Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Kabinet moderat vs. parlemen...

Kemenangan bagi rafsanjani, membentuk kabinet moderat yang diimbangi dengan parlemen yang didominasi kubu radikal. makin dirasakan, kebijaksanaan ekonomi Iran mesti dibelokkan. barat mulai ditengok Iran.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Kabinet moderat vs. parlemen...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAIN hitam di mana-mana. Itulah pemandangan khas Iran, yang menjadi salah satu monumen kemenangan Revolusi Islam Iran: wanita hanya dibolehkan tampak kedua matanya bila berada di tempat umum. Dan monumen itu kini terancam. Bukan oleh masuknya mazhab Islam yang lain, yang membolehkan wanita mengenakan kain berbunga-burga dan berwarna-warna. Tapi diduga industri tekstil Iran tak cukup menghasilkan salah satu kebutuhan vital itu: kain hitam. Pekan lalu diteken perjanjian impor kain hitam dengan Oman. Tampaknya, pernyataan Morteza Alvini, ketua majelis perencanaan dan komite anggaran Iran, lima bulan lalu -- bahwa "Kita semua harus mengakui kenyataan pahit . . . -- bukan cuma harus direnungkan, tapi pun harus dialami dengan lebih buruk lagi. Kata Alvini pekan lalu, "Ekonomi kita sudah dibelit penyakit, ketergantungan, dan kebangkrutan." Gawatnya ekonomi Iran itulah agaknya juga yang dilihat oleh Jepang. Pekan lalu Jepang menawarkan uang US$ 1,25 milyar. Bukan gratis, tapi itu untuk menebus pengunduran diri konsorsium berbagai perusahaan yang dipimpin oleh Mitsui & Co. dari proyek patungan pabrik petrokimia di Bandar Khomeini seharga US$ 4,3 milyar yang sudah lama terbengkelai. Iran menolak. Bisa jadi posisi Iran untuk mengikat Jepang tak begitu kuat. Itu soalnya bila dalam waktu dekat Menteri Energi Korea Selatan, Lee Bong-Suh, akan ke Teheran. Kabar yang beredar, Lee akan membicarakan proyek patungan seharga US$ 3 milyar. Para pengamat Timur Tengah di Barat meramalkan, Iran mesti mengubah arah revolusinya, guna menolong mengangkat ekonomi yang hampir amblek itu. Revolusi Iran berubah arah atau tidak, yang jelas kebinet Rafsanjani yang diumumkan pekan lalu ternyata memang didominasi kaum teknokrat. "Kita mungkin akan memasuki jalur baru dalam sejarah," ujar Rafsanjani kepada rakyat Iran lewat Radio Teheran. Dua nama bercap radikal tersingkirkan: Ali Akbar Mohtashemi, yang dulunya menjabat menteri dalam negeri, dan Mir Husin Mousavi, perdana menteri. Tersingkirnya Mousavi dari kabinet semakin tegas setelah Rafsanjani menunjuk Hassan Ibrahim Habibi sebagai wakil satu presiden. Kursi ini semula didesas-desuskan akan diberikan kepada bekas perdana menteri. Habibi, tokoh yang belakangan tak disebut-sebut, adalah intelektual liberal yang menimba ilmu hukum di Prancis, menjelang kejatuhan Syah Iran. Dia juga sobat Abolhasan Bani Sadr. Dua orang liberal itu semula berada dalam barisan orang-orang kepercayaan Khomeini dalam Dewan Revolusi. Bahkan Bani Sadr ditunjuk menjadi presiden. Tapi rupanya Habibi lebih mengenal Khomeini, karena pernah berada di lingkungan ayatullah itu sewaktu berada di pengucilannya, di Paris. Maka, sebelum kemarahan Khomeini meledak terhadap kaum liberal, ia menyingkir dari kancah politik. Bani Sadr, yang tetap nekat tanpa memperhitungkan kekuatan karisma Khomeini, akhirnya tersingkirkan, dan terpaksa melarikan diri ke Prancis. Eloknya, Habibi tetap menjadi anggota Dewan Revolusi. Bahkan pada 1984 dia diangkat menjadi menteri kehakiman. Dan tahun lalu ia masih dipercaya Ayatullah Khomeini ikut dalam panitia perancang perubahan konstitusi. Lewat panitia inilah jabatan perdana menteri akhirnya dihapuskan, dan kepada presiden diberikan kekuasaan yang lebih besar. Upaya Rafsanjani membentuk pemerintahan yang sama sekali berwajah moderat bisa jadi karena pengalaman masa lalunya. Usahanya membina huhungan dengan Barat bcrantakan, gara-gara pihak garis keras menasihati Khomeini agar menjatuhkan hukuman mati kepada penulis Inggris kelahiran India yang kemudian jadi warganegara Pakistan, Salman Rushdie itu. Satu lagi, yang terjadi belum lama ini. Yakni dalam soal penyelesaian krisis sandera di Libanon dan Israel. Garis keras sukses menekan Hojatulislam Ali Akbar Khamenei supaya mengeluarkan pernyataan bahwa Iran tak bersedia ikut campur merundingkan pembebasan sandera AS, karena Amerika tetap dianggap sebagai musuh besar. "Iran tak akan berunding sampai persekutuan AS-Israel pecah," ujar Khamenei . Padahal, sebelumnya, lewat koran bahasa Inggris The Teheran Times, Rafsanjani sudah keburu mengumumkan rencana perundingan Teheran-Washington dengan perantara Menlu Pakistan, lengkap dengan persyaratan yang diajukan. Selain itu, juga karena Rafsanjani tahu, pihak garis keras selalu menentang pemotongan anggaran militer. Meskipun dalam rapat anggaran tahun ini, 1939-1990, Maret lalu, kekuatan moderat dalam majelis perencanaan dan komite anggaran berhasil menekan garis keras, dan anggaran untuk pertahanan pun bisa diturunkan: dari US$ 10 juta tahun lalu menjadi hanya US$ 5,85 juta tahun ini. Tapi kekuatan moderat yang berlebihan dalam roda politik tentu juga akan membahayakan demokrasi yang ditegakkan oleh Revolusi Iran, yang dulu diinjak-injak oleh rezim Syah Iran. Para politikus Iran mestinya menyadari hal itu. Maka, kemenangan Rafsanjani membentuk kabinet moderat diimbangi dengan parlemen yang didominasi kubu radikal. Duet Mohtashemi-Mousavi dua pekan lalu diperkuat oleh Mehdi Karrubi, yang terpilih menjadi ketua parlemen, menggantikan Rafsanjani. Siapa pun tahu, Karrubi, yang memimpin jemaah haji Iran yang kemudian melakukan demonstrasi di Tanah Suci, 1987, bukan lawan politik yang enteng. Sudah bisa ditebak sejak sekarang, seandainya pun ia menerima pembaruan-pembaruan ekonomi yang dilakukan Rafsanjani, sulit baginya menerima hal-hal yang dinilainya akan mengurangi kemurnian ideologi. Sementara itu, ekonomi Iran memang makin mencemaskan. Tingkat pengangguran mencapai sekitar 25% dari 15 juta angkatan kerja dari sekitar 54 juta penduduk Iran seluruhnya. Menurut Alvini, meski Iran melancarkan program pembangunan untuk membangun kembali ratusan kota yang kena hajar oleh bom-bom Irak, lapangan pekerjaan tetap menyempit. Sementara itu rakyat harus antre berjam-jam untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok, yang masih harus disubsidi. Ada tiga penyebab pokok ketidakberesan itu. Yakni harga minyak yang masih goyah, derasnya arus urbanisasi, dan adanya ketidakseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran. Untuk itu, Rafsanjani punya rancangan pembangunan lima tahun. Di kertas, dengan investasi US$ 10 milyar, rencana pembangunan itu akan membuka 430 ribu lapangan kerja baru. Dalam praktek, "Dengan keadaan manajemen seperti sekarang, rencana itu tak akan jalan," ujar Alvini, mengacu pada kemacetan berbagai proyek industri dan pertanian -- misalnya proyek petrokimia di Bandar Khomeini itu. Tapi, bagi para pendukung Rafsanjani, rancangan itu bisa jadi lebih realistis bila Iran mau membina kembali hubungan politik dan ekonomi dengan dunia Barat yang akan mendatangkan modal dan tenaga ahli sekaligus. Sayangnya, jawaban itu mentok di tangan Khamenei, karena Selasa pekan lalu dia bilang, "Politik luar negeri Iran tak akan berubah." Untunglah, pertengkaran soal politik luar negeri tak perlu berlarut-larut. Rafsanjani -- yang tampaknya masih akan memilih Ali Akbar Velayati sebagai menlu -- sendiri secara tegas menyatakan bahwa Iran "siap bersahabat dengan negara mana pun, kecuali dengan tiga negara." Yakni Afrika Selatan, Israel, dan AS. Hanya saja, khusus kepada AS, Rafsanjani masih membuka pintu. Dengan syarat, bila negara superkuat itu menunjukkan maksud baik lebih dahulu. Ke mana kata-kata Rafsanjani terbang, mudah ditebak. Ia menginginkan agar kekayaan Iran yang dibekukan oleh AS sejak 1979, ketika mahasiswa radikal menduduki Kedubes AS di Teheran, dicairkan. Di samping itu, Iran juga membutuhkan suplai suku cadang dari AS, untuk menghidupkan kembali sebagian pabriknya, serta mengimbangi ketergantungan perdagangan Iran kepada Soviet. Bagaimanapun, ketika ideologi di Iran agak dikendurkan, soal kebijaksanaan ekonomi menjadi menentukan. Rafsanjani menginginkan sektor swasta diberi peran lebih luas dalam perekonomian. Untuk itu Rafsanjani berencana mendirikan lembaga yang bisa mengamankan investasi, dan memberikan imbalan layak kepada perusahaan yang mampu meningkatkan produksi. Lebih jauh lagi, Rafsanjani juga berminat menjual industri nonstrategis milik pemerintah, agar bisa lebih luwes mengikuti perubahan situasi. Utang luar negeri pun tak lagi diharamkan. Dan itu sudah termaktub dalam rancangan pembangunan lima tahun. Padahal, agar tak kesusupan pengaruh asing sesuai dengan titah Khomeini, Iran tak mau berhubungan dengan utang luar negeri. Kritik pihak garis keras tak beranjak dari yang itu-itu juga. Bahwa Iran akan kembali ke zaman Syah, jurang kaya-miskin melebar, utang luar negeri mengundang orang asing untuk ikut mencampuri urusan dalam negeri. Toh, nada yang lain terdengar juga. Pihak garis keras menyetujui utang dari negara lain bila dipakai untuk proyek jangka panjang, bukan untuk kepentingan jangka pendek. Contohnya, perjanjian dengan Soviet, Juni lalu, yang akan membantu membangun jaringan rel kereta api, pembangkit listrik, dan angkatan bersenjata Iran, bernilai US$ 15 milyar. Sebenarnya, Iran sudah berusaha keras mencari rekanan dagang dan politik di luar negara-negara Barat. Dua pekan lalu misalnya, Wakil Menteri Luar Negeri Iran Ali Mohamad Besharati berkunjung ke Indonesia. Dia ditugasi menyatakan dukungan kepada Indonesia sebagai tuan rumah konperensi puncak nonblok mendatang, dan menandatangani Memorandum of Understanding untuk meningkatkan hubungan dagang Iran-Indonesia. Tapi, benarkah Rafsanjani akan bersikap moderat, dan mencurahkan kerja kabinetnya membangun ekonomi? Dalam pidato pelantikannya ia berkata, "Tak ada kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi." Merangkai seluruh ucapan Rafsanjani, tiba-tiba sulit menebak sebenarnya ia hendak bergerak ke mana. Bisa jadi, inilah cara dia mengemudikan Iran, agar ia tak terlempar karena guncangan politik di dalam negeri. Bukan suatu hal yang baru, bahwa pernyataan-pernyataannya kadang-kadang kontradiktif. Masalahnya kini, bisakah Barat yang punya modal dan keahlian percaya kepadanya. Agak berbeda dengan terhadap Polandia, pernyataan simpati langsung kepada Iran dari Barat belum nyaring terdengar.Praginanto & Sharif Imam Jomeh (Teheran)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum