Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERABAT dan sahabatnya kini hanya bisa berandai-andai. Andaikata Edward Seitz bertahan di Detroit, menyibukkan diri sebagai pemeriksa dokumen diplomatik dan visa kerja warga asing di kampung halamannya itu, nasibnya tentu akan berbeda. Setidaknya, dia tidak akan tercatat sebagai diplomat Amerika pertama yang tewas di Irak sejak invasi digelar, Maret 2003.
Namun, penugasan ayah satu anak itu berbicara lain. Juli lalu, lelaki 41 tahun yang 16 tahun menjadi diplomat di Biro Keamanan Diplomatik, Departemen Luar Negeri, AS, dikirim ke "Neraka Gurun". Di Detroit, ia ikut menggerebek sebuah rumah dan menahan tiga tersangka terorisme, enam hari setelah Tragedi 11 September. Tetapi, profesionalisme dan kejujurannya mendorong dia meminta pemerintah membatalkan dakwaan atas ketiganya. Ia melihat tak cukup bukti untuk menuduh mereka melakukan pemalsuan visa.
Lelaki yang dedikatif itu lalu berangkat ke Irak. Kawan lamanya, William Swor, mendukung kepergiannya. "Departemen Luar Negeri menginginkan yang terbaik dengan kepergianmu ke Irak," ujarnya saat itu. "Ed pun pergi."
Malang, kedatangannya ke Irak seperti sudah ditunggu musuh. Victory Camp, markas militer koalisi di Bagdad yang menjadi tempat tinggalnya, tak mampu melindungi nyawa bekas pegulat amatir ini dari serangan gerilyawan Irak. Minggu pekan lalu, Seitz terhunjam pecahan mortir ketika ia sedang mandi sehabis berolahraga pagi. Sosok John Wayne dalam keluarga Seitz itu tewas seketika.
Dalam keadaan tersedak, Washington masih mampu menyampaikan belasungkawa sambil memuji dedikasi warganya itu. Betapa tidak? Hingga pertengahan pekan lalu, sudah 1.102 warganya tewas sejak invasi AS dan Sekutu di Negeri Seribu Satu Malam itu. Tapi pujian tak mampu menahan ratapan keluarga Seitz di Detroit. "Dia selalu mengatakan berada di tempat yang aman, yang mortir pun tidak akan mampu menyentuhnya!" seru Colleen Seitz, kakak iparnya. "Itu sebabnya kami tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi."
Media lokal menggambarkan Seitz sebagai suami setia, kawan yang bersemangat, yang budi baiknya menyentuh nurani lawan bicaranya. "Mereka yang mengenalnya akan sangat merindukan komitmen, kesetiaan, dan cintanya yang besar tanpa melupakan selera humornya yang tinggi," kata Joel Stelmark, sahabatnya.
Komunitas Arab setempat pun merasa kehilangan. Mereka pernah bekerja dengan Seitz yang ikut membantu memastikan berlangsungnya Forum Arab-Amerika yang pertama.
Kepada keluarga dan teman-teman dekatnya, Seitz pernah menyatakan bahwa kepergiannya ke Irak selama setahun hanyalah batu loncatan bagi penempatannya di Dublin, Irlandiasebuah misi diplomatik yang telah lama diimpikan putra seorang polisi di Cleveland itu. "Saya berbicara dengan istrinya, Joyce, dan kami berdua tahu bahwa rohnya akan tetap hidup di Dublin," ujar Pastor Russel Kohler, yang mengenal Seitz secara dekat.
Wuragil (freep, detnews, cleveland.com, nytimes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo