan bisa menuai hasil makan bergizi untuk anak-anak kita ini?
Program ini efeknya tidak terjadi satu atau dua hari, tapi jangka panjang. Menyiapkan satu generasi yang berkualitas memang membutuhkan waktu.
Apakah target itu realistis jika makan bergizi cuma sekali sehari, sementara menu di rumah ala kadarnya?
Makanan bergizi tidak harus mahal. Bagaimana kita menyadarkan ibu dan keluarga memanfaatkan lahan di rumah. Sayuran enggak mahal kalau orang tua mau mengupayakan. Contohnya, menanam kangkung dan bayam di pekarangan. Bahan makanan seperti tempe dan tahu juga tak mahal.
Bagaimana metode parenting mesti dilakukan untuk memenuhi gizi anak?
Makanan baik tidak harus mahal. Di Nusa Tenggara Timur, ada keluarga yang memiliki peternakan ayam petelur. Namun telurnya justru dijual dan uangnya dibelikan mi instan. Perilaku semacam ini terjadi karena mereka tak punya pemahaman bahwa telur lebih bergizi dari mi instan. Begitu pula di Papua yang kaya ikan hasil laut. Ikan tangkapan ditukar dengan mi instan. Di tangan perempuan, makanan sehat dikelola dengan baik agar anak tumbuh dengan baik.
Persoalan gizi semestinya menjadi tanggung jawab orang tua, baik ayah maupun ibu….
Gizi bukan hanya urusan perempuan. Di Kementerian Agama, ada pelatihan yang memberikan pemahaman mengenai ketersalingan. Calon pengantin yang tak mengikuti pelatihan ini tak bisa mendapat rekomendasi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi (kedua kiri) dan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai (kedua kanan) menyampaikan keterangan pers di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta, 21 Januari 2025. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Bagaimana konsep ketersalingan itu?
Dalam ketersalingan, bukan hanya bapak atau ibu yang bertanggung jawab terhadap keluarga, melainkan bersama-sama. Konsep yang menekankan pada kesetaraan dan tidak saling mendominasi. Dulu persoalan anak dan dapur menjadi urusan perempuan. Laki-laki dan perempuan lahir dengan hak dan tanggung jawab yang tidak berbeda. Namun laki-laki dianggap superior dan perempuan menjadi inferior karena konstruksi sosial-budaya.
Bagaimana membongkar konstruksi itu?
Susah sekali, tapi harus kita mulai agar ada kesadaran, khususnya bagi mereka yang sudah berumah tangga. Mengapa berantem terus? Oh, ternyata ada pemahaman yang berbeda soal kedudukan laki-laki dan perempuan di rumah. Terlebih pasangan yang menikah secara instan karena cuma bertemu di media sosial.
Konstruksi sosial soal laki-laki dan perempuan memicu rantai kekerasan terhadap perempuan....
Itu pasti ada latar belakang yang membuat seseorang mempunyai kebencian terhadap perempuan. Mungkin ada trauma, kita tidak tahu. Menurut saya, ini perlu dikaji untuk mengetahui penyebabnya. Mengapa seseorang melakukan kekerasan, bahkan sampai membunuh, karena benci kepada perempuan?
Anda punya solusi?
Perlu ada regulasi. Kami harus merangkul berbagai pihak yang punya perhatian sama. Kalau sudah benci, mindset mesti diubah. Penyebabnya pasti bukan hanya satu hal.
Arifatul Choiri FauziTempat dan tanggal lahir:
Pendidikan:
Jabatan publik:
Laporan harta kekayaan: Rp 11,17 miliar (2024) |
Superioritas laki-laki atas perempuan dikekalkan lewat dogma. Di tengah konservatisme agama di Indonesia, apakah mungkin membongkar konstruksi itu?
Berbuat baik tidak melihat laki-laki atau perempuan. Kami pernah membahas kitab mengenai hubungan suami-istri dalam rumah tangga yang dirujuk di pesantren. Di situ, ketaatan istri utuh terhadap suami. Setelah kami pelajari, itu bermakna ketaatan sepenuhnya kepada Allah SWT. Kitab itu ditulis laki-laki sehingga menggunakan perspektif laki-laki. Padahal ada tafsir lain yang tidak menyudutkan perempuan dan ini yang kami gunakan. Kami juga punya program pendidikan calon ulama perempuan yang berperspektif gender agar adil dalam menerjemahkan teks agama.
Tak semua pedakwah punya kemauan dan kemampuan menafsirkan teks agama yang berkeadilan gender….
Harus ada keberanian untuk bisa melakukan itu. Namun orang yang melakukannya harus punya basis keilmuan. Kalau hanya berani, namanya terjun ke jurang. Sekarang banyak ulama laki-laki yang berperspektif gender. Menurut saya, penting sekali memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa ketaatan tidak dilihat dari apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan.
Kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi karena faktor ekonomi serta relasi kuasa. Bagaimana pendapat Anda?
Itu tadi, teks agama dipahami dengan perspektif yang menguatkan laki-laki. Selama ini, kalau suami bilang A, istri taat seutuhnya. Seharusnya ada ketersalingan. Dalam mengatur rumah tangga, harus ada diskusi. Anak juga harus didengar.
Bagaimana dengan faktor kemiskinan?
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak bisa kami tangani sendiri sehingga memerlukan kolaborasi dengan banyak pihak. Sisi ekonomi harus dikuatkan juga. Perempuan tidak bergantung sepenuhnya dan berani berbicara. Dari segi pendidikan, parenting juga menjadi tanggung jawab ayah, bukan hanya ibu. Bapak juga harus berperan dan mengetahui perkembangan anak. Jangan apa-apa langsung menyalahkan ibu.
Anda pernah menemui anak yang berhadapan dengan hukum dalam kasus pembunuhan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Bagaimana komitmen pemerintah kepada mereka?
Salah satu tugas kementerian kami adalah melindungi anak, baik sebagai korban maupun anak berhadapan dengan hukum. Kami harus menjamin hak anak terpenuhi, meski mereka berhadapan dengan hukum. Kasus di Lebak Bulus menjadi momentum orang tua untuk mengintrospeksi diri soal pola asuh.
Menurut Anda, mengapa anak ini membunuh?
Saya melihat dia seperti belum sadar bahwa ayahnya meninggal. Kebetulan peristiwanya terjadi malam hari dan saya datang keesokan sorenya. Dia mengatakan ingin berbicara di depan banyak orang bahwa ayah dan ibunya adalah orang terbaik di dunia. Tapi mengapa dia melakukan itu seperti paradoks.
Banyak anak melakukan kekerasan kepada orang tua sebagai respons atas kekangan terhadap mereka agar mengikuti kemauan orang tua. Ada pendapat?
Salah satu solusinya ada di Ruang Bersama Indonesia. Ruang ini tidak hanya untuk anak, tapi juga orang tua. Dalam bayangan saya, jika ada anggota keluarga punya masalah di rumah, seperti ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ia bisa melaporkannya di sini. Jadi itu tak dianggap sebagai aib karena kita mencari solusi bersama. Program ini dirancang sebagai gerakan perempuan berbasis desa.
Bagaimana pelaksanaan teknisnya?
Tidak harus berangkat dari desa atau kelurahan ramah perempuan yang kami inisiasi. Bisa juga berangkat dari komunitas yang sudah ada. Tinggal kontennya ditambah untuk penguatan peran perempuan. Begitu juga dengan perlindungan anak. Kalau semua berangkat dari kementerian kami, kapan sampainya. Ada puluhan ribu desa. Tangan kami tidak terlalu panjang dan luas untuk merangkul perempuan dan anak agar mendapatkan hak mereka. Kolaborasi diperlukan dalam program ini.
Apakah ada daerah yang menjadi tolok ukur dalam pelaksanaan program ini?
Di Desa Cempluk, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya, tidak ada kasus stunting dan kekerasan terhadap perempuan. Semua penduduk perempuannya berdaya karena tak sibuk dengan gawai, melainkan bekerja.
Berdaya seperti apa?
Di Kalimantan Selatan ada contoh kepala desa perempuan. Dia bercerita hampir beperkara dengan warganya. Ada warga yang ingin menikahkan anaknya yang berusia 18 tahun 6 bulan. Dia tidak mengizinkan karena aturannya 19 tahun. Alasannya, kepala desa enggak mau ada anak stunting lahir karena ibu belum cukup usia. Kepala kantor urusan agama juga menelepon untuk melobi karena orang tuanya memaksa. Kepala desa ini bergeming dan tak merekomendasikan.
Sejumlah anggota masyarakat kita masih menormalisasi pernikahan usia dini?
Ini masalah pemahaman dan penyadaran. Menikah bukan sekadar penyatuan dua manusia, melainkan juga wadah untuk generasi yang akan datang. Perlu ada pelibatan tokoh agama, masyarakat, dan adat. Mereka harus menyampaikan dengan dalil untuk memperkuat argumen itu. Misalnya, jangan meninggalkan keluarga dalam keadaan miskin. Itu ada ayatnya.
Omong-omong, bagaimana Anda menerapkan parenting di rumah?
Saya berbicara kepada anak-anak di rumah. Mereka bisa menulis dan menuangkan unek-uneknya, mama dan ayahnya seperti apa. Tidak boleh menulis pakai nama dan tulisannya dicetak di printer. Hasilnya saya diskusikan dengan suami. Kami jadi tahu apa yang mereka sukai dan tidak sukai dalam cara kami mengasuh anak.
Ada perbedaan cara pandang dengan pasangan dalam mengasuh anak?
Soal membeli barang, anak-anak itu selalu sama ayahnya. Kalau saya selalu bertanya dulu punya uang berapa, ha-ha-ha.... Contohnya, anak bungsu saya masih mahasiswa dan bertualang ke hutan Kalimantan. Suami memberi izin, sedangkan saya tidak. Suami saya bilang anak-anak harus dilatih hidup susah dan itu kemauan mereka. Saya jadi enggak bisa tidur karena memantau posisi anak. Kekhawatiran seorang ibu pasti berbeda dengan bapak. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo