Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Hasjim Djalal, diplomat dan ahli hukum laut internasional, meninggal pada Ahad, 12 Januari 2025, di usia 90 tahun.
Tokoh yang dianggap legenda dalam ilmu hukum laut internasional itu berperan besar dalam penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982.
Di mata murid-muridnya, Hasjim Djalal senang berkelakar dan tidak pernah menjaga jarak.
HARI menjelang petang pada Ahad, 12 Januari 2025, saat seorang sahabat mengirimkan kabar duka lewat WhatsApp. Pesannya, Hasjim Djalal sedang dirawat di rumah sakit dalam keadaan tak sadar. Tak sampai sejam kemudian, berita lain menyusul: Pak Hasjim telah tiada. Hari itu pun menjelma menjadi Minggu yang kelabu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasjim Djalal, 90 tahun, adalah diplomat yang berperan besar dalam penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982. Konvensi ini mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan, memberikan hak di Zona Ekonomi Eksklusif, dan menjadi kerangka dalam penyelesaian berbagai sengketa laut dengan negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ingatan saya melayang ke Canberra pada 2008. “Ndi, saya ditelepon Pak Alatas (Ali Alatas, Menteri Luar Negeri 1988-1999). Gara-gara tulisan you,” kata Pak Hasjim. Saat itu kami menghadiri Indonesia Update di Australian National University. Pak Hasjim membahas tulisan saya di The Jakarta Post yang berjudul “Wanted: New heroes in Ocean affairs, the law of the sea”.
Topik tulisan itu sebagian besar tentang beliau yang lahir dari kegelisahan saya atas mandeknya regenerasi penekun hukum laut internasional di Indonesia. Pak Hasjim dan, tentu saja, Pak Mochtar Kusumaatmadja—Menteri Luar Negeri saat UNCLOS disahkan—saya jadikan tokoh sentral dalam artikel tersebut. Kurang-lebih saya menulis bahwa Indonesia memerlukan Mochtar dan Hasjim baru.
Dalam kelakar khasnya yang selalu hangat, Pak Hasjim mengisahkan bahwa Pak Alatas “menegur” beliau karena belum punya kader di bidang hukum laut internasional. Pak Hasjim lalu tertawa. Sementara itu, saya terkesima menyaksikan kesederhanaan, ketulusan, dan kehangatan beliau dalam berkomunikasi. Sejujurnya saya tidak membayangkan akan bisa berbicara sedekat dan seintim itu dengan Hasjim Djalal, veteran yang disegani dunia.
Pak Hasjim adalah legenda. Namun beliau adalah legenda yang mudah dijangkau. Melambung tinggi dalam gagasan, visi, dan pemikiran, tapi menjejak bumi dalam sikap dan tutur kata. Kepada junior seperti saya, beliau tak sedikit pun menjaga jarak. Keseriusan dan kelakarnya dipadupadankan secara apik saat beliau berbicara, termasuk kepada kami, para muridnya.
Pak Hasjim selalu mampu meniadakan jarak dalam pertukaran gagasan. Itu semua membuat saya memiliki keberanian bertanya, bahkan mengemukakan gagasan berbeda tanpa terintimidasi. Tak mudah merasakan kemewahan ini ketika berhadapan dengan mantan duta besar keliling di bidang hukum laut seperti beliau.
Saya hanya salah satu murid dan pengagum beliau. Saya beruntung dapat menyimak berbagai kebijaksanaan Pak Hasjim, bahkan di luar bidang kemaritiman yang saya pelajari. Setiap kali bertemu dalam forum ilmiah, cerita-cerita humanis kerap mewarnai percakapan kami. Pertemuan kami di Manila pada 2012 tidak hanya menyangkut kedaulatan dan Alur Laut Kepulauan, tapi juga tentang menjadi ayah dan mendidik anak.
Hasjim Djalal (paling kanan) saat mewakili Indonesia dalam perundingan UNCLOS, di Jenewa, Swiss, 1973. Dok: Patriot Negara Kepulauan/Efri Yoni Baikoeni
Pak Hasjim tidak hanya fasih mengungkapkan proses filosofis di balik pasal-pasal UNCLOS 1982 yang turut beliau lahirkan. Beliau juga lihai berkisah tentang otak dan watak yang menjadi dua hal penting bagi orang tua yang mendidik anak-anak dalam mengarungi bahtera keluarga. Cerita beliau tentang anak-anaknya, Iwan Djalal, Dino Djalal, dan Dini Djalal, menjadi satu tema favorit saya. Semua itu mengedepankan sisi humanis seorang pakar hukum laut internasional sekaliber Hasjim Djalal. Kecemerlangan karier seorang ayah sejatinya juga dilihat dari keberhasilannya mendidik anak-anaknya di tengah situasi yang tidak selalu ideal.
Berita duka tentang wafatnya Pak Hasjim mengingatkan saya kembali pada pertemuan perdana kami pada 2007. Ketika itu beliau diundang untuk berbicara dalam acara ulang tahun UNCLOS ke-25. Saya menjadi peserta acara itu sebagai peserta UN-Nippon Foundation Fellowship. Saat mendengarkan pidato Pak Hasjim tentang sejarah UNCLOS, semua orang terkesima. Beliau adalah dokumen berjalan sidang PBB yang akhirnya menelurkan UNCLOS 1982. Waktu itu Pak Hasjim tidak hanya mampu menceritakan isi UNCLOS dengan sangat baik, tapi juga menghadirkan konteks sejarah dan semangat kebatinan dalam pencapaian kesepakatan-kesepakatan di konvensi ternama itu.
Hal yang paling saya nikmati saat itu adalah perasaan bangga sebagai anak bangsa Indonesia di pergaulan dunia. Semua orang di ruangan itu paham, Pak Hasjim telah berjuang sepenuh jiwa mewujudkan UNCLOS dan selalu aktif menjaganya. Beliau adalah presiden pertama International Seabed Authority yang menjadi amanat UNCLOS. Kita, warga Indonesia, tahu bahwa hal yang Pak Hasjim perjuangkan di meja perundingan PBB adalah kelanjutan Deklarasi Djuanda pada 1957.
Kebanggaan itu seakan-akan diamini oleh Profesor Myron Nordquist, akademikus senior University of Virginia, Amerika Serikat, yang juga menjadi pembicara. Mengetahui saya dari Indonesia, Nordquist berkata sambil menunjuk Pak Hasjim, “Dulu, bersama orang ini, ada orang lain bernama Mochtar (Kusumaatmadja). Ketika mereka berbicara, semua orang tidak hanya bungkam, tapi juga bergetar.” Nada bicara Nordquist saat itu penuh semangat dan dia menatap mata saya lekat-lekat. Karena Hasjim Djalal, New York seolah-olah berada dalam genggaman Indonesia pada petang itu.
Pak Hasjim adalah aliran cerita yang penuh inspirasi. Percakapan kami di pelataran Sydney Opera House pada suatu sore 2013 meninggalkan kesan mendalam. Beliau secara runtut menceritakan masa kecilnya, tentang perjuangannya dari Sumatera ke Jakarta, pendidikannya di Universitas Indonesia dan Akademi Dinas Luar Negeri, kesenangannya membaca, beasiswanya, dan berbagai rezeki yang menemani keterbatasannya.
Hasjim Djalal di Ampang Gadang, Sumatera Barat, (28/2). TEMPO/Febrianti
Hal terpenting di balik semua itu adalah orang-orang yang menolongnya. Pak Hasjim tidak melupakan mereka. Beliau dengan sangat fasih menyebut nama mereka. Salah satunya Hazir, teman sekampungnya di Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang lebih dulu mengadu nasib di Jakarta. Dengan rinci Pak Hasjim mengisahkan Hazir yang tinggal di sebuah rumah kecil bersama suami, anak, dan ibunya. Hazir dan keluarganya mendiami satu kamar dan ibunya di ruang makan, sementara Pak Hasjim harus tidur di kursi-kursi yang disusun sedemikian rupa di dapur. Kisah-kisah perjuangan seperti ini menyempurnakan penghormatan saya kepada veteran itu.
Mendapat kabar Pak Hasjim berpulang pada Ahad petang itu, saya membayangkan beliau sedang berjalan menuju suatu tempat yang indah. Mungkin berjalan kaki seperti yang biasa beliau lakukan sepulang dari kantor Kementerian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat, atau saat keluar dari gedung PBB menuju kantor Perwakilan Tetap RI di New York pada 2007, atau ketika beranjak meninggalkan hotel sederhana menuju kantor International Hydrographic Organization di dermaga yang dingin di Monako pada 2015. Berjalanlah dengan tenang, Pak Hasjim.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo